Pria itu membawa Tresi ke dalam rumah yang dibangunnya sendiri di tengah hutan. Meletakkan tubuh tak berdaya itu di atas dipan yang biasa ia gunakan. Kemudian, melihat luka di kaki dan tangan gadis yang ditolongnya.
"Hmm, ini akan infeksi jika dibiarkan," gumam pria itu.
Ia menatap sekeliling rumah sederhananya. Melihat dedaunan yang mungkin bisa ia jadikan obat-obatan untuk menyembuhkan luka sang gadis. Tak menemukannya, ia kembali ke hutan dan mencari daun-daun yang dibutuhkan.
"Gadis itu sepertinya akan menyusahkanku," gumam pria itu seraya memetik dedaunan yang ia butuhkan.
Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan, pria itu kembali ke rumahnya dengan barang bawaan milik gadis yang ia tolong tadi. Ia meletakkan barang gadis itu di ujung ruangan. Kemudian, menumbuk dedaunan yang tadi dicarinya. Setelah itu, menempelkan ramuan itu pada luka di tangan dan kaki Tresi.
"Semoga luka gadis ini, cepat sembuh," harapnya.
***
Keesokkan harinya, Tresi tersadar. Ia menatap ke sekeliling tetapi, tak mengenal tempat itu. Ini di mana? tanyanya dalam hati.
Tresi berusaha menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi, terasa begitu sulit. Sial! Badan gue rasanya remuk banget, gumam Tresi.
Tak lama, ia melihat seseorang datang mendekat. Seketika pandangan Tresi terkunci pada sosok pria yang berdiri di hadapannya.
Ya, ampun. Ini mimpi apa nyata? Itu cowok, ganteng banget. Sumpah, gue rela diapa-apain sama, nih, cowok. Tunggu! Apa jangan-jangan gue udah mati? Apa dia ini malaikat pencabut nyawa? Oh my God! Tresi sudah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Kamu sudah sadar?" tanya pria itu.
Astaga, suaranya merdu banget. Bikin gue jatuh hati, jerit Tresi dalam hati.
Pria itu mengernyitkan dahi melihat Tresi tersenyum tak jelas. "Dia kenapa? Apa jangan-jangan dia jadi bisu karena kejadian semalam?" gumamnya.
"Gue gak bisu, kok. Gue, cuma lagi menikmati ciptaan Tuhan yang paling indah," jawab Tresi setelah mendengar gumaman pria di depannya dengan senyuman semanis mungkin.
Sepertinya, Tresi sudah lupa dengan kejadian yang menimpanya semalam. Ia menatap sang pria tanpa berkedip sedikit pun.
"Baguslah kalau sudah sadar. Kau bisa kembali ke asalmu!" ucap pria itu ketus.
Tresi tak menggubris ucapan pria di depannya. Ia bahkan semakin tersenyum lebar pada pria itu. Jantungnya berdegup sangat cepat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
"Hei, kamu dengar saya, 'kan?" sentaknya.
"Eh, iya, iya. Gue dengar. Tapi, …." Tresi tak menggantung ucapannya.
"Tapi, apa?" Pria itu memicingkan mata, menaruh curiga.
"Gue gak bisa gerak. Badan gue berasa remuk banget. Tangan sama kaki gue juga terasa kebas," rintih Tresi.
Wajah pria itu berubah serius. "Jangan bohongi saya!" ucapnya tegas.
"Ngapain juga gue bohongin lo! Gak ada untungnya. " Tresi terlihat kesal.
Ia terus mencoba menggerakkan tangan dan kaki, agar pria di hadapannya tidak lagi menaruh curiga. Namun, sekuat apa pun Tresi mencoba, ia tetap tidak bisa bergerak. Hanya satu tangan yang mampu ia gerakkan. Sementara kedua kakinya, seakan mati rasa.
"Lo beneran gak buat gue lumpuh, 'kan?" Tresi memicingkan mata.
Jelas itu bukan pertanyaan. Lebih tepatnya, Tresi sedang menuduh pria itu. Mendengar tuduhan tak berdasar yang Tresi layangkan, wajah pria itu berubah sangat kesal.
"Dia benar-benar menyusahkan. Tahu akan berakhir begini, sebaiknya kubiarkan dia dimakan oleh mereka!" gumamnya kesal.
Tresi masih bisa mendengar gumaman pria itu. Ia pun teringat akan kejadian malam tadi. Tersesat dan dikejar serigala liar, bahkan ia hampir menjadi santapan mereka. Sungguh, malam tadi adalah kejadian paling menakutkan bagi Tresi.
"Ternyata, lo yang nyelametin gue dari serigala liar semalam, ya? Astaga. Makasih banget, ya. Kalau lo gak ada, gue pasti udah mati semalem." Raut wajah Tresi terlihat sangat berterima kasih padanya.
Pria itu tak menggubris ucapan Tresi. Ia hanya fokus pada kondisi luka di kaki dan tangan Tresi. Melihat dengan seksama luka-luka yang membiru serta membengkak.
"Ternyata kakimu bengkak. Luka di tanganmu pun, mulai infeksi. Biar ku obati," ujarnya.
"Lo, dokter, ya? Astaga, kok bisa dokter tinggal di tengah hutan begini? Apa lo dokter hewan?"
Lelah mendengar segala ocehan Tresi, ia pun mengancam, "Jika kau tidak tutup mulut, akan kulempar kau kembali ke tengah kawanan serigala liar semalam. Mau?"
Mendengar ancaman pria yang menolongnya, Tresi melipat bibir. Ia bahkan meneguk salivanya yang terasa pahit. Setelah Tresi tak lagi bersuara, pria itu kembali fokus untuk mengobati luka di kaki dan tangannya.
"Hah, cedera otot juga. Sepertinya, kau terlalu memaksakan kakimu berlari, saat terluka. Inilah jadinya," ucap pria itu ketus seraya menempelkan dedaun yang sudah ia tumbuk lagi.
Tresi meringis saat pria itu menempelkan dedaunan itu di kaki dan tangannya dengan sedikit kasar.
"Ya, namanya juga panik. Mana inget kalau ada luka," gerutunya.
"Ngomong-ngomong, nama lo siapa?" tanya Tresi lagi.
"Bima," jawabnya singkat.
"Gue Tresi. Salam kenal, ya."
"Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara waktu. Sampai luka di kaki dan tanganmu pulih kembali," ujar Bima.
Bima melangkah ke arah meja. Mengambil sebuah apel dan pisang. Kemudian, dia memberikannya pada Tresi. Gadis itu mengangkat kedua alis.
"Makanlah!" titah Bima karena gadis itu tak jua mengambil buah di tangannya.
"Buah doang? Gak ada nasi?" tanyanya.
Mendengar ucapan Tresi, Bima mengerutkan dahi. "Apa itu nasi?" Bima bertanya balik.
"Astaga!" Tresi menepuk dahinya, mendengar pertanyaan Bima yang seakan tidak tahu apa itu nasi.
Tresi tak menyangka, jika di dunia ini ada orang yang tak mengenal nasi. Dia datang dari planet kali, ya. Bisa-bisanya gak kenal nasi, gerutu Tresi dalam hati.
"Kau mau makan atau tidak?" tanya Bima. Pria itu merasa tangannya sudah kebas.
"Ya, mau. Tapi, masa pake tangan kiri? Kan gak sopan." Tresi memberi alasan.
Bima mendengus kesal mendengar alasan yang Tresi berikan. Mau tidak mau, Bima menyuapinya. Tresi tak membuang kesempatan untuk memandangi wajah Bima.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Ada yang aneh?"
"Tidak. Aku merasa kau sangat tampan."
"Cih!"
Namun, diam-diam keduanya saling mencuri pandang.
***
Tidak terasa, hampir satu minggu Tresi berada di tempat Bima. Tidak pernah sekali pun, Tresi tidak mengganggu Bima. Namun, Bima tak pernah menanggapi. Melihat luka Tresi pulih, Bima pun meminta gadis itu pergi.
"Sepertinya, kaki dan tanganmu sudah lebih baik."
"Hmm, sepertinya iya." Tresi melihat luka di kaki dan tangannya.
"Kalau begitu kau boleh pergi. Aku akan mengantarmu sampai ke jalur pemukiman warga."
Tresi menarik napas dalam dan menghelanya perlahan. "Bima," panggil Tresi.
Bima mengangkat pandangan, menanti Tresi menyelesaikan ucapannya. Beberapa menit berlalu, Tresi tak jua menyelesaikan kata-katanya tadi. Gadis itu justru terus menerus terlihat gugup. Berdeham beberapa kali, meremas jemarinya, menarik napas lagi, dan menghela napas kembali. Hanya hal itu yang ia lakukan.
Melihat hal itu, Bima pun memutuskan bertanya, "Ada yang ingin kau katakan?"
Tresi menggelengkan kepalanya cepat. Bima pun menganggukkan kepala. Kemudian, keduanya mulai meninggalkan rumah itu. Bima berjalan di depan Tresi. Melihat profil belakang Bima, membuat Tresi ingin berlari dan memeluknya.
Baru sekitar lima kilometer mereka berjalan, Tresi menghentikan langkahnya. Menarik napas perlahan, dan menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.
"Tidak bisakah kita berhenti sebentar? Gue cape banget," keluh Tresi disela napasnya yang tersengal.
Bima menoleh. "Baiklah."
"Apa masih jauh?" tanya Tresi setelah menenggak air dari botolnya.
"Tidak. Kita sudah dekat. Mungkin, sekitar sepuluh kilometer lagi," jawab Bima enteng.
Dekat dia bilang? Dasar gila! maki Tresi.
"Cukup istirahatnya. Atau kau tidak akan pernah sampai ke pemukiman warga!" seru Bima.
Mereka pun kembali melanjutkan langkah. Meski lima kilometer kemudian, harus berhenti kembali. Saat mereka tiba di dekat pemukiman warga, Bima pun meminta Tresi segera pergi.
"Bima!" panggil Tresi.
Langkah Bima terhenti. Ia pun menoleh dan menatap Tresi. Perlahan, Tresi mendekati Bima.
"Gue tahu, kita baru kenal. Tapi, gue terlanjur suka sama lo. Apa, lo mau jadi pacar gue?"
Bima terkejut mendengar pengakuan Tresi. Namun, Bima berusaha untuk tetap terlihat biasa saja.
"Sayangnya, aku tidak menyukaimu. Cepat pergi!" usir Bima dengan nada ketus.
Mendapat penolakan dari Bima, membuat Tresi nekad. Ia berlari mendekati Bima, kemudian mencium bibir pria itu. Ada sesuatu yang aneh Bima rasakan, hingga tanpa sadar, Bima membuka mulutnya. Hal itu, sukses membuat Tresi lebih leluasa mencuri ciuman dari Bima.
"Gue pergi dulu!" Tresi segera berbalik meninggalkan Bima, setelah melepaskan ciumannya.
Kenapa aku merasa ada yang aneh? Ada apa ini?
***
nah, ini Tresi yg cukup pemberani.
semoga, sesuai dengan ekspektasi kalian☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Dewi
Tresi agresif banget
2022-11-04
1