My Beloved Werewolf
Tresi sedang mengemas barang-barang yang akan dibawanya pada acara hiking yang akan diadakan kampusnya, dalam rangka mencintai alam. Gadis yang memiliki perilaku tomboy itu, sangat suka berpetualang. Kali ini, ia akan pergi sendiri tanpa Emi, sang sahabat. Kebetulan, Emi harus pulang ke rumah orang tuanya.
Sama-sama hidup jauh dari keluarga, membuat Tresi dan Emi bak saudara. Mereka selalu berbagi satu sama lain. Hampir semua masalah, mereka hadapi bersama.
"Lo, yakin, mau hiking tanpa gue?" tanya Emi yang tengah membantu Tresi menyiapkan barang-barangnya.
"Yakin. Udah lama gue gak hiking. Kangen juga." Tresi tersenyum seraya menepuk pundak sahabatnya itu.
"Ya udah. Hati-hati. Jangan suka melamun, perhatiin rombongan. Jangan sampe lo terpisah dari rombongan. Nanti, kalau lo tersesat, gue gak punya temen lagi," nasihat Emi seraya merajuk.
Tresi tertawa melihat tingkah sahabatnya yang menunjukkan wajah merajuk, tetapi tetap memberikan nasihat padanya. Keduanya pun berpelukan, seakan mereka tak akan bertemu lagi.
"Lo, juga hati-hati, ya. Jangan lupa bawain makanan yang enak dari rumah lo," ucap Tresi.
***
Hari pendakian pun tiba. Tresi sudah bersiap dengan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Begitu pun dengan Emi yang akan kembali ke rumah. Keduanya keluar bersamaan. Mereka berpisah di persimpangan jalan.
Tiba di kampus, Tresi segera mendekati rombongan dan meregistrasi diri. Setelah mengetahui nomor bus yang ia tempati, Tresi segera masuk. Gadis itu memilih bangku paling belakang.
Dalam waktu setengah jam, bus sudah siap untuk berangkat. Diam-diam, ada seorang pria yang memperhatikan Tresi. Sayangnya, Tresi yang tidak peka, tak menyadarinya.
Bus pun melaju menuju pinggiran kota. Dari sana, mereka akan menuju kaki gunung sebelum pendakian dimulai. Tresi tidak sabar untuk menghirup udara segar pegunungan yang bebas dari polusi.
Ah, gak sabar banget nyium bau pepohonan. Pasti segar, gumam gadis itu.
Jarak yang dekat, membuat waktu yang mereka tempuh tidak terlalu lama. Setelah absen, mereka mulai melakukan pendakian menuju puncak. Beberapa menit kemudian, mereka mulai mendaki.
"Hai, Tresi," sapa seseorang.
Tresi menoleh dan tersenyum kecil. "Hai," sapanya juga.
"Tumben, kamu sendirian," tanyanya.
Kamu? Dia siapa? Kok, manggilnya sok akrab gitu, sih? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Tresi, mengenai pria itu. Ia merasa tak mengenal pria itu.
"Iya. Emi gak bisa ikut. Jadi, gue sendiri, deh." Tresi menjawab dengan acuh.
Dari wajahnya, ia terlihat enggan menanggapi ocehan pria di sampingnya. Pikiran Tresi sudah teralihkan, saat mendengar kicauan burung, desau angin, bahkan gesekan dedaunan di atas pohon. Semua itu jauh lebih menarik dibanding obrolan bersama pria yang berjalan dengannya.
Tanpa terasa, mereka tiba dipemberhentian pertama. Tresi mengeluarkan botol minum dari tas, kemudian menenggaknya. Mengaliri tenggorokannya yang terasa kering akibat perjalanan yang cukup jauh dari bawah sana. Waktu juga mulai beranjak tengah hari, hingga mereka memutuskan berhenti sejenak, untuk mengisi perut dan melepas dahaga.
"Tres, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap pria yang sejak tadi mengekori Tresi.
Tresi memutar bola matanya jengah. Sungguh, ia tidak menyukai pria ini sama sekali. Tuhan, aku ingin menjauh darinya, doa Tresi dalam hati.
"Ngomong apa?" tanya Tresi.
"Aku tuh, udah lama suka sama kamu. Kamu, mau gak jadi pacar aku?'
Kedua mata Tresi membelalak lebar. Gadis itu bahkan sampai menahan napasnya karena terkejut. Beberapa menit kemudian, Tresi menyemburkan tawanya. Membuat pria yang menyatakan perasaannya itu, mengernyit heran.
"Apanya yang lucu?" tanya pria itu.
"Lo, lagi mimpi, ya? Apa mata lo yang katarak? Atau, jangan-jangan, lo buta?" Tresi bertanya dengan beruntun.
Gadis itu masih tidak percaya, ada pria tampan yang menyukainya. Lo, sih, seleranya si Emi. Bukan gue, ucapnya dalam hati.
"Kok, kamu ngomong gitu? Mataku masih sehat. Aku juga gak lagi mimpi," sanggah pria itu serius.
"Terus? Lo, pikir gue percaya, cowok kayak lo itu, gak mungkin suka sama gue. Selera lo itu, pasti gak jauh-jauh dari Sheila anak fakultas ekonomi. Cantik, bahenol, montok, seksi." Tresi menjabarkan ciri-ciri yang mungkin saja menjadi incaran para pria di kampusnya.
"Sayangnya, yang aku suka itu, kamu!" serunya lagi.
Tresi pun menghentikan tawanya. "Sorry nih. Tapi, gue gak suka sama lo." Tresi menepuk pundak pria itu.
Ia pun mulai membereskan barang-barangnya. Sebentar lagi, rombongan akan melanjutkan pendakian. Pria itu terlihat geram. Ia pun berpaling dan bergabung dengan rombongan lainnya. Tresi pun selesai dengan barang bawaannya.
***
Waktu sudah memasuki sore hari saat mereka kembali berhenti. Kali ini, tak ada lagi yang mengganggu Tresi. Merasa lelah, Tresi memilih duduk di atas batu besar dan menenggak air dalam botolnya lagi. Meski merasa senang, tetapi Tresi merasa ada yang kurang. Semua itu, karena Emi tak ikut pendakian kali ini.
Ah, sepi gak ada Emi. Tapi, gue seneng sih. Udah lama rasanya gak ngehirup udara seger begini. Tresi bergumam.
Setelah setengah jam berhenti, rombongan kembali melanjutkan pendakian untuk mencari tempat berkemah lebih dulu sebelum malam. Sayang, saat turun dari batu tempatnya duduk, kaki Tresi terkilir. Dengan tertatih, ia mengikuti langkah rombongan yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Tidak ada yang menyadari ketidak beradaannya dalam rombongan.
Sialnya, kaki Tresi kembali tersangkut akar, hingga tergores. Ia pun semakin kehilangan jejak para pendaki lainnya. Ah, sial! Mereka pasti udah jauh banget. Mana udah gelap lagi, gumamnya dalam hati.
Perlahan Tresi melanjutkan langkahnya. Cahaya yang tak seberapa, membuat Tresi semakin jauh tersesat. Ia tidak tahu sudah berada di mana saat ini. Pasalnya, baru kali ini Tresi mengikuti kegiatan hiking di kota tempatnya menimba ilmu. Selama ini, ia terbiasa mendaki di kota kelahirannya, yang terletak sangat jauh dari tempatnya tinggal saat ini. Ia sama sekali tak mengenal hutan itu.
"Aduh, kayaknya gue kesasar, deh. Ini di mana, ya? Mana udah gelap banget." Tresi merogoh sakunya.
Tresi menatap ponsel yang ia bawa. Sayangnya, tidak ada sinyal di tempat itu. Kembali Tresi menyimpan ponselnya. Namun, tiba-tiba ada langkah yang mengikutinya dari belakang belakang. Membuat gadis itu mulai merasa takut. Lagi, ia mengambil ponsel dalam saku jaket yang baru saja ia simpan. Mengarahkan ke segala arah. Mencoba melihat siapa yang mengikutinya.
Namun, cahaya ponsel tidak dapat menangkap sesuatu yang ingin dilihatnya. "Siapa di sana?" teriaknya.
Jantung Tresi mulai berdegup cepat, saat mendengar sebuah suara yang tidak menyerupai manusia. Gadis itu menyadari, jika yang mengikutinya adalah hewan liar. Tresi meneguk salivanya kasar. Kemudian, mengabaikan rasa sakit yang mendera kakinya. Ia berusaha berlari menjauh dari gerombolan binatang buas yang mungkin menguasai hutan itu.
"Aduh, kaki gue sakit banget," erang Tresi tertahan.
"Tahan, Tres. Lo gak mungkin berhenti di sini. Yang ada, lo bakal mati konyol aja!" Tresi memperingati dirinya.
Tresi jatuh terjerembab, hingga tangannya ikut terluka. Ia berteriak sekencang mungkin. Berharap seseorang datang menolong. Kakinya kini semakin sulit untuk digerakkan. Seakan mati rasa. Kembali Tresi mengarahkan cahaya ponselnya. Mencari tahu binatang yang mengejar dirinya.
"Serigala?" ucapnya lirih.
Wajahnya semakin pucat pasi saat melihat kumpulan serigala itu mendekatinya perlahan. "Tolong!" teriak Tresi.
Entah berapa kali sudah ia berteriak minta tolong. Namun, tidak seorang pun yang bisa mendengarnya.
Siapa pun, tolong gue! jeritnya dalam hati.
Tepat saat serigala itu hampir menerkam Tresi, seseorang datang dan menghalangi para kawanan serigala liar itu. Tak lama, Tresi tak sadarkan diri, setelah memastikan yang menolongnya adalah manusia.
"Kenapa kalian mengganggu manusia? Cari buruan lain. Aku tidak mengizinkan kalian menerkam manusia!" titahnya.
Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Tresi dan pria itu. Setelah memastikan kawanan serigala itu pergi, pria itu mendekati Tresi. Sayangnya, Tresi tak lagi sadarkan diri.
"Hei, bangun!" Pria itu menepuk pipi Tresi.
Tak mendapat jawaban, membuat pria itu mendengus kesal dan mengangkat tubuh Tresi. Meninggalkan barang bawaan Tresi di sana. Pria itu melesat bagaikan angin yang bertiup kencang.
"Menyusahkanku saja!"
***
visualisasi tokoh:
ini babang Bima yang awet muda ☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Aditya HP/bunda lia
udah lama masuk fav tapi baru sempet baca 🙏 aku penasaran ceritanya agak bosan juga sama cerita CEO CEO tampan nan arogant 🤭🤭
2022-12-30
1
Mom Dee🥰🥰
mampir dikaryamu thor 🤗🤗
2022-11-14
1
Dewi
Untungnya ada pria yang menolong Tresi
2022-11-04
2