Ch. 18 >> Bara vs Bima

Bagas menatap tak percaya pada Bima. "Jangan gila, Bima! Tidak ada sejarahnya, bangsa Werewolf berubah menjadi manusia. Begitu pun sebaliknya. Kita bukanlah bangsa vampire, yang bisa merubah manusia serupa dengan kita. Sebaiknya, tinggalkan gadis itu!"

"Kau tidak akan bisa menghalangiku. Sudahlah, sebaiknya aku temui Bara. Entah apa yang dia inginkan kali ini," ujar Bima mengakhiri pembicaraan mereka.

Sayangnya, langkah Bima kembali terhenti. Ia menghela napas lelah.

"Kau tidak perlu meladeninya. Kali ini, aku yakin dia menginginkan wilayah kekuasaanmu."

Bima berbalik menatap Bagas. "Wilayahku?" ulang Bima.

"Hem, kau tidak tahu, jika Raja sudah membagi wilayah kekuasaan pada kita?"

Bima menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Tidak ada seorang pun yang memberitahunya masalah ini. Bahkan, Patrick sekali pun.

"Sejak kapan Raja membaginya?"

"Bulan lalu. Setelah kau menjatuhi Ursula hukuman. Lebih membuat iri lagi, bagianmu adalah yang terbesar."

Bima menggelengkan kepala tidak percaya. Selama ini, bukan hanya dirinya yang bisa menjatuhi hukuman pada rakyat, atau petinggi kerajaan yang melakukan kesalahan. Baik itu Bima, Bagas, atau pun Bara.

"Tidak mungkin! Selama ini, bukan hanya aku yang bisa melakukan hal itu. Lantas, kenapa Raja memberi bagian terbesar padaku?" tanyanya.

Bagas yang tidak tahu menahu dengan keputusan Raja, hanya mengendikkan bahu sebagai respon.

"Aku ingin bertemu dengan Raja," ucap Bima.

Ia segera berbalik arah. Mencari keberadaan Raja, yang notabene adalah ayahnya. Jika apa yang ia dengar dari Bagas benar, jelas saja hal ini membuat Bara geram.

***

Tiga hari sudah semenjak Bima pergi. Tresi merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Entah mengapa, ia merasa tubuhnya sangat lemas. Meski sudah mengisi energi dengan makanan, ia tetap lemas. Karena itu, ia lebih memilih berdiam diri di kamar.

Suara ketukan pintu, memaksa Tresi beranjak. Pintu terbuka, menampakkan Emi yang berdiri di ambang pintu. Tresi menatap malas sahabatnya itu.

"Jalan, yuk," ajak Emi.

Sayangnya, Tresi tak menggubris ajakan sang sahabat. Gadis itu memilih beranjak kembali ke pembaringannya. Merebahkan tubuh dan menutup mata. Emi yang melihat itu, hanya mampu mendesah lelah.

"Ayolah, Tres. Gak usah alasan bilang lo malas! Lo, itu begini gegara ditinggal Bima, 'kan? Dia ke hutan itu bukan main, tapi lagi ada urusan. Kaya yang ditinggal beda negara aja," ejek Emi.

"Gue lagi gak enak badan, Em. Bukannya gak mau keluar sama lo,"  jawab Tresi lemah.

"Lo, sakit?" Emi mendekat dan memeriksa suhu tubuh sahabatnya itu.

"Tapi, suhu badan lo gak panas, kok."

Tresi menjauhkan tangan Emi yang memegang dahinya. "Gak tahu kenapa, tapi badan gue berasa lemas." Tresi menjelaskan kondisinya pada Emi.

"Lo, udah makan?" tanya Emi khawatir.

Melihat kekhawatiran sahabatnya, Tresi menjawab dengan anggukkan kepala.

"Lo … gak hamil, 'kan?"

Sebuah bantal melayang ke arah Emi. Tatapan tajam Tresi turut menyertai. Gadis itu hanya cengar-cengir.

"Bima itu orang paling sopan yang pernah gue temui. Salah, dia bukan orang. Gue bingung, mau bilang dia manusia, tapi di setengah serigala. Jadi, gak bisa gue bilang orang." Tresi terlihat berpikir, harus menggolongkan Bima ke dalam makhluk hidup jenis apa.

"Terserah lo, mau anggap dia orang, atau hewan. Sekarang gue tanya sama lo. Bener, lo gak sampe berhubungan badan sama Bima, 'kan?" cecar Emi.

"Ya, enggaklah, Em. Gue gak gila, semudah itu nyerahin harta gue yang  paling berharga. Iya, kalo dia tanggungjawab. Kalo, enggak? Yang ada gue dicincang sama emak gue. Belum lagi, bapak gue." Tresi menggerutu panjang lebar.

Gadis itu mencebikkan bibirnya. Merasa kesal, atas tuduhan tak berdasar yang Emi layangkan. Emangnya gue semurahan itu apa?

"Ya, sorry. Abis, lo kaya orang yang lagi hamil, sih. Lemas begitu. Bawaannya juga tidur terus," lanjut Emi.

Malas menanggapi, Tresi memilih membelakangi sahabatnya. Rasa kantuk mulai menderanya. Membuatnya ingin terbang ke alam mimpi barang sebentar. Tak butuh waktu lama bagi Tresi untuk berpindah alam.

"Tres, Tresi," panggil Emi.

Emi yang tak melihat pergerakan Tresi pun melirik ke arah sang sahabat. "Ya ampun, dia malah tidur. Bukannya dengerin gue. Bener, bener deh," omel Emi.

Emi pun memilih keluar dari kamar yang Tresi tempati. Membiarkan sahabatnya itu tidur. Berharap, saat bangun nanti, Tresi kembali bugar.

***

Bima kembali ke pondok yang ia dirikan. Belum sempat ia membuka pintu, seseorang sudah menyerangnya. Beruntung, Bima memiliki gerak reflek dan kepekaan yang cukup tinggi.

"Kenapa kau baru muncul sekarang? Kau takut padaku?" ejek Bara.

"Jadi, kau masih menungguku di sini?" Sebelah alis Bima terangkat.

"Jangan besar kepala! Aku bukan menunggumu untuk bermain. Aku menginginkan apa, yang seharusnya menjadi milikku!" desis Bara.

Bara langsung menyerang Bima. Dengan sigap, ia segera menangkis dan bertahan dari serangan Bara. Seringai jahat terlihat jelas di wajah Bara.

"Kau takut menghadapi ku?"

"Aku tidak pernah takut padamu!"

"Lalu, kenapa kau tidak membalas seranganku? Atau kau meremehkan ku?"

Wajah Bara semakin mengeras. Wajahnya memerah menahan amarah. Terlebih, melihat Bima hanya bertahan dari serangannya, tanpa berniat membalas.

Namun, berbeda dengan Bara, Bima terlihat lebih tenang. Bukan karena ia takut pada Bara. Bagaimana pun, mereka bersaudara. Bagi Bima, sekali pun Bara membencinya, tidak mungkin bagi Bima membenci sang kakak.

"Tidak pernah sekali pun, aku meremehkanmu!"

"Omong kosong! Kau kira, aku akan percaya? Jangan harap! Terima ini!" Bara kembali menyerang Bima.

Lagi dan lagi, Bima hanya menangkisnya. Tenaga Bima mulai terkuras dan melemah. Ia tahu, ini adalah efek ketiadaan mutiara keabadiannya.

Sial! Aku bisa mati, jika dia terus menyerangku dengan membabi-buta! gerutu Bima dalam hati.

Satu telapak tangan Bara, tepat mengenai dada Bima. Membuat adik sekaligus rivalnya itu jatuh tertelungkup.

"Cukup, Bara. Aku mohon, hentikan semua ini!" Bima memegang dadanya yang terkena pukulan Bara.

"Kau pikir aku peduli? Aku ingin kau mati!"

"Hentikan!" teriak seseorang.

Bima dan Bara menghentikan pertarungan. Bara mengepalkan tangannya kuat. Namun, ia tidak bisa melawan titah tersebut.

***

hai, hai, hai. sambil menunggu update, mampir juga ke karya:

Dari ketidak-sengajaan Silvana melepaskan rantai dan anak panah yang menancap pada sebuah patung tua. Hal itu justru mengubah seluruh kehidupannya. Bagai cerita dongeng zaman dahulu kini di rasakan oleh Silvana.

Kehidupan Silvana yang awalnya masih terbilang baik-baik saja kini berubah menakutkan karena banyak yang mengincar nyawanya.

Siapa pria itu?

Apa yang diinginkannya?

Kenapa banyak yang ingin membunuh Silvana?

Baca langsung aja ya!!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!