Bima akhirnya menyelesaikan segala pekerjaan, yang telah ia tinggalkan selama dua bulan ini. Segera, Bima membereskan meja kerjanya. Ia masih mengkhawatirkan kondisi Tresi. Meski ia yakin, Emi akan menjaga Tresi dengan baik, tetapi Bima tidak bisa tinggal tenang. Ia sudah meninggalkan Tresi selama beberapa hari. Karena itu, Bima merasa sangat mengkhawatirkannya.
Bagaimana kondisinya sekarang? tanyanya dalam hati.
"Sudah mau pergi?" ucap seseorang.
Bima mendongak, seorang pria berdiri tepat di depan pintu ruangannya. Ia kembali membereskan meja kerjanya. Tak menghiraukan kehadiran pria itu.
"Jadi, kau sudah memutuskan pertunangan kalian sejak dua bulan lalu?" Pria itu mendudukkan diri di kursi depan meja kerja Bima.
"Bukan urusanmu!" seru Bima dingin.
Setelah merapikan meja kerjanya, Bima bersiap akan meninggalkan kerajaan. Namun, langkahnya terhenti saat pria itu mengatakan sesuatu.
"Kau akan meninggalkan kerajaan lagi? Kembali ke rumahmu yang di tengah hutan sana, atau pada manusia itu?" Pria itu tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Bima terdiam sesaat, sebelum akhirnya menoleh. "Apa kau tahu, jika terlalu ingin tahu, kau bisa kehilangan nyawanya?"
"Ancamanmu, tidak berguna untukku. Sebaiknya, kau pikirkan sebuah cara, untuk menutupi hubunganmu dengan manusia itu, sebelum ayahanda mengetahuinya." Pria itu menepuk pundak Bima. Kemudian, berlalu dari sana.
Mendengar pernyataan pria tadi, membuat Bima mulai berpikir, jika dirinya harus segera menyelesaikan urusannya dengan Tresi. Ia pun segera kembali ke rumah yang ia tempati bersama Tresi.
Tidak butuh waktu lama bagi Bima untuk sampai ke tujuannya. Ia segera masuk ke kamar Tresi, sekedar melihat kondisi gadis itu. Perlahan, Bima melangkah masuk. Kondisi kamar yang gelap, tidak membuat Bima kesulitan. Sebagai werewolf, ia terbiasa melihat saat gelap. Di sana, di atas ranjang itu, Emi dan Tresi tidur bersama.
Bima menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Tresi. Menatap lamat-lamat wajah cantik tanpa polesan itu. Tanpa sadar, senyum di bibir Bima mengembang.
Perlahan, Tresi membuka matanya. Gadis itu melihat Bima yang tengah menatap dirinya. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Kenapa bangun?" tanya Bima lirih.
Tresi tersenyum. "Kau baru pulang?"
Bima terkekeh kecil. "Ditanya, kok balik nanya?"
"Aku bangun karena kamu," jawabnya.
"Mau jalan-jalan?" ajak Bima.
Anggukan kepala Tresi berikan sebagai jawaban. Jangan lupakan senyum manis yang mengembang di bibirnya. Bima menggandeng jemari Tresi. Keduanya pun meninggalkan rumah. Tanpa mereka sadari, Emi melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka.
"Cih! Dasar bucin! Hah, gini amat nasib jadi jones," gerutu Emi.
Gadis itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Menendang-nendang selimut sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
"Perasaan, gue gak jelek-jelek amat. Kenapa gak ada yang mau sama gue, sih!" pekiknya dari dalam selimut.
***
Bima dan Tresi, berjalan-jalan disekitar tempat mereka tinggal. Menikmati udara malam yang terasa lebih sejuk. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya. Mereka hanya menikmati genggaman tangan yang saling bertaut.
"Apa kau masih merasa takut?" tanya Bima.
Saat ini, mereka sedang duduk bersama di taman. Menikmati sinar rembulan yang menyinari bumi, semilir angin malam yang menyapa tubuh mereka. Bima bisa melihat pori-pori di kulit Tresi yang terbuka, akibat terpaan angin malam. Layaknya pria sejati, Bima melepas jaket yang ia gunakan. Kemudian, menyampaikannya di bahu Tresi.
"Terima kasih," ucap Tresi disertai senyuman.
"Jadi, apa kau masih merasa takut?" ulang Bima.
Tresi menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan yang Bima lontarkan.
"Bukankah hal wajar, bagi seseorang merasa takut, disaat hidupnya terancam? Mungkin, kamu berpikir aku ini hanya bisa bergaya seperti seorang pemberani. Namun, saat berhadapan dengan musibah seperti kemarin, kau langsung mengejek aku."
"Aku tidak mengatakan itu. Bagiku, kau adalah gadis pemberani. Aku rasa kau benar. Bukankah setiap orang memiliki rasa takut masing-masing?"
Tresi menatap lembut manik mata Bima. "Aku mencintaimu," ucap Tresi.
Kali ini, Bima bisa melihat kejujuran di mata Tresi. Jika saat pertama kali Tresi menyatakan cinta terlihat main-main, maka pernyataan kedua kalinya gadis itu terlihat lebih tulus.
Lidah Bima terasa kelu. Seakan tak mampu mengatakan apa pun. Namun, ia justru mendekap Tresi erat. Merasakan detak jantung gadis itu yang menggila. Tidak ada jawaban apa pun yang Bima ucapkan.
***
Beberapa minggu berlalu. Kini, Bima hidup layaknya manusia. Ia bahkan bekerja di sebuah cafe. Sesekali, Tresi dan Emi akan datang ke sana. Mengerjakan tugas kuliah sambil menanti Bima selesai dari pekerjaannya. Setelah itu, mereka akan pulang bersama.
Hubungan Tresi dan Bima pun semakin dekat. Saat ini, Bima tengah belajar menahan hasrat liarnya, untuk menerkam manusia. Meski, kian hari hasrat itu kian menggebu.
Aku kesulitan menahan hasrat ini, meski berdekatan dengan mutiara itu, gumamnya.
Saat hasrat liar itu tak lagi terkendali, Bima memilih pergi ke hutan. Menyantap kijang, rusa, kelinci, atau hewan apa pun untuk ia makan. Setelah rasa lapar itu hilang, barulah ia kembali pada Tresi.
Terlalu tenggelam dalam usahanya mendapatkan mutiara, serta menjalankan kehidupan layaknya manusia, Bima melupakan sesuatu. Sudah satu bulan ini, ia tidak kembali ke kerajaannya. Melalaikan tugas yang diembankan padanya.
Tresi tengah membuat makan malam bagi mereka. Gadis itu tahu, Bima menyukai olahan daging. Ia pun berencana membuatkan steak bagi pria yang menemaninya selama tiga bulan ini.
Bima memeluk Tresi dari belakang. Membuat gadis itu tersenyum senang.
"Mau buat apa?" tanyanya.
"Aku mau buat steak untuk makan malam kita. Kamu pasti suka," ujar Tresi bahagia.
"Wow, pasti enak. Jadi, gak sabar pengen nyicipin."
Tresi terkekeh mendengar jawaban Bima. Tangannya dengan cekatan mengoles bumbu pada daging steak. Kemudian, memanggangnya di atas grilpan.
"Ada yang bisa kubantu?" Bima menawarkan diri.
"Apa, ya?" Tresi terlihat berpikir. Gadis itu menatap meja makan yang sudah tertata rapi.
"Kayanya gak ada," jawab Tresi setelah berpikir beberapa saat.
"Kalau begitu, aku akan memperindah meja makan saja. Kau, fokus saja pada masakanmu." Bima segera berbalik meninggalkan Tresi.
Melihat itu, Tresi hanya menggelengkan kepala. Kemudian, melanjutkan memanggang daging. Saat ia selesai, ia membawanya ke meja makan. Saat itulah, Tresi melihat meja makan sudah dihiasi bunga dan lilin.
"Ceritanya, candlelight dinner?" tanya Tresi.
Bima tertawa. "Sini, aku bawa." Bima mengambil piring yang Tresi bawa.
Mereka pun mulai menyantap steak yang Tresi buat. Membicarakan banyak hal remeh-temeh, hingga saling bercanda satu sama lain. Sampai makanan mereka pun habis. Selesai makan, Tresi membereskan meja. Bima lah yang mencuci piring mereka.
Hal yang tidak diduga pun terjadi. Darah dalam diri Bima mulai menggelegak. Bima menatap langit malam dari jendela di dapur. Matanya membulat sempurna, kala melihat bulan purnama.
"Argh," pekik Bima.
Tresi yang mendengar itu, mendekati Bima. "Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.
Bima mendorong Tresi menjauh. Urat-urat mulai bertonjolan dari tubuh pria itu. Keringat dingin, mengucur deras dimulai dari kepalanya. Bima mencoba berlari menjauh. Tresi yang melihat itu, merasa khawatir. Gadis itu pun mengikuti Bima. Tak peduli rasa sakit akibat terbentur tadi.
"Kenapa dia masuk ke hutan?" gumam Tresi.
Ia terus melangkah mengikuti Bima. Sesuatu yang tidak pernah Tresi bayangkan pun terjadi. Bima melolong kuat ke arah bulan purnama. Rasa takut mulai mendera gadis itu. Wajah Tresi, berubah pucat pasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Mom Dee🥰🥰
ketahuan deh..
2022-11-16
1