Tresi sedang mengemas barang-barang yang akan dibawanya pada acara hiking yang akan diadakan kampusnya, dalam rangka mencintai alam. Gadis yang memiliki perilaku tomboy itu, sangat suka berpetualang. Kali ini, ia akan pergi sendiri tanpa Emi, sang sahabat. Kebetulan, Emi harus pulang ke rumah orang tuanya.
Sama-sama hidup jauh dari keluarga, membuat Tresi dan Emi bak saudara. Mereka selalu berbagi satu sama lain. Hampir semua masalah, mereka hadapi bersama.
"Lo, yakin, mau hiking tanpa gue?" tanya Emi yang tengah membantu Tresi menyiapkan barang-barangnya.
"Yakin. Udah lama gue gak hiking. Kangen juga." Tresi tersenyum seraya menepuk pundak sahabatnya itu.
"Ya udah. Hati-hati. Jangan suka melamun, perhatiin rombongan. Jangan sampe lo terpisah dari rombongan. Nanti, kalau lo tersesat, gue gak punya temen lagi," nasihat Emi seraya merajuk.
Tresi tertawa melihat tingkah sahabatnya yang menunjukkan wajah merajuk, tetapi tetap memberikan nasihat padanya. Keduanya pun berpelukan, seakan mereka tak akan bertemu lagi.
"Lo, juga hati-hati, ya. Jangan lupa bawain makanan yang enak dari rumah lo," ucap Tresi.
***
Hari pendakian pun tiba. Tresi sudah bersiap dengan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Begitu pun dengan Emi yang akan kembali ke rumah. Keduanya keluar bersamaan. Mereka berpisah di persimpangan jalan.
Tiba di kampus, Tresi segera mendekati rombongan dan meregistrasi diri. Setelah mengetahui nomor bus yang ia tempati, Tresi segera masuk. Gadis itu memilih bangku paling belakang.
Dalam waktu setengah jam, bus sudah siap untuk berangkat. Diam-diam, ada seorang pria yang memperhatikan Tresi. Sayangnya, Tresi yang tidak peka, tak menyadarinya.
Bus pun melaju menuju pinggiran kota. Dari sana, mereka akan menuju kaki gunung sebelum pendakian dimulai. Tresi tidak sabar untuk menghirup udara segar pegunungan yang bebas dari polusi.
Ah, gak sabar banget nyium bau pepohonan. Pasti segar, gumam gadis itu.
Jarak yang dekat, membuat waktu yang mereka tempuh tidak terlalu lama. Setelah absen, mereka mulai melakukan pendakian menuju puncak. Beberapa menit kemudian, mereka mulai mendaki.
"Hai, Tresi," sapa seseorang.
Tresi menoleh dan tersenyum kecil. "Hai," sapanya juga.
"Tumben, kamu sendirian," tanyanya.
Kamu? Dia siapa? Kok, manggilnya sok akrab gitu, sih? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Tresi, mengenai pria itu. Ia merasa tak mengenal pria itu.
"Iya. Emi gak bisa ikut. Jadi, gue sendiri, deh." Tresi menjawab dengan acuh.
Dari wajahnya, ia terlihat enggan menanggapi ocehan pria di sampingnya. Pikiran Tresi sudah teralihkan, saat mendengar kicauan burung, desau angin, bahkan gesekan dedaunan di atas pohon. Semua itu jauh lebih menarik dibanding obrolan bersama pria yang berjalan dengannya.
Tanpa terasa, mereka tiba dipemberhentian pertama. Tresi mengeluarkan botol minum dari tas, kemudian menenggaknya. Mengaliri tenggorokannya yang terasa kering akibat perjalanan yang cukup jauh dari bawah sana. Waktu juga mulai beranjak tengah hari, hingga mereka memutuskan berhenti sejenak, untuk mengisi perut dan melepas dahaga.
"Tres, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap pria yang sejak tadi mengekori Tresi.
Tresi memutar bola matanya jengah. Sungguh, ia tidak menyukai pria ini sama sekali. Tuhan, aku ingin menjauh darinya, doa Tresi dalam hati.
"Ngomong apa?" tanya Tresi.
"Aku tuh, udah lama suka sama kamu. Kamu, mau gak jadi pacar aku?'
Kedua mata Tresi membelalak lebar. Gadis itu bahkan sampai menahan napasnya karena terkejut. Beberapa menit kemudian, Tresi menyemburkan tawanya. Membuat pria yang menyatakan perasaannya itu, mengernyit heran.
"Apanya yang lucu?" tanya pria itu.
"Lo, lagi mimpi, ya? Apa mata lo yang katarak? Atau, jangan-jangan, lo buta?" Tresi bertanya dengan beruntun.
Gadis itu masih tidak percaya, ada pria tampan yang menyukainya. Lo, sih, seleranya si Emi. Bukan gue, ucapnya dalam hati.
"Kok, kamu ngomong gitu? Mataku masih sehat. Aku juga gak lagi mimpi," sanggah pria itu serius.
"Terus? Lo, pikir gue percaya, cowok kayak lo itu, gak mungkin suka sama gue. Selera lo itu, pasti gak jauh-jauh dari Sheila anak fakultas ekonomi. Cantik, bahenol, montok, seksi." Tresi menjabarkan ciri-ciri yang mungkin saja menjadi incaran para pria di kampusnya.
"Sayangnya, yang aku suka itu, kamu!" serunya lagi.
Tresi pun menghentikan tawanya. "Sorry nih. Tapi, gue gak suka sama lo." Tresi menepuk pundak pria itu.
Ia pun mulai membereskan barang-barangnya. Sebentar lagi, rombongan akan melanjutkan pendakian. Pria itu terlihat geram. Ia pun berpaling dan bergabung dengan rombongan lainnya. Tresi pun selesai dengan barang bawaannya.
***
Waktu sudah memasuki sore hari saat mereka kembali berhenti. Kali ini, tak ada lagi yang mengganggu Tresi. Merasa lelah, Tresi memilih duduk di atas batu besar dan menenggak air dalam botolnya lagi. Meski merasa senang, tetapi Tresi merasa ada yang kurang. Semua itu, karena Emi tak ikut pendakian kali ini.
Ah, sepi gak ada Emi. Tapi, gue seneng sih. Udah lama rasanya gak ngehirup udara seger begini. Tresi bergumam.
Setelah setengah jam berhenti, rombongan kembali melanjutkan pendakian untuk mencari tempat berkemah lebih dulu sebelum malam. Sayang, saat turun dari batu tempatnya duduk, kaki Tresi terkilir. Dengan tertatih, ia mengikuti langkah rombongan yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Tidak ada yang menyadari ketidak beradaannya dalam rombongan.
Sialnya, kaki Tresi kembali tersangkut akar, hingga tergores. Ia pun semakin kehilangan jejak para pendaki lainnya. Ah, sial! Mereka pasti udah jauh banget. Mana udah gelap lagi, gumamnya dalam hati.
Perlahan Tresi melanjutkan langkahnya. Cahaya yang tak seberapa, membuat Tresi semakin jauh tersesat. Ia tidak tahu sudah berada di mana saat ini. Pasalnya, baru kali ini Tresi mengikuti kegiatan hiking di kota tempatnya menimba ilmu. Selama ini, ia terbiasa mendaki di kota kelahirannya, yang terletak sangat jauh dari tempatnya tinggal saat ini. Ia sama sekali tak mengenal hutan itu.
"Aduh, kayaknya gue kesasar, deh. Ini di mana, ya? Mana udah gelap banget." Tresi merogoh sakunya.
Tresi menatap ponsel yang ia bawa. Sayangnya, tidak ada sinyal di tempat itu. Kembali Tresi menyimpan ponselnya. Namun, tiba-tiba ada langkah yang mengikutinya dari belakang belakang. Membuat gadis itu mulai merasa takut. Lagi, ia mengambil ponsel dalam saku jaket yang baru saja ia simpan. Mengarahkan ke segala arah. Mencoba melihat siapa yang mengikutinya.
Namun, cahaya ponsel tidak dapat menangkap sesuatu yang ingin dilihatnya. "Siapa di sana?" teriaknya.
Jantung Tresi mulai berdegup cepat, saat mendengar sebuah suara yang tidak menyerupai manusia. Gadis itu menyadari, jika yang mengikutinya adalah hewan liar. Tresi meneguk salivanya kasar. Kemudian, mengabaikan rasa sakit yang mendera kakinya. Ia berusaha berlari menjauh dari gerombolan binatang buas yang mungkin menguasai hutan itu.
"Aduh, kaki gue sakit banget," erang Tresi tertahan.
"Tahan, Tres. Lo gak mungkin berhenti di sini. Yang ada, lo bakal mati konyol aja!" Tresi memperingati dirinya.
Tresi jatuh terjerembab, hingga tangannya ikut terluka. Ia berteriak sekencang mungkin. Berharap seseorang datang menolong. Kakinya kini semakin sulit untuk digerakkan. Seakan mati rasa. Kembali Tresi mengarahkan cahaya ponselnya. Mencari tahu binatang yang mengejar dirinya.
"Serigala?" ucapnya lirih.
Wajahnya semakin pucat pasi saat melihat kumpulan serigala itu mendekatinya perlahan. "Tolong!" teriak Tresi.
Entah berapa kali sudah ia berteriak minta tolong. Namun, tidak seorang pun yang bisa mendengarnya.
Siapa pun, tolong gue! jeritnya dalam hati.
Tepat saat serigala itu hampir menerkam Tresi, seseorang datang dan menghalangi para kawanan serigala liar itu. Tak lama, Tresi tak sadarkan diri, setelah memastikan yang menolongnya adalah manusia.
"Kenapa kalian mengganggu manusia? Cari buruan lain. Aku tidak mengizinkan kalian menerkam manusia!" titahnya.
Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Tresi dan pria itu. Setelah memastikan kawanan serigala itu pergi, pria itu mendekati Tresi. Sayangnya, Tresi tak lagi sadarkan diri.
"Hei, bangun!" Pria itu menepuk pipi Tresi.
Tak mendapat jawaban, membuat pria itu mendengus kesal dan mengangkat tubuh Tresi. Meninggalkan barang bawaan Tresi di sana. Pria itu melesat bagaikan angin yang bertiup kencang.
"Menyusahkanku saja!"
***
visualisasi tokoh:
ini babang Bima yang awet muda ☺️
Pria itu membawa Tresi ke dalam rumah yang dibangunnya sendiri di tengah hutan. Meletakkan tubuh tak berdaya itu di atas dipan yang biasa ia gunakan. Kemudian, melihat luka di kaki dan tangan gadis yang ditolongnya.
"Hmm, ini akan infeksi jika dibiarkan," gumam pria itu.
Ia menatap sekeliling rumah sederhananya. Melihat dedaunan yang mungkin bisa ia jadikan obat-obatan untuk menyembuhkan luka sang gadis. Tak menemukannya, ia kembali ke hutan dan mencari daun-daun yang dibutuhkan.
"Gadis itu sepertinya akan menyusahkanku," gumam pria itu seraya memetik dedaunan yang ia butuhkan.
Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan, pria itu kembali ke rumahnya dengan barang bawaan milik gadis yang ia tolong tadi. Ia meletakkan barang gadis itu di ujung ruangan. Kemudian, menumbuk dedaunan yang tadi dicarinya. Setelah itu, menempelkan ramuan itu pada luka di tangan dan kaki Tresi.
"Semoga luka gadis ini, cepat sembuh," harapnya.
***
Keesokkan harinya, Tresi tersadar. Ia menatap ke sekeliling tetapi, tak mengenal tempat itu. Ini di mana? tanyanya dalam hati.
Tresi berusaha menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi, terasa begitu sulit. Sial! Badan gue rasanya remuk banget, gumam Tresi.
Tak lama, ia melihat seseorang datang mendekat. Seketika pandangan Tresi terkunci pada sosok pria yang berdiri di hadapannya.
Ya, ampun. Ini mimpi apa nyata? Itu cowok, ganteng banget. Sumpah, gue rela diapa-apain sama, nih, cowok. Tunggu! Apa jangan-jangan gue udah mati? Apa dia ini malaikat pencabut nyawa? Oh my God! Tresi sudah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Kamu sudah sadar?" tanya pria itu.
Astaga, suaranya merdu banget. Bikin gue jatuh hati, jerit Tresi dalam hati.
Pria itu mengernyitkan dahi melihat Tresi tersenyum tak jelas. "Dia kenapa? Apa jangan-jangan dia jadi bisu karena kejadian semalam?" gumamnya.
"Gue gak bisu, kok. Gue, cuma lagi menikmati ciptaan Tuhan yang paling indah," jawab Tresi setelah mendengar gumaman pria di depannya dengan senyuman semanis mungkin.
Sepertinya, Tresi sudah lupa dengan kejadian yang menimpanya semalam. Ia menatap sang pria tanpa berkedip sedikit pun.
"Baguslah kalau sudah sadar. Kau bisa kembali ke asalmu!" ucap pria itu ketus.
Tresi tak menggubris ucapan pria di depannya. Ia bahkan semakin tersenyum lebar pada pria itu. Jantungnya berdegup sangat cepat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
"Hei, kamu dengar saya, 'kan?" sentaknya.
"Eh, iya, iya. Gue dengar. Tapi, …." Tresi tak menggantung ucapannya.
"Tapi, apa?" Pria itu memicingkan mata, menaruh curiga.
"Gue gak bisa gerak. Badan gue berasa remuk banget. Tangan sama kaki gue juga terasa kebas," rintih Tresi.
Wajah pria itu berubah serius. "Jangan bohongi saya!" ucapnya tegas.
"Ngapain juga gue bohongin lo! Gak ada untungnya. " Tresi terlihat kesal.
Ia terus mencoba menggerakkan tangan dan kaki, agar pria di hadapannya tidak lagi menaruh curiga. Namun, sekuat apa pun Tresi mencoba, ia tetap tidak bisa bergerak. Hanya satu tangan yang mampu ia gerakkan. Sementara kedua kakinya, seakan mati rasa.
"Lo beneran gak buat gue lumpuh, 'kan?" Tresi memicingkan mata.
Jelas itu bukan pertanyaan. Lebih tepatnya, Tresi sedang menuduh pria itu. Mendengar tuduhan tak berdasar yang Tresi layangkan, wajah pria itu berubah sangat kesal.
"Dia benar-benar menyusahkan. Tahu akan berakhir begini, sebaiknya kubiarkan dia dimakan oleh mereka!" gumamnya kesal.
Tresi masih bisa mendengar gumaman pria itu. Ia pun teringat akan kejadian malam tadi. Tersesat dan dikejar serigala liar, bahkan ia hampir menjadi santapan mereka. Sungguh, malam tadi adalah kejadian paling menakutkan bagi Tresi.
"Ternyata, lo yang nyelametin gue dari serigala liar semalam, ya? Astaga. Makasih banget, ya. Kalau lo gak ada, gue pasti udah mati semalem." Raut wajah Tresi terlihat sangat berterima kasih padanya.
Pria itu tak menggubris ucapan Tresi. Ia hanya fokus pada kondisi luka di kaki dan tangan Tresi. Melihat dengan seksama luka-luka yang membiru serta membengkak.
"Ternyata kakimu bengkak. Luka di tanganmu pun, mulai infeksi. Biar ku obati," ujarnya.
"Lo, dokter, ya? Astaga, kok bisa dokter tinggal di tengah hutan begini? Apa lo dokter hewan?"
Lelah mendengar segala ocehan Tresi, ia pun mengancam, "Jika kau tidak tutup mulut, akan kulempar kau kembali ke tengah kawanan serigala liar semalam. Mau?"
Mendengar ancaman pria yang menolongnya, Tresi melipat bibir. Ia bahkan meneguk salivanya yang terasa pahit. Setelah Tresi tak lagi bersuara, pria itu kembali fokus untuk mengobati luka di kaki dan tangannya.
"Hah, cedera otot juga. Sepertinya, kau terlalu memaksakan kakimu berlari, saat terluka. Inilah jadinya," ucap pria itu ketus seraya menempelkan dedaun yang sudah ia tumbuk lagi.
Tresi meringis saat pria itu menempelkan dedaunan itu di kaki dan tangannya dengan sedikit kasar.
"Ya, namanya juga panik. Mana inget kalau ada luka," gerutunya.
"Ngomong-ngomong, nama lo siapa?" tanya Tresi lagi.
"Bima," jawabnya singkat.
"Gue Tresi. Salam kenal, ya."
"Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara waktu. Sampai luka di kaki dan tanganmu pulih kembali," ujar Bima.
Bima melangkah ke arah meja. Mengambil sebuah apel dan pisang. Kemudian, dia memberikannya pada Tresi. Gadis itu mengangkat kedua alis.
"Makanlah!" titah Bima karena gadis itu tak jua mengambil buah di tangannya.
"Buah doang? Gak ada nasi?" tanyanya.
Mendengar ucapan Tresi, Bima mengerutkan dahi. "Apa itu nasi?" Bima bertanya balik.
"Astaga!" Tresi menepuk dahinya, mendengar pertanyaan Bima yang seakan tidak tahu apa itu nasi.
Tresi tak menyangka, jika di dunia ini ada orang yang tak mengenal nasi. Dia datang dari planet kali, ya. Bisa-bisanya gak kenal nasi, gerutu Tresi dalam hati.
"Kau mau makan atau tidak?" tanya Bima. Pria itu merasa tangannya sudah kebas.
"Ya, mau. Tapi, masa pake tangan kiri? Kan gak sopan." Tresi memberi alasan.
Bima mendengus kesal mendengar alasan yang Tresi berikan. Mau tidak mau, Bima menyuapinya. Tresi tak membuang kesempatan untuk memandangi wajah Bima.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Ada yang aneh?"
"Tidak. Aku merasa kau sangat tampan."
"Cih!"
Namun, diam-diam keduanya saling mencuri pandang.
***
Tidak terasa, hampir satu minggu Tresi berada di tempat Bima. Tidak pernah sekali pun, Tresi tidak mengganggu Bima. Namun, Bima tak pernah menanggapi. Melihat luka Tresi pulih, Bima pun meminta gadis itu pergi.
"Sepertinya, kaki dan tanganmu sudah lebih baik."
"Hmm, sepertinya iya." Tresi melihat luka di kaki dan tangannya.
"Kalau begitu kau boleh pergi. Aku akan mengantarmu sampai ke jalur pemukiman warga."
Tresi menarik napas dalam dan menghelanya perlahan. "Bima," panggil Tresi.
Bima mengangkat pandangan, menanti Tresi menyelesaikan ucapannya. Beberapa menit berlalu, Tresi tak jua menyelesaikan kata-katanya tadi. Gadis itu justru terus menerus terlihat gugup. Berdeham beberapa kali, meremas jemarinya, menarik napas lagi, dan menghela napas kembali. Hanya hal itu yang ia lakukan.
Melihat hal itu, Bima pun memutuskan bertanya, "Ada yang ingin kau katakan?"
Tresi menggelengkan kepalanya cepat. Bima pun menganggukkan kepala. Kemudian, keduanya mulai meninggalkan rumah itu. Bima berjalan di depan Tresi. Melihat profil belakang Bima, membuat Tresi ingin berlari dan memeluknya.
Baru sekitar lima kilometer mereka berjalan, Tresi menghentikan langkahnya. Menarik napas perlahan, dan menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.
"Tidak bisakah kita berhenti sebentar? Gue cape banget," keluh Tresi disela napasnya yang tersengal.
Bima menoleh. "Baiklah."
"Apa masih jauh?" tanya Tresi setelah menenggak air dari botolnya.
"Tidak. Kita sudah dekat. Mungkin, sekitar sepuluh kilometer lagi," jawab Bima enteng.
Dekat dia bilang? Dasar gila! maki Tresi.
"Cukup istirahatnya. Atau kau tidak akan pernah sampai ke pemukiman warga!" seru Bima.
Mereka pun kembali melanjutkan langkah. Meski lima kilometer kemudian, harus berhenti kembali. Saat mereka tiba di dekat pemukiman warga, Bima pun meminta Tresi segera pergi.
"Bima!" panggil Tresi.
Langkah Bima terhenti. Ia pun menoleh dan menatap Tresi. Perlahan, Tresi mendekati Bima.
"Gue tahu, kita baru kenal. Tapi, gue terlanjur suka sama lo. Apa, lo mau jadi pacar gue?"
Bima terkejut mendengar pengakuan Tresi. Namun, Bima berusaha untuk tetap terlihat biasa saja.
"Sayangnya, aku tidak menyukaimu. Cepat pergi!" usir Bima dengan nada ketus.
Mendapat penolakan dari Bima, membuat Tresi nekad. Ia berlari mendekati Bima, kemudian mencium bibir pria itu. Ada sesuatu yang aneh Bima rasakan, hingga tanpa sadar, Bima membuka mulutnya. Hal itu, sukses membuat Tresi lebih leluasa mencuri ciuman dari Bima.
"Gue pergi dulu!" Tresi segera berbalik meninggalkan Bima, setelah melepaskan ciumannya.
Kenapa aku merasa ada yang aneh? Ada apa ini?
***
nah, ini Tresi yg cukup pemberani.
semoga, sesuai dengan ekspektasi kalian☺️
Setelah kepergian Tresi setengah jam yang lalu, Bima hanya diam terpaku di tempatnya berdiri. Bukan karena tindakan Tresi yang terbilang nekad. Akan tetapi, ia merasa ada yang hilang dari dirinya. Namun, ia belum mengetahui apa itu.
Aku merasa ada yang hilang. Tapi, apa? Bima mengernyitkan dahinya.
Bima kembali terdiam. Memusatkan pikiran, untuk mencari sesuatu yang hilang itu. Beberapa menit kemudian, kedua bola matanya membesar. Mutiaraku! Gadis itu telah mencurinya! Sial! Bagaimana mutiara itu bisa berpindah? batin Bima.
Dengan kekuatannya, Bima menyusul langkah Tresi. Dalam lima belas detik, ia sudah menyusul langkah Tresi. Membuat gadis itu terjengkit kaget. Jantung Tresi berdegup kencang, sebelum mengetahui siapa orang yang mengejutkan dia.
"Lo ngagetin gue aja, sih!" pekik Tresi.
Namun, Bima hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Ia memindai tubuh Tresi. Benar saja, ia bisa melihat kilau mutiara yang dicarinya dalam tubuh Tresi. Bagaimana bisa gadis ini mencurinya tanpa sepengetahuanku? Sekarang, bagaimana caraku mengambilnya?
"Perasaan, jarak dari hutan ke sini itu jauh deh. Gue tadi juga sempat lari." Tresi bergumam. Jangan bodoh Tresi! Dia itu laki-laki, gampang aja buat dia nyusul lo ke sini! monolog Tresi.
Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Namun, Tresi lebih dulu mempertanyakan maksud Bima menyusulnya.
"Ada apa lo nyusul gue?" tanya Tresi.
Bima menatap kedua mata Tresi. Ia mencoba untuk membaca tindakan yang mungkin, akan Tresi lakukan. Namun, ia tidak bisa. Apa ini pengaruh dari ketiadaan mutiara itu? tanya Bima dalam hati.
"Apa jangan-jangan lo nyesel, ya, udah nolak gue?" lanjut Tresi.
Melihat kediaman Bima, Tresi pun mengendikkan bahu acuh. "Ya, udah kalau lo gak mau ngomong." Tresi pun segera melangkah meninggalkan Bima.
"Tunggu!" cegah Bima.
Tresi menghentikan langkahnya, tanpa berbalik. Mendengar nada tegas yang keluar dari Bima, Tresi pun menyadari kesalahannya tadi. Astaga! Pasti dia marah, gara-gara gue cium dia! Mampus, gue! ucap Tresi dalam hati.
"Aku mau jadi pacarmu! Dengan syarat ..., kita tinggal bersama!"
Mendengar ucapan Bima, Tresi berbalik dan menatap bingung pria itu. Ia bahkan melupakan sejenak masalah yang ia buat tadi.
"Tinggal bersama?"
Bima menganggukkan kepala. Tresi mengerjap cepat, mencoba mencerna ucapan pria di depannya ini. Maksudnya, gue sama dia, tinggal satu rumah gitu? monolog Tresi.
"Tunggu, tunggu! Kenapa harus tinggal bersama?" tanya Tresi bingung.
Bima mendekati Tresi dan berbisik, "Karena kau sudah mencuri sesuatu yang berharga dariku!"
Tresi meneguk salivanya susah payah. Kembali teringat akan ciuman yang ia ambil tadi. Berarti, tadi itu ciuman pertamanya? pikir Tresi.
"Sekarang, pulanglah. Aku akan menemuimu nanti!" ucap Bima, seraya membalik tubuhnya.
Setelah mengucapkan hal itu, Bima meninggalkan Tresi lebih dulu. Gadis itu sampai tak bisa mengatakan apa-apa. Semua terjadi begitu cepat.
Apa sekarang kami udah jadian? Sepasang kekasih? Ya ampun! Wajah Tresi merona mengingat kejadian yang baru saja ia alami.
Gadis itu pun melangkah pergi, meninggalkan tempat itu.
***
Bima menghela napas dalam. Mencoba memikirkan cara mengambil mutiara yang ada dalam tubuh Tresi. Tidak pernah ia membayangkan kejadian ini akan menimpa dirinya.
"Sial! Tanpa mutiara itu, aku bisa mati kapan saja," gerutu Bima.
Ia kembali terdiam, mencoba memikirkan jalan keluar yang tepat, untuk mengambil miliknya kembali. Saat tengah terdiam, bayangan seorang gadis pun muncul dalam benak Bima.
"Ursula," gumamnya, "sebaiknya, aku putuskan dulu hubunganku dengan dia. Lagi pula, sejak awal aku tidak menyukai wanita agresif seperti dia!" lanjut Bima.
Pria itu segera meninggalkan kediamannya yang tenang di tengah hutan. Mencari sosok yang sempat terlintas dalam benaknya tadi. Tidak butuh waktu lama, bagi Bima menemukan gadis itu.
"Wah, ada angin apa sampai calon suamiku datang ke sini," sambut gadis cantik yang Bima datangi.
Wajahnya memang cantik, tetapi tidak bisa menutupi kelicikan yang terlihat di mata gadis itu. Bima mengangkat sebelah alisnya.
"Kau merindukanku, Sayang?" Gadis itu bergelayut manja pada Bima.
Merasa jengah, Bima melepaskan belitan tangan gadis itu dari tubuhnya. "Aku ingin bicara," ucap Bima.
"Bicara saja." Gadis itu tetap bergelayut manja.
Bima menarik napas dalam, sebelum menyampaikan keinginannya. "Aku ingin mengakhiri pertunangan kita!"
Gadis itu terkejut. Ia menatap Bima tajam. Terlihat, jika kemarahan mulai menguasainya. Bima tak terpengaruh sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di tempatnya.
"Apa? Kenapa? Apa ada seseorang yang kau sukai? Siapa orang yang sudah berani mencurimu dariku?" geramnya.
"Ursula, bukankah sejak awal aku sudah tidak menyukaimu? Aku bahkan tidak menginginkanmu! Siapa yang selalu mendesak ayahku untuk melakukan pertunangan? Kau! Kau yang terobsesi padaku!" tunjuk Bima pada gadis bernama Ursula.
"Ya! Itu aku. Tapi, semua itu karena aku mencintaimu Bima!" pekik Ursula.
"Terserah. Mulai detik ini, kau bukan lagi tunanganku!" Bima melesat pergi meninggalkan tempat Ursula.
Ursula berteriak sekencang mungkin, untuk melampiaskan rasa kesalnya. "Tidak akan aku biarkan Bima lepas dari genggamanku. Siapa yang berani merebut Bima?" gumam Ursula kesal.
Gadis itu segera menyusul langkah Bima, tanpa bisa Bima deteksi. Karena Ursula, sengaja menjaga jarak aman dari pria itu.
***
Bima mencoba mencari keberadaan Tresi dengan penciumannya. Sebagai werewolf, ia mampu mengendus keberadaan target dari jarak jauh sekali pun. Apa lagi, ia sudah mengenal bau Tresi.
Ia terus melesat, hingga ia tiba di sebuah rumah yang terlihat sederhana. Namun, ada bau yang tidak Bima kenal. Ada orang lain di dalam. Sebaiknya, aku bersikap layaknya manusia, gumam Bima dalam hati.
Setelah menarik napas, Bima mulai mengetuk pintu. Sesuai dengan dugaannya, tak lama keluar seorang gadis yang tidak Bima kenal.
"Cari siapa, ya?" tanya gadis itu. Mata gadis itu berbinar melihat pria tampan di hadapannya.
Bima mengerjapkan mata cepat, seraya mengingat nama gadis itu. Siapa nama dia, ya? gumam Bima dalam hati.
"Siapa, Em?"
Bima mengenali suara itu. Dari balik pintu, terlihat Tresi menyembulkan kepalanya. Gadis itu terperanjat melihat kehadiran Bima.
"Bima," gumam Tresi.
"Bima siapa?" tanya gadis yang berdiri di depan Tresi.
Tresi menunjuk Bima dengan matanya. Gadis itu pun membelalakkan mata tak percaya, saat melihat Bima, pria yang sudah Tresi ceritakan padanya tadi.
"Lo gak salah? Cowok yang lo bilang mau jadi pacar, terus ngajak tinggal bareng itu dia?"
Tresi menganggukkan kepala cepat sebagai jawaban. Emi ternganga melihat Tresi mengangguk.
"Gila! Ini, sih, spek oppa di drama jaman now!" pekik gadis itu tak percaya.
Dari kejauhan, Ursula melihat semua kejadian itu. "Jadi, dia gadis yang membuatmu meninggalkanku? Dari baunya, dia bukan dari bangsa serigala. Apa tadi dia bilang? Tinggal bersama? Kau bahkan sengaja pindah ke tengah hutan, sejak kita bertunangan! Lihat saja! Tidak akan kubiarkan kau bersama dengan gadis manusia itu!"
Mata Ursula berubah warna, saat menahan amarah. Hampir saja, ia merubah wujudnya menjadi serigala, jika tidak segera pergi dari sana. Dalam hati ia berjanji, akan kembali merebut Bima dengan segala cara.
"Aku akan kembali mengambil milikku! Tunggu saja!" desisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!