Sholat Isya’ telah selesai di laksanakan, aku menunggu Haidar dan Abi. Alih-alih untuk bertemu ternyata ayahku yang muncul. Sedikit kecewa tapi inilah takdir Tuhan, mungkin jika berjodoh akan dipertemukan lagi.
“Kak, kok bengong saja awas lho! “ Mengagetkanku yang tengah bermelamum ria.
Para penziarah tak pernah sepi mendatangi Makan Sunan Kudus. Pintu masuk yang di jaga Juru Kunci harus rapat mengantri. Karena takut terpisah, ayah menggandengku erat. Batal wudhu ya batal dech, daripada jadi anak ayam. Terhimpit diantara antrian panjang yang beraneka aroma mulai dari yang wani sabun mandi sampai minyak Misk (non alkhohol). Hingga yang paling fenomenal bau keringat orang berlalu lalang yang jelas waw. Ada lagi aroma khas di tempat umum yang wajib selalu ada di Indonesia. Dimanapun berada, yaitu asap rokok. “Huh menyebalkan sekali” sambil terbatuk-batuk aku si buatnya.
“Uhuk-uhuk, sumpah kakak gak mau nanti dewasa menikah dengan pria merokok!”
“Memang kakak sudah berani pacaran?” Goda ayahku.
“Hehehehe, pacaran itu apasih yah?” Anak polos bertanya.
“Pacaran itu, godaan syaitan yang dibungkus rapi dalam bentuk Cinta. Kakak, kalau lagi jatuh Cinta semua jadi Indah. Namun, ketika putus Cinta dunia seakan menjadi neraka. Padahal semua itu normal.”
“Ayah pernah pacaran?”
“Tidak, ayah dulu langsung menikah dengan ibumu. Jaman dahulu tidak ada pacaran. Kenalan, cocok dan sama-sama oke, ya ayok gas pelaminan hehehe.” Kenang masa muda ayah.
“Wah mboten seru-leh (Wah, gak seru lah) gak ada kisah-kisah romantisnya.” Gayaku yang sok pengalaman.
“Alah kak, kak gayamu loh romantis. Rokok, makan geratis maksudmu. Cari suami aja jangan pacaran, karena kalo pacar akan kalah sama yang naik pelaminan.” Nasehat ayahku tokcer juga.
Di depan ada bak besar berisi air, kebetulan rombongan peziarah Wali yang berbondong-bondong sudah masuk lokasi Makam. Aku mengambil posisi aman yang jauh dari lelaki, agar tidak batal wudhuku. Memasuki Makam tentunya harus kondisi suci, jika batal mau ngapain? Gak lah, kalau Cuma mau swafoto tahu adab sopan santun. Ya tentunya baca surah Yasin dan Tahlil. Sudah tingkatan terakhir sekolah. Ujian Nasional adalah momok yang mengerikan. Sudah saatnya tobat buat main-main, apa males-malesan. Dan yang terpenting, SELALU LIBATKAN TUHAN DALAM URUSAN DUNIA.
Ayah berjalan di depanku, ada sebuah Makam yang dipercaya bisa mendatangkan jodoh. Jika kita bermunajah di sana (ntarlah google sendiri, author-nim pengen kalian mandiri hehehe). Aku tidak membeli kembang untuk nyekar, karena menurut ayah, yang penting ialah niat dan doa.
Rak berjajar yang berisi Al qur’an dan buku kecil berisi surat Yasin dan Tahlil banyak di jumpai di area Makam. Gaya lafal doa setiap orang beda-beda. Ada yang menggunakan pengeras suara dan yang khusyuk diam saja. Dan ayahku termasuk tim diam dan khusyuk. Hal yang paling membosankan ketika berziarah dengan ayahku. Dia sangat betah berlama-lama membaca ayat-ayat suci. Sedangkan diriku sudah buyar konsentrasinya. Udah ngawurlah pikirannya, bayangin pulang selonjoran sambil nonton TV enak.
“Pppsssssseeeeeetttt, woi mmmmbbuaaakkk!” suara sapa tuh kok lirih-lirih horor.
Ya emang sih ini pemakaman wali, masak setan bisa numpang promosi dosa (pikir dalam benakkku).
“Mbuaakkkkk woi,” Gusti Alloh ternyata Abi yang bisik-bisik rusuh.
Haidar memamerkan senyumannya, nampak berjajar rapi gigi biji mentimunnya. Duh, sesak nafas dadakan jadinya kan. Padahal yang dipikirin ternyata udah ngasih kode. Aku yang duduk di belakang ayahku, pura-pura sok jual. Mau cari jewer apa, tebar pesona sama anak alien. Sudah asing, iseng pula. Ah... Biarkan saja, paling kami hanya bertemu sekali ini saja. Hanya kebetulan, tidak perlu diambil pusing. Obat pusing mahal kalo belinya di Semarang hahahaha.
“Ssstttttt...” agar si Abi diam tidak usil.
Haidar menyudahi aksi Abi yang mencoba menggodaku. Mereka berdua duduk di pojokan. Kulihat sedang asik membicarakan sesuatu, sesekali kami mencuri pandang. Tuhan, ampuni kami yang masih polos ini hihihi.
“Yah, aku tunggu di bawah Menara saja ya, disini sumpek dan engap.” Ayahku hanya mengangguk.
Udara di bawah menara ini jauh lebih segar, tidak banyak orang berlalu-lalang. Seperti saat shoal jemaah dilaksanakan. Aku duduk di pelataran masjid, sambil membeli camilan.
“Mbak,”
Wajahku yang kaget, ternyata Abi dan Haidar yang datang.
“Darimana kalian tahu aku disini,”
“Kami sengaja mengikutimu, maaf kalau gak sopan.”
“Owh,” jawabku singkat.
Mataku masih metanap bangunan tinggi berwarna orange.
“Mbak, kenapa gak keluar sama ayahnya. Tapi ayahnya ditinggal di dalam?”
“Gerah,” aku kipas-kipaskan tanganku.
“Kalau gerah sini tak kipasin mbak,” Abi mencopot peci nya membuat kipas dadakan.
“Eh apaan sih, itukan tempatnya di kepala bukan untuk mainan.”
Abi lantas berhenti dan memakai pecinya lagi.
“Lagaknya sok perhatian ah. Emang gitu mbak, temenku inu banyakan gaya hehehe. Kalau aku cukup satu gaya.”
“Gaya apa?” nah ini agak ambigu di telingaku.
“Gaya anak sholeh muehehehehehehe.” Haidar melucu garing.
“Kalian dari Kudus?”
“Bukan mbak, aku dari Demak. Sedangkan Abi dari Juwana, kami mondok disini. Kebetulan sudah kelas akhir, jadi banyak-banyak prihatin (berjuang) agar ujian lancar.” Tutur Abi.
“Owh sama kalau begitu, aku juga. Jadi kita satu angkatanlah ya.”
“Iya, kita satu angkatan. Kalau begitu bisa saling tukeran kisi-kisi soal dong mbak.” Potong Abi.
“Hhhhaaaa, memang bisa.”
“Yah bisa, karena Ujian Nasional kan basisnya sama soal yang di ujikan. Hanya saja di acak gitu, biarrr biarrrr.”
“BIAR GAK NYONTEK!” aku dan Abi menjawab serentak.
*
*
*
Malam itu kami berpisah, tanpa ada pesan. Karena aku terlanjut asik mengobrol dengannya. Hingga ayahku selesai dengan urusannya. Sebenarnya aku mau bertanya, bagaimana caranya agar kita berkomunikasi. Tapi sayang, Haidae dan Abi harus kembali ke pondoknya. Daripada kena hukuman balik telat. Aku merelakan perpisahan kami, pertemuan singkat itu. Apakah bisa berlanjut lagi tidak ya. Aku mulai merasa sedih, dalam boncengan ayahku. Aku selalu mengingat kenangan yang baru saja usai. Rembulan ini memang Indah, bulat dan sempurna. Terangnya seperti hatiku, selama ini hanya diisi belajar dan keluarga. Sekarang mulai mengenal sosok pria.
“Yah, kapan kita ziarah lagi?”
“Heeee, apa kak gak jelas.”
“Kapan kita ziarah ke Menara lagi?”
Saat lampu merah ayah baru mendengar jelas pertanyaanku.
“Yah, kalau ayah ada waktu luang kak. Soalnya ayah sudah mulai bantu ibumu mulai usaha warung makanan.”
“Ouwh begitu ya yah, gak tahu kapan lagi.” Kecewa mendengarnya.
“Kakak mau kesana lagi mau ketemuan sama santri tadi ya?”
“Hehehe enggaklah, aku kesana juga mau cari berkah.”
Ayahku memang bisa membaca jalan pikiranku. Semoga aku mempunyai kesempatan berjumpa dengan Haidar lagi. Hatiku menjadi terang, seterang bulan Purnama yang menerangi sepanjang perjalanan pulangku ini. Di iringi cahaya rembulan ciptaan Alloh SWT.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Indri Hapsari
Sabar ya Kak, ntar Kak author pasti ngasih jalan buat ketemu Haidar lagi
2020-10-31
1
V᭄ᭃ͢dєͮvͥiͤl₲₲»̶̳͓✧ᴾᴳ ⃫⃟ ⃟⅌
uwaaaaa baru baca sampai sini, keren akak. ntar lanjut baca lagi🤧 mata dah sepet
2020-10-16
0
fieThaa
Kudus tanah kelahiran Abang ya,,???
2020-08-18
0