GERHANA DI MENARA KUDUS
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (2x)
Asyhadu allaa illaaha illallaah. (2x)
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. (2x)
Hayya 'alashshalaah (2x)
Hayya 'alalfalaah. (2x)
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)
Laa ilaaha illallaah (1x)
Begitulah panggilan Adzan yang berkumandang dari Masjid Menara Kudus. Aku bersama ayahku hendak berziarah di Makam Sunan Kudus. Beliau berpesan padaku untuk selalu menghargai perjuangan penyebar agama Islam. Khususnya untuk wilayah Kudus dan sekitarnya. Setelah memperoleh parkiran yang aman, aku bergegas menuju tempat wudhu. Ayahku berada di tempat khusus jemaah laki-laki yang tempatnya terpisah dengan perempuan. Aku berjanji akan menunggu ayahku sampai selesai sholat sunnahnya.
Saat hendak mengambil tas berisi mukenaku, ada seorang santri yang pria yang membawa satu sendal jepit. Wajahnya tampak kebingungan, ternyata dia sedang iseng menyembunyikan sendal. Milik santri putra yang mondok di Kudus juga. Dia mengisyaratkan agar aku diam pura-pura tak melihat aksi nakalnya.
Baiklah santri jahil, entah sendal siapa yang kau sembunyikan. Tindakanmu ini jelas tidak patut, apalagi ini khusus jemaah perempuan (gerutu dalam hati).
“Hai, jangan bilang siapa-siapa ya!” santri itu memperingatkanku.
“Hemmmb,” aku cuek melenggang masuk masjid.
*
*
*
Di dalam masjid sudah berbaris rapi para jemaah. Entah itu dari peziarah atau area dekat Masjid. Aku mendapat urutan shaf ke dua dari depan. “Alhamdulillah, dapat pahala gede hehehe” begitu aku mengharapkan Ridho Alloh dalam sholatku.
Mu’adzin mengumandangkan Iqomah tanda segera dimulainya sholat Magrib berjamaah. Shaf dirapatkan agar syeitan yang mengganggu kekhusyukan tidak mempunyai celah. Sholat berjalan lancar dan tanpa hambatan, kami mempunya tradisi saling bersalaman. Dengan sesama jamaah, walaupun tidak saling mengenal. Dalam Islam, bahwa setiap muslim adalah saudara. Aku mengikuti dzikir dan memanjatkan do’a karena telah naik kelas. Berarti aku sudah masuk tahap akhir di bangku SMA. Aku berdoa agar proses belajarku lancar hingga ujian datang. Semoga usaha ayahku berjalan lancar, karena kami menggantungkan hidup dari sana.
Ayahku baru saja di pecat dari pabrik mebel Jepara. Ketika ayahku hendak kembali ke Kudus. Beliau mengalami kecelakaan, yang mengharuskan dirinya beristirahat dirumah lama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Ibuku membuka warung makanan kecil-kecilan di rumah. Selain bisa mengurus ayahku yang sakit, beliau juga bisa mengurus rumah tangga. Jika hari libur sekolah, biasanya aku ikut membantu ibuku pergi kepasar. Membeli keperluan untuk usaha olahan makanan.
Mukena yang aku pakai tadi, sudah terlipat rapi dalam tas. Aku hendak memakai jilbab ku yang berantakan ketika memakai mukena. Biasalah drama lama kalau jilbab suka acak-acakan. Ada cermin besar, aku bisa berkaca dengan puas. Hehehe namanya juga anak gadis, kalau ketemu cermin pasti merasa paling cantik seluruh dunia.
“Duh, sendalku mana ya? Katanya ada di sini” seorang anak lelaki memasuki kawasan masjid khusus jemaah perempuan.
Dia kasak kusuk memilah sendal-sendal yang berjajar berantakan. Ditemani seorang teman santri yang iseng tadi. Ternyata dia pura-pura ikut membantu mencari. Dia sendiri yang sudah mengerjai temannya itu. Dasar ulah anak remaja, eh aku juga saat itu masih remaja juga. Tapi tidak se iseng mereka juga.
“Maaf, mbak saya sedang mencari sendal yang hilang.” Ucap santri lelaki yang panik wajahnya.
“Iya mbak hehehe ssssssttt.” Temannya kasih kode.
Aku duduk mengecek jam tanganku, sambil melihat keseriusan santri lelaki mencari sendalnya yang hilang. Jengah aku melihat ulah jahil temannya. Aku berinisiatif mengambil sendal yang di sembunyikan. Kalau belum berpindah tempat saja. Ternyata benar, masih ditempat yang sama. Berada di atas pagar tempat wudhu jemaah perempuan.
“Ini, kembalilah ke masjid khusus jemaah pria! “ Kuserahkan sendal karet yang putih bersih.
Wajahnya sumpringah bukan main ketemu dengan sendalnya. Mungkin sendalnya masih baru, jadi sayang kalau hilang. Temannya sedikit jengkel karena aku mengabaikan perintahnya.
“Terimakasih ya mbak, sudah mengembalikan sendal sayang. Matur suwun.” Santri itu senang bukan main bertemu dengan sendalnya.
“Iya sama-sama.”
Aku berjalan menunggu ayahku di bawah menara, ternyata ayahku sedang khusyuk berdoa. Perutku sudah lapar, harus ditahan sampai urusan ayah selesai. Kupandangi langit senja di kota Kudus ini, warna emas tembok ini menjadi cantik. Indah sekali maskot kota kelahiranku. Semoga masa mudaku juga seindah maha karya masjid dan menara ini.
“Kak, ayo cari soto Kudus.”
Terbayang sudah nikmatnya masakan khas kota Kudus ini. Sudah berjalan kesana kemari tak kunjung juga kutemui penjual soto ini. Dengan kecewa aku setuju, diajak ayahku mampir di warung bakso.
“Eh eh itukan mbak-mbak tadi las di masjid.” Bocah jahil yang menyembunyikan sendal menyikut lengan temannya.
Anak santri itu hanya menunduk sopan, karena ada ayahku. Mereka pasti sungkan hendak menggodaku. Saat santri itu membenarkan pecinya. Kulihat rambutnya yang kurus digerakkan.
“Huaahh pedass,” ternyata dia kepedasan.
“Eh eh eh kok es teh ku kau minum sih.”
“Pedas Bi,” sudah habis es tehnya.
“Yah, kamu ini.” Melihat gelasnya sudah habis.
“Pak minta es teh lagi ya tambah 1,”
“Dar, dua jangan satu.” Ucap temannya minta tambah.
“Iya pak, tambah dua. Duhhh” kakinya menabrak meja makanku saat hendak kembali ke kursinya.
Menahan malu dan sakit, itulah gambaran yang dialaminya.
“Maaf pak gak sengaja,” Ayahku memaklumi tingkahnya.
Aku pun tersenyum tersipu malu, ternyata dari dekat. Hidungnya mancung, bulu matanya panjang dan satu hal lagi. Gigi ginsulnya menambah manis senyumannya. Duh, kok jadi ngawur gini ya. Ternyata dia juga membalas senyumanku.
*
*
*
Adzan Isya berkumandang, saatnya sholat berjemaah lagi. Ayahku membayar makanan kami, sedangkan aku menunggunya di depan Menara. Sambil melihat orang berfoto ria. Ternyata dua orang lelaki ini mengikutiku.
“Mbak boleh kenalan gak?”
“Emmmbbb,” jual mahal coy.
“Gak usah salaman gak papa mbak, namaku Haidar dan ini temanku Abi.” Ternyata Haidar lebih pemberani.
“Aku kesaya,” dengan malu-malu tapi ngarep kenalan sama mas-mas ganteng, bergigi ginsul.
“Yah gak pake salaman.” Ucap kecewa Abi.
“Ngawur, bukan muhrim dosa tahu.” Haidar mengempleng pundak Abi dengan peci hitamnya.
Ternyata makin lama Haidar tambah ganteng juga. Selain postur tubuhnya yang tinggi, mata bulat Haidar bagaikan bulan Purnama yang bersinar terang. Malam ini aku berdoa apa, tapi diberi apa dengan Tuhan.
“Kak, ayo masuk ambil wudhu sudah mau mulai sholat jemaahnya.”
Perkenalan kami akhirnya harus berakhir, ayahku menyudahi percakapan kami. Saat hendak berpisah Haidar menolehku, hingga tanpa sadar dia menabrak tong sampah yang berdiri di depannya.
“Cie yang naksir mbaknya,” ledek Abi menyeret Haidar masuk area Masjid.
Jika boleh usul, aku mau bertemu lagi dengan Haidar dan Abi. Semoga kami dipertemukan kembali. Karena inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan orang asing. Semoga Alloh mendengar suara hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-09-01
1
Siti Fatimah
aku orang Kudus
2021-02-09
1
Rebanamurah Jepara
ak. stay jepara thor tertarik bgt dg kota kudus yg penuh kenangan juga
2021-02-09
1