Namaku Calina Agasta, 26 tahun usiaku. Tepatnya satu bulan sebelum anniversary pernikahanku. Lahir di sebuah kota kecil, merantau sejak lulus kuliah empat tahun lalu. Dan sejak empat tahun lalu itu, aku bekerja di salah satu perusahaan besar sebagai resepsionis. Dan sampai detik ini pun, aku masih menjadi resepsionis.
Sahabat terbaik ku di tanah rantau, tak lain dan tak bukan adalah teman satu profesi, Mereen Maulidya namanya. Usia kami sama, hanya saja dia lebih senior 6 bulan dariku.
Satu tahun lalu aku menikah dengan seorang pria yang dipilihkan oleh Papa ku. Lebih tepatnya anak sahabat Papa semasa mereka kuliah.
Takdir baik, karena pria yang di jodohkan dengan ku ternyata merantau di kota yang sama dengan ku. Bahkan kantor kami berada dalam satu kecamatan yang sama.
Saat mendengar namanya di sebut Papa pertama kali, aku yakin pria itu akan menjadi imam yang baik.
Zio Alfaro, nama yang tidak kampungan dan juga terdengar tidak urakan. Sangat cocok untuk menjadi nama calon imam ku, bukan?
Papa juga bercerita, kalau Mas Zio seorang General Manager. Sudah memiliki rumah sendiri di kota. Sangat mengagumkan bukan? di usia yang belum genap 30 tahun sudah memiliki jabatan yang tinggi di perusahaan besar.
Tapi bukan itu yang menjadi alasan utama aku bersedia di jodohkan. Melainkan melihat kedua orang tua ku yang bahagia saat menjodohkan ku dengan Mas Zio.
Apalagi Mama mertua ku kala itu sakit - sakitan, dan ingin segera melihat putra semata wayangnya menikah dengan ku.
Hari - hari berikutnya, aku di tunjukkan foto pria yg bernama Zio itu. Dia tampan dan terlihat sangat pintar. Gaya rambutnya pun sangat sopan. Hitam lurus dan tertata rapi.
"Om harap, kamu bersedia menjadi menantu Om, Calina..." ucap Om Raihan, pria paruh baya yang kini menjadi Papa mertua ku. "Om ingin persahabatan Om dan Papa mu tidak akan pernah terputus!" lanjutnya lebih dari setahun lalu.
"Iya, Om!" jawabku. "Calina bersedia, asal Mas Zio juga bersedia menikahi Calina dan bersikap baik pada Calina."
"Zio sama sekali tidak menolak perjodohan ini, Calina. Dia juga anak yang menurut. Dia juga bilang... kamu cantik!" ucap Papa mertuaku tersenyum senang.
Hatiku yang mendengarnya pun seketika berbunga - bunga. Wajah merah merona, dan bibir ini tak sanggup menahan senyuman. Akupun akhirnya menunduk, guna menyamarkan rasa malu - malu yang kurasakan saat itu.
Jika dilihat secara fisik, sebenar nya kulitku tidak putih. Kulitku sawo matang, rambutku hitam panjang di bawah bahu. Sedikit bergelombang di bagian ujungnya. Wajah ku oriental, tinggi hidung ku hanya standar.
Menurutku aku memang cantik untuk gadis yang tinggal di kampung. Tapi jika di kota, memang wajahku tak sebanding. Tidak se-glowing anak muda jaman sekarang.
Untuk itulah, selama tiga tahun aku merantau, tak satu pria pun yang mendekati ku dengan tulus. Aku pun tak pernah menjalin hubungan asmara dengan pria manapun selama di kota ini.
Tapi aku tetap bersyukur, karena cantik dan manis ku adalah natural, alamu ciptaan Tuhan. Rambutku pun asli bukan permakan salon.
Hehehe 😉
Hari pernikahan itu tiba. Aku mengambil cuti satu minggu dari kantor. Aku sengaja mengambil satu hari lebih cepat, agar bisa pulang ke kampung lebih cepat.
Kami tak pernah bertemu secara langsung sebelumnya. Pernikahan kami pun di gelar tanpa pertunangan. Karena Mas Zio tidak ingin berlama - lama berurusan dengan perjodohan. Sehingga hari pernikahan ini, akan menjadi momen perdana pertemuan kami.
Aku tak mau di make up tebal, agar suami ku nanti dapat melihat diriku yang apa adanya. Bukan cantik karena make up.
Pernikahan di gelar di sebuah gedung yang di sewa oleh Papa mertua ku. Kebetulan beliau adalah orang yang cukup kaya dan salah satu pejabat di kota kecil kami.
Aku duduk di salah satu ruangan yang sudah di sekat. Khusus untuk aku bisa menunggu proses ijab qabul. Dari sekat bercelah - celah kecil, samar - samar aku bisa melihat betapa tampan calon suamiku.
Sampai telinga ku dan Mama mendengar satu kata sakral yang membuatku meneteskan air mata.
"SAH!"
"Selamat ya, nduk..." ucap Mama sembari mencium pipi ku.
"Terima kasih, Ma!" ucapku mengusap air mata.
"Ingat ya, nduk.. kamu harus menjadi istri yang taat dan menurut dengan suami. Jangan di bantah, dan jangan buat marah. Kalian harus saling setia, terus bersama sampai tua!"
"Iya, Ma... Calina tau."
Kupeluk Mama ku dengan erat. Mulai detik itu, aku sudah menjadi hak milik seorang pria. Pira 28 tahun yang baru saja mengambil ku secara sah dari kedua orang tua ku.
Aku memang tidak terlalu agamis, tapi sedikit banyak aku paham hukum agama ku. Meskipun aku bukan wanita berhijab.
Pembawa acara meminta ku untuk keluar dari persembunyian. Aku keluar dengan di dampingi Mama ku.
Aku sedikit menunduk, saat secara tidak sengaja aku melihat wajah suami ku. Betapa tampan dia dilihat secara langsung. Berlipat tampan dari beberapa lembar foto yang pernah ku lihat.
Namun sayang, sepasang mata pria tampan itu sama sekali tak melihat ke arah ku yang sedang berjalan ke arahnya.
Kenapa? Apa aku tidak terlihat cantik di hari pernikahan?
Aku pun tak tau. Ia terlihat begitu tampan namun sangat dingin. Dalam benakku, mungkin ia masih canggung dengan ku.
Aku duduk di sampingnya untuk menanda tangani beberapa berkas pernikahan kami. Setelah itu kami diminta untuk saling berhadapan. Saling menatap untuk mengenali wajah satu sama lain.
Saat itulah, aku dapat melihat dia tersenyum padaku. Aku pun tersipu malu. Kemudian saat ia mengangkat tangannya, maka segera ku raih dan kucium dengan lembut. Sebagai tanda hormat seorang istri pada suaminya.
Tak ku sangka, ia membalas ciuman tanganku, dengan sebuah kecupan di keningku.
Seketika tubuhku menegang. Kali pertama ada seorang pria yang mencium keningku. Namun aku sangat bangga, karena pria pertama yang mencium keningku adalah suami ku. Bukan pacar ku.
Setelah prosesi itu berakhir, kami beristirahat sebentar. Sebelum kemudian akan mulai berdatangan tamu di jam 11 nanti. Karena gedung disewa selama lima jam saja.
Aku duduk di salah satu kursi bersama Mas Zio setelah berganti baju pesta. Tak ada yang kami obrolkan. Kami hanya sama - sama diam untuk menunggu jam 11. Dimana waktu berkunjung tamu hanya dari jam 11 sampai jam 1 siang saja.
Sampai akhirnya suara ponsel Mas Zio berbunyi. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Setelah melihat layar, tiba - tiba ia berdiri.
"Aku angkat telpon dulu!" ucapnya datar untuk kemudian beranjak pergi dari hadapanku.
Entah sepenting dan seprivate apa panggilan itu. sampai - sampai harus menjauh dariku. Saat pikiran ki di penuhi pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya, Mereen datang yang ku jadikan Bridesmaids mendekatiku.
"Siapa yang meneleponnya?"
Aku hanya mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban tidak tau.
Mereen menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan. Dari awal aku mengenalkan nama Mas Zio padanya, Mereen terlihat tak menyetujui pernikahanku. Entahlah kenapa, ia bilang Mas Zio tak sebaik yang terlihat.
Dan aku mulai merasakan satu jam setelah akad nikah kala itu.
...🪴 Happy Reading 🪴...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
epifania rendo
nikah karena perjodohan
2023-05-12
1