Cuaca malam ini sangat cerah, sama seperti perasaanku. Inikah yang dinamakan masa pubertas. ‘ Oh Indah sekali, ada denyutan seru dalam dadaku ini. Denyut jantungku menjadi abnormal seperti bianglala yang berputar-putar, saat Dandangan (tradisi pasar malam menyambut datangnya bulan suci Romadhon).
“Alhamdulillah, sudah sampai rumah.” Aku tersadar dari lamunanku, ketika ayahku menghentikan mesin motornya.
“Sudah sampai ya yah?” tanyaku lagi.
“Loh, tadi kakak ketiduran ya.” Ayahku mplenggong.
“Hehehe tidak yah, tadi kakak lihat langit yang terangi bulan.” Kecohku.
Ibuku sedang sibuk membereskan dagangannya. Kulihat adikku yang baru duduk di kelas 2 SLTP. Juga ikut membantu wadah-wadah kosong.
“Hore kakak pulang,” Sahut adikku yang paling kecil.
Dia tengah bermain boneka di depan TV, teriakannya antusias. Mungkin ingin segera aku gendong. Padahal dia sudah kelas 4 SD.
“Berat tahu dek kamu ini,” sambil berjalan aku gendong adik bungsuku.
Ayahku membantu merapikan bekas jualan ibuku, warung yang berada di teras rumah kami.
“Alhamdulillah hari ini jualan ibu laku pak, gak ada yang ngutang.”
Ayahku tersenyum melihat wajah ibuku yang letih. Tapi masih bisa tersenyum manis kepada suaminya.
“Amin, akhirnya rejeki kita beli kambing segera terealisasi ya bu.”
Keinginan ayahku yaitu memelihara kambing, selain jam kerjanya fleksibel. Juga bisa membantu pekerjaan rumah tangga dengan ibu, berbagi tugas.
“Iya yah, selama ayah belum pulih jangan kerja berat dulu. Kita harua semangat mencari rejeki untuk anak-anak kita.”
Ibuku adalah wanita yang sangat optimis. Tanpa dukungan ibu, mungkin ayah tidak akan melupakan trauma tragis. Sebuah kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah. Dan harus di pen (dipasangi besi pengait dalam tulang).
“Kak, ada PR sulit bisa ajarin gak?” Zayida kebingungan.
“Soal apa dek,” aku menengok materi pelajaran Matematika.
“Iniloh kak soal kok susahnya gini, padahal kalau lulus sekolah. Ilmu macam gini kan gak dipake buat jualan pulsa.” Zayida memang terobsesi ingin punya usaha konter.
“Yah, apalagi kakak dek. Selain Matematika sajalah, kakak nyerah.” Aku nyelonong masuk kamar bersama Salima yang tertidur di gendongan.
“Sudah, besok dikerjakan di sekolah saja. Nyontek punya temanmu, ini sudah jam 9 malam. Lebih baik kau bereskan buku pelajaranmu yang berserakan.” Nasehat ayah.
“Huuuuuh, memang benar. Jalan terbaik dari kebuntuan mengerjakan PR ialah berangkat pagi.” Zayida menyerah dengan soal sulit.
“Hahahaha, ayahmu memang pandai menuntaskan masalah tanpa masalah.” Ibuku nyeletuk.
*
*
*
Dalam sebuah taman yang terhampar luas, ada banyak bunga dan rumput hijau. Aku berlari menuju Puncak lembah sembari menyongsong matahari senja.
“Ayo terbang bersamaku,” tangan menjulur di depanku.
Kuraih tangan itu dan wallllaaaaaaa aku terbang, ‘Indah sekali pemandangannya’ aku seolah terbang. Semuanya dari atas sangat Indah, ada sungai yang mengalir jernih dengan batuan kali hitam. Wah, bahkan ikannya saja terlihat meloncat kepermukaan. Oh ternyata ikan itu sedang mencoba menangkap capung. Lucu sekali ulah binatang ciptaan Tuhan.
Geleeeedarrrrrrr duaaaarrrrrr, ternyata aku sudah jauh terbang. Di depan ada mendunh yanh coklat, lalu berubah abu-abu dan oh tidak. Lalu menjadi hitam pekat, eh ada kilatan cahaya.
“Jangan, jangan lepaskan tanganku. Aku bisa jatuh tolong pegang kuat tanganku!” pintaku yanh ketakutan karena sudah diatas awan tinggi.
Ternyata aku hanya bisa melihat senyumnya, wajahnya samar karena menghilang tertelan oleh awan hitam yang gelap. Tangannya sudah melepaskanku, tubuhku yang berarti ini akhirnya jatuh ke bumi. Terpelosok lagi kedalam semak-semak bumi.
Bruuuukkkkkk, suara meteor menghantam bumi.
“Aduduuuuuhhhh,” aku benar-benar merasa kesakitan.
“Nah kan, ibu tadi sudah bangunin susah sih. Kuwalat kan, sekarang jatuh dari ranjang. Lekas subuh sana, lalu sarapan.
Begitulah ibuku, yang bengis di pagi hari. Seperti mandor jaman penjajahan Jepang, dan aku sebagai Romusa (budak yang dipekerjakan paksa). Ternyata jatuh dari ranjang sakit juga ya, tidak senikmat jatuh Cinta ( protesku dalam hati).
*
*
*
“Wa’alaikum sallam, hati-hati ya dijalan. Belajar yang tekun agar ilmunya bermanfaat.”
Itulah nasehat ketika aku berpamitan dan mencium tangan ibuku. Selain memperoleh syafa’at doa, juga uang saku tentunya hahahaha.
Aku kayuh sepedaku dengan kecepatan santai. Pagi ini aku berangkat sendiri ke sekolah. Tidak ada warga satu rumah yang menggonceng. Iyah, setiap hari aku dan adikku Zayida berangkat bersama. Karena urusan penting menyangkut PR Matematika, Zayida berangkat lebih awal. Diantar oleh ayah dengan mengendarai sepeda motor.
*
*
*
Teng, teng-teng bunyi istirahat berbunyi. Tanda jeda menguras otak yang lelah karena tumpukan materi. Kami adalah siswa kelas 3 SMA yang sedang bertaruh melawan Ujian Nasional. Harapan kami adalah lulus dengan nilai yang baik.
“Kenapa kau senyam-senyum, melamun dilamar anak Bupati ya?” Nur teman sebangkuku.
“Ehmmmb bukan, bukan anak bupati tapi anak santri.” Aku menjawab jujur.
“Weleh, anak santri apa istimewanya. Mereka tidak boleh pacaran, gak usah naksir merekalah. Di sekolah kita banyak stok-stok anak muda yang tak terikat aturan ketat. Lihat sana ketua osis, ketua kelas, pembimbing pramuka kita kak Ramdan. Jangan ngaco ah kalau lagi naksir.” Nur mengolokku.
“Tuhan, kalau aku boleh meminta. Tolong ubahlah mulut temanku ini tak semanis biji Maoni (artinya ingin omongan Nur labih manis jangan pahit-pahit).” Aku menengadahkan tangan seolah-olah sedang berdoa.
“Amiin..... Mana berkatnya bukkk hehehe?” Tagih Nur yang kebiasaan.
“Berkatnya berupa harapan palsu, karena yang asli-asli itu bayarnya pake koin apa uang kertas.” Aku menyanggah balik omongan Nur.
*
*
*
Aku memang tak bisa menahan pengalamanku, saat bertemu dengan Haidar dan Abi. Pengalamanku yang pertama kali bertegur sapa dengan lawan jenis. Yang baru pertama kali aku kenal dan langsung akrab.
“Jadi kau semalam mimpi bertemu Haidar?”
“Hu’um,” aku mengangguk.
“Lalu?” Nur semakin merepet.
“ Saat ia terbang semakin tinggi, ada awan hitam memakannya. Dan tautan kami terlepas, dia tersenyum padaku. Walaupun samar, tapi akh masih hafal dengan senyuman Haidar. Dia kan punya gigi ginsul yang manis heeemmm.” Aku memujinya saar berkisah mimpiku.
“Wah-wah jangan, jangan beneran dech. Sudah jangan pokoknya itu pertanda buruk, gini ya heeeebbbbmmmm.” Aku membekap mulut ember Nur yanh nyerocos.
Sudah barang umum kalau Nur ini seperti cenayang yang hobi meramal. Karena dia sendiri suka baca buku primbon milik ayahnya, yang dikenal sebagai orang pinter ( dukun).
“Aku lapar, ayo kita ke koperasi sekolah.”
Aku meringkus Nur yang masih tertutup rapat mulutnya agar tidak mengoceh. Lebih baik mulutnya Nur terisi makanan, daripada aku gendang telingaku rusak.
“Jadi kau masih penasaran dengan santiri cowok itu?” Nur bertanya sekali lagi.
“Hu’um,” dengan santai kujawab iya.
“Sobatku, tidakkah kau tahu dirinya berasal dari mana, anak siapa, mondok dimana dan...” Nur sudah malah berbicara panjang lebar.
“Bulan depan! Iya, bulan depan. Ayo temani aku kesana lagi!” Aku berteriak meyakinkan Nur tentang keseriusanku.
“Kau mau mengajakku ke Masjid Menara?” Nur memutar balik badannya, yang semula berjalan di depanku.
“Kau kan sudah punya SIM C (SIM khusus roda 2), jadi ayahku pasti tidak keberatan jika pergi denganmu. Temani aku ke sana lagi,” merayu Nur.
“Dengar kawan, yang menjadi rahasia langit. Tidak akan pernah bisa diungkap oleh umat manusia. Kau bisa berharap sesuai keinginanmu, sedangkan kau lupa. Bahwa segala macam bentuk urusan di dunia ini adalah kuasa Tuhan.” Kali ini nasehat Nur masuk di akalku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Indri Hapsari
Ah benar, segala rahasia langit tak bisa diungkap manusia. Allahlah Yang Maha Tahu
2020-10-31
2
Calvien Arby
Waah
2020-08-07
1
Kertia ~
Abang 😍😍😍😍
2020-07-31
1