Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (2x)
Asyhadu allaa illaaha illallaah. (2x)
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. (2x)
Hayya 'alashshalaah (2x)
Hayya 'alalfalaah. (2x)
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)
Laa ilaaha illallaah (1x)
Begitulah panggilan Adzan yang berkumandang dari Masjid Menara Kudus. Aku bersama ayahku hendak berziarah di Makam Sunan Kudus. Beliau berpesan padaku untuk selalu menghargai perjuangan penyebar agama Islam. Khususnya untuk wilayah Kudus dan sekitarnya. Setelah memperoleh parkiran yang aman, aku bergegas menuju tempat wudhu. Ayahku berada di tempat khusus jemaah laki-laki yang tempatnya terpisah dengan perempuan. Aku berjanji akan menunggu ayahku sampai selesai sholat sunnahnya.
Saat hendak mengambil tas berisi mukenaku, ada seorang santri yang pria yang membawa satu sendal jepit. Wajahnya tampak kebingungan, ternyata dia sedang iseng menyembunyikan sendal. Milik santri putra yang mondok di Kudus juga. Dia mengisyaratkan agar aku diam pura-pura tak melihat aksi nakalnya.
Baiklah santri jahil, entah sendal siapa yang kau sembunyikan. Tindakanmu ini jelas tidak patut, apalagi ini khusus jemaah perempuan (gerutu dalam hati).
“Hai, jangan bilang siapa-siapa ya!” santri itu memperingatkanku.
“Hemmmb,” aku cuek melenggang masuk masjid.
*
*
*
Di dalam masjid sudah berbaris rapi para jemaah. Entah itu dari peziarah atau area dekat Masjid. Aku mendapat urutan shaf ke dua dari depan. “Alhamdulillah, dapat pahala gede hehehe” begitu aku mengharapkan Ridho Alloh dalam sholatku.
Mu’adzin mengumandangkan Iqomah tanda segera dimulainya sholat Magrib berjamaah. Shaf dirapatkan agar syeitan yang mengganggu kekhusyukan tidak mempunyai celah. Sholat berjalan lancar dan tanpa hambatan, kami mempunya tradisi saling bersalaman. Dengan sesama jamaah, walaupun tidak saling mengenal. Dalam Islam, bahwa setiap muslim adalah saudara. Aku mengikuti dzikir dan memanjatkan do’a karena telah naik kelas. Berarti aku sudah masuk tahap akhir di bangku SMA. Aku berdoa agar proses belajarku lancar hingga ujian datang. Semoga usaha ayahku berjalan lancar, karena kami menggantungkan hidup dari sana.
Ayahku baru saja di pecat dari pabrik mebel Jepara. Ketika ayahku hendak kembali ke Kudus. Beliau mengalami kecelakaan, yang mengharuskan dirinya beristirahat dirumah lama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Ibuku membuka warung makanan kecil-kecilan di rumah. Selain bisa mengurus ayahku yang sakit, beliau juga bisa mengurus rumah tangga. Jika hari libur sekolah, biasanya aku ikut membantu ibuku pergi kepasar. Membeli keperluan untuk usaha olahan makanan.
Mukena yang aku pakai tadi, sudah terlipat rapi dalam tas. Aku hendak memakai jilbab ku yang berantakan ketika memakai mukena. Biasalah drama lama kalau jilbab suka acak-acakan. Ada cermin besar, aku bisa berkaca dengan puas. Hehehe namanya juga anak gadis, kalau ketemu cermin pasti merasa paling cantik seluruh dunia.
“Duh, sendalku mana ya? Katanya ada di sini” seorang anak lelaki memasuki kawasan masjid khusus jemaah perempuan.
Dia kasak kusuk memilah sendal-sendal yang berjajar berantakan. Ditemani seorang teman santri yang iseng tadi. Ternyata dia pura-pura ikut membantu mencari. Dia sendiri yang sudah mengerjai temannya itu. Dasar ulah anak remaja, eh aku juga saat itu masih remaja juga. Tapi tidak se iseng mereka juga.
“Maaf, mbak saya sedang mencari sendal yang hilang.” Ucap santri lelaki yang panik wajahnya.
“Iya mbak hehehe ssssssttt.” Temannya kasih kode.
Aku duduk mengecek jam tanganku, sambil melihat keseriusan santri lelaki mencari sendalnya yang hilang. Jengah aku melihat ulah jahil temannya. Aku berinisiatif mengambil sendal yang di sembunyikan. Kalau belum berpindah tempat saja. Ternyata benar, masih ditempat yang sama. Berada di atas pagar tempat wudhu jemaah perempuan.
“Ini, kembalilah ke masjid khusus jemaah pria! “ Kuserahkan sendal karet yang putih bersih.
Wajahnya sumpringah bukan main ketemu dengan sendalnya. Mungkin sendalnya masih baru, jadi sayang kalau hilang. Temannya sedikit jengkel karena aku mengabaikan perintahnya.
“Terimakasih ya mbak, sudah mengembalikan sendal sayang. Matur suwun.” Santri itu senang bukan main bertemu dengan sendalnya.
“Iya sama-sama.”
Aku berjalan menunggu ayahku di bawah menara, ternyata ayahku sedang khusyuk berdoa. Perutku sudah lapar, harus ditahan sampai urusan ayah selesai. Kupandangi langit senja di kota Kudus ini, warna emas tembok ini menjadi cantik. Indah sekali maskot kota kelahiranku. Semoga masa mudaku juga seindah maha karya masjid dan menara ini.
“Kak, ayo cari soto Kudus.”
Terbayang sudah nikmatnya masakan khas kota Kudus ini. Sudah berjalan kesana kemari tak kunjung juga kutemui penjual soto ini. Dengan kecewa aku setuju, diajak ayahku mampir di warung bakso.
“Eh eh itukan mbak-mbak tadi las di masjid.” Bocah jahil yang menyembunyikan sendal menyikut lengan temannya.
Anak santri itu hanya menunduk sopan, karena ada ayahku. Mereka pasti sungkan hendak menggodaku. Saat santri itu membenarkan pecinya. Kulihat rambutnya yang kurus digerakkan.
“Huaahh pedass,” ternyata dia kepedasan.
“Eh eh eh kok es teh ku kau minum sih.”
“Pedas Bi,” sudah habis es tehnya.
“Yah, kamu ini.” Melihat gelasnya sudah habis.
“Pak minta es teh lagi ya tambah 1,”
“Dar, dua jangan satu.” Ucap temannya minta tambah.
“Iya pak, tambah dua. Duhhh” kakinya menabrak meja makanku saat hendak kembali ke kursinya.
Menahan malu dan sakit, itulah gambaran yang dialaminya.
“Maaf pak gak sengaja,” Ayahku memaklumi tingkahnya.
Aku pun tersenyum tersipu malu, ternyata dari dekat. Hidungnya mancung, bulu matanya panjang dan satu hal lagi. Gigi ginsulnya menambah manis senyumannya. Duh, kok jadi ngawur gini ya. Ternyata dia juga membalas senyumanku.
*
*
*
Adzan Isya berkumandang, saatnya sholat berjemaah lagi. Ayahku membayar makanan kami, sedangkan aku menunggunya di depan Menara. Sambil melihat orang berfoto ria. Ternyata dua orang lelaki ini mengikutiku.
“Mbak boleh kenalan gak?”
“Emmmbbb,” jual mahal coy.
“Gak usah salaman gak papa mbak, namaku Haidar dan ini temanku Abi.” Ternyata Haidar lebih pemberani.
“Aku kesaya,” dengan malu-malu tapi ngarep kenalan sama mas-mas ganteng, bergigi ginsul.
“Yah gak pake salaman.” Ucap kecewa Abi.
“Ngawur, bukan muhrim dosa tahu.” Haidar mengempleng pundak Abi dengan peci hitamnya.
Ternyata makin lama Haidar tambah ganteng juga. Selain postur tubuhnya yang tinggi, mata bulat Haidar bagaikan bulan Purnama yang bersinar terang. Malam ini aku berdoa apa, tapi diberi apa dengan Tuhan.
“Kak, ayo masuk ambil wudhu sudah mau mulai sholat jemaahnya.”
Perkenalan kami akhirnya harus berakhir, ayahku menyudahi percakapan kami. Saat hendak berpisah Haidar menolehku, hingga tanpa sadar dia menabrak tong sampah yang berdiri di depannya.
“Cie yang naksir mbaknya,” ledek Abi menyeret Haidar masuk area Masjid.
Jika boleh usul, aku mau bertemu lagi dengan Haidar dan Abi. Semoga kami dipertemukan kembali. Karena inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan orang asing. Semoga Alloh mendengar suara hatiku.
Sholat Isya’ telah selesai di laksanakan, aku menunggu Haidar dan Abi. Alih-alih untuk bertemu ternyata ayahku yang muncul. Sedikit kecewa tapi inilah takdir Tuhan, mungkin jika berjodoh akan dipertemukan lagi.
“Kak, kok bengong saja awas lho! “ Mengagetkanku yang tengah bermelamum ria.
Para penziarah tak pernah sepi mendatangi Makan Sunan Kudus. Pintu masuk yang di jaga Juru Kunci harus rapat mengantri. Karena takut terpisah, ayah menggandengku erat. Batal wudhu ya batal dech, daripada jadi anak ayam. Terhimpit diantara antrian panjang yang beraneka aroma mulai dari yang wani sabun mandi sampai minyak Misk (non alkhohol). Hingga yang paling fenomenal bau keringat orang berlalu lalang yang jelas waw. Ada lagi aroma khas di tempat umum yang wajib selalu ada di Indonesia. Dimanapun berada, yaitu asap rokok. “Huh menyebalkan sekali” sambil terbatuk-batuk aku si buatnya.
“Uhuk-uhuk, sumpah kakak gak mau nanti dewasa menikah dengan pria merokok!”
“Memang kakak sudah berani pacaran?” Goda ayahku.
“Hehehehe, pacaran itu apasih yah?” Anak polos bertanya.
“Pacaran itu, godaan syaitan yang dibungkus rapi dalam bentuk Cinta. Kakak, kalau lagi jatuh Cinta semua jadi Indah. Namun, ketika putus Cinta dunia seakan menjadi neraka. Padahal semua itu normal.”
“Ayah pernah pacaran?”
“Tidak, ayah dulu langsung menikah dengan ibumu. Jaman dahulu tidak ada pacaran. Kenalan, cocok dan sama-sama oke, ya ayok gas pelaminan hehehe.” Kenang masa muda ayah.
“Wah mboten seru-leh (Wah, gak seru lah) gak ada kisah-kisah romantisnya.” Gayaku yang sok pengalaman.
“Alah kak, kak gayamu loh romantis. Rokok, makan geratis maksudmu. Cari suami aja jangan pacaran, karena kalo pacar akan kalah sama yang naik pelaminan.” Nasehat ayahku tokcer juga.
Di depan ada bak besar berisi air, kebetulan rombongan peziarah Wali yang berbondong-bondong sudah masuk lokasi Makam. Aku mengambil posisi aman yang jauh dari lelaki, agar tidak batal wudhuku. Memasuki Makam tentunya harus kondisi suci, jika batal mau ngapain? Gak lah, kalau Cuma mau swafoto tahu adab sopan santun. Ya tentunya baca surah Yasin dan Tahlil. Sudah tingkatan terakhir sekolah. Ujian Nasional adalah momok yang mengerikan. Sudah saatnya tobat buat main-main, apa males-malesan. Dan yang terpenting, SELALU LIBATKAN TUHAN DALAM URUSAN DUNIA.
Ayah berjalan di depanku, ada sebuah Makam yang dipercaya bisa mendatangkan jodoh. Jika kita bermunajah di sana (ntarlah google sendiri, author-nim pengen kalian mandiri hehehe). Aku tidak membeli kembang untuk nyekar, karena menurut ayah, yang penting ialah niat dan doa.
Rak berjajar yang berisi Al qur’an dan buku kecil berisi surat Yasin dan Tahlil banyak di jumpai di area Makam. Gaya lafal doa setiap orang beda-beda. Ada yang menggunakan pengeras suara dan yang khusyuk diam saja. Dan ayahku termasuk tim diam dan khusyuk. Hal yang paling membosankan ketika berziarah dengan ayahku. Dia sangat betah berlama-lama membaca ayat-ayat suci. Sedangkan diriku sudah buyar konsentrasinya. Udah ngawurlah pikirannya, bayangin pulang selonjoran sambil nonton TV enak.
“Pppsssssseeeeeetttt, woi mmmmbbuaaakkk!” suara sapa tuh kok lirih-lirih horor.
Ya emang sih ini pemakaman wali, masak setan bisa numpang promosi dosa (pikir dalam benakkku).
“Mbuaakkkkk woi,” Gusti Alloh ternyata Abi yang bisik-bisik rusuh.
Haidar memamerkan senyumannya, nampak berjajar rapi gigi biji mentimunnya. Duh, sesak nafas dadakan jadinya kan. Padahal yang dipikirin ternyata udah ngasih kode. Aku yang duduk di belakang ayahku, pura-pura sok jual. Mau cari jewer apa, tebar pesona sama anak alien. Sudah asing, iseng pula. Ah... Biarkan saja, paling kami hanya bertemu sekali ini saja. Hanya kebetulan, tidak perlu diambil pusing. Obat pusing mahal kalo belinya di Semarang hahahaha.
“Ssstttttt...” agar si Abi diam tidak usil.
Haidar menyudahi aksi Abi yang mencoba menggodaku. Mereka berdua duduk di pojokan. Kulihat sedang asik membicarakan sesuatu, sesekali kami mencuri pandang. Tuhan, ampuni kami yang masih polos ini hihihi.
“Yah, aku tunggu di bawah Menara saja ya, disini sumpek dan engap.” Ayahku hanya mengangguk.
Udara di bawah menara ini jauh lebih segar, tidak banyak orang berlalu-lalang. Seperti saat shoal jemaah dilaksanakan. Aku duduk di pelataran masjid, sambil membeli camilan.
“Mbak,”
Wajahku yang kaget, ternyata Abi dan Haidar yang datang.
“Darimana kalian tahu aku disini,”
“Kami sengaja mengikutimu, maaf kalau gak sopan.”
“Owh,” jawabku singkat.
Mataku masih metanap bangunan tinggi berwarna orange.
“Mbak, kenapa gak keluar sama ayahnya. Tapi ayahnya ditinggal di dalam?”
“Gerah,” aku kipas-kipaskan tanganku.
“Kalau gerah sini tak kipasin mbak,” Abi mencopot peci nya membuat kipas dadakan.
“Eh apaan sih, itukan tempatnya di kepala bukan untuk mainan.”
Abi lantas berhenti dan memakai pecinya lagi.
“Lagaknya sok perhatian ah. Emang gitu mbak, temenku inu banyakan gaya hehehe. Kalau aku cukup satu gaya.”
“Gaya apa?” nah ini agak ambigu di telingaku.
“Gaya anak sholeh muehehehehehehe.” Haidar melucu garing.
“Kalian dari Kudus?”
“Bukan mbak, aku dari Demak. Sedangkan Abi dari Juwana, kami mondok disini. Kebetulan sudah kelas akhir, jadi banyak-banyak prihatin (berjuang) agar ujian lancar.” Tutur Abi.
“Owh sama kalau begitu, aku juga. Jadi kita satu angkatanlah ya.”
“Iya, kita satu angkatan. Kalau begitu bisa saling tukeran kisi-kisi soal dong mbak.” Potong Abi.
“Hhhhaaaa, memang bisa.”
“Yah bisa, karena Ujian Nasional kan basisnya sama soal yang di ujikan. Hanya saja di acak gitu, biarrr biarrrr.”
“BIAR GAK NYONTEK!” aku dan Abi menjawab serentak.
*
*
*
Malam itu kami berpisah, tanpa ada pesan. Karena aku terlanjut asik mengobrol dengannya. Hingga ayahku selesai dengan urusannya. Sebenarnya aku mau bertanya, bagaimana caranya agar kita berkomunikasi. Tapi sayang, Haidae dan Abi harus kembali ke pondoknya. Daripada kena hukuman balik telat. Aku merelakan perpisahan kami, pertemuan singkat itu. Apakah bisa berlanjut lagi tidak ya. Aku mulai merasa sedih, dalam boncengan ayahku. Aku selalu mengingat kenangan yang baru saja usai. Rembulan ini memang Indah, bulat dan sempurna. Terangnya seperti hatiku, selama ini hanya diisi belajar dan keluarga. Sekarang mulai mengenal sosok pria.
“Yah, kapan kita ziarah lagi?”
“Heeee, apa kak gak jelas.”
“Kapan kita ziarah ke Menara lagi?”
Saat lampu merah ayah baru mendengar jelas pertanyaanku.
“Yah, kalau ayah ada waktu luang kak. Soalnya ayah sudah mulai bantu ibumu mulai usaha warung makanan.”
“Ouwh begitu ya yah, gak tahu kapan lagi.” Kecewa mendengarnya.
“Kakak mau kesana lagi mau ketemuan sama santri tadi ya?”
“Hehehe enggaklah, aku kesana juga mau cari berkah.”
Ayahku memang bisa membaca jalan pikiranku. Semoga aku mempunyai kesempatan berjumpa dengan Haidar lagi. Hatiku menjadi terang, seterang bulan Purnama yang menerangi sepanjang perjalanan pulangku ini. Di iringi cahaya rembulan ciptaan Alloh SWT.
Cuaca malam ini sangat cerah, sama seperti perasaanku. Inikah yang dinamakan masa pubertas. ‘ Oh Indah sekali, ada denyutan seru dalam dadaku ini. Denyut jantungku menjadi abnormal seperti bianglala yang berputar-putar, saat Dandangan (tradisi pasar malam menyambut datangnya bulan suci Romadhon).
“Alhamdulillah, sudah sampai rumah.” Aku tersadar dari lamunanku, ketika ayahku menghentikan mesin motornya.
“Sudah sampai ya yah?” tanyaku lagi.
“Loh, tadi kakak ketiduran ya.” Ayahku mplenggong.
“Hehehe tidak yah, tadi kakak lihat langit yang terangi bulan.” Kecohku.
Ibuku sedang sibuk membereskan dagangannya. Kulihat adikku yang baru duduk di kelas 2 SLTP. Juga ikut membantu wadah-wadah kosong.
“Hore kakak pulang,” Sahut adikku yang paling kecil.
Dia tengah bermain boneka di depan TV, teriakannya antusias. Mungkin ingin segera aku gendong. Padahal dia sudah kelas 4 SD.
“Berat tahu dek kamu ini,” sambil berjalan aku gendong adik bungsuku.
Ayahku membantu merapikan bekas jualan ibuku, warung yang berada di teras rumah kami.
“Alhamdulillah hari ini jualan ibu laku pak, gak ada yang ngutang.”
Ayahku tersenyum melihat wajah ibuku yang letih. Tapi masih bisa tersenyum manis kepada suaminya.
“Amin, akhirnya rejeki kita beli kambing segera terealisasi ya bu.”
Keinginan ayahku yaitu memelihara kambing, selain jam kerjanya fleksibel. Juga bisa membantu pekerjaan rumah tangga dengan ibu, berbagi tugas.
“Iya yah, selama ayah belum pulih jangan kerja berat dulu. Kita harua semangat mencari rejeki untuk anak-anak kita.”
Ibuku adalah wanita yang sangat optimis. Tanpa dukungan ibu, mungkin ayah tidak akan melupakan trauma tragis. Sebuah kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah. Dan harus di pen (dipasangi besi pengait dalam tulang).
“Kak, ada PR sulit bisa ajarin gak?” Zayida kebingungan.
“Soal apa dek,” aku menengok materi pelajaran Matematika.
“Iniloh kak soal kok susahnya gini, padahal kalau lulus sekolah. Ilmu macam gini kan gak dipake buat jualan pulsa.” Zayida memang terobsesi ingin punya usaha konter.
“Yah, apalagi kakak dek. Selain Matematika sajalah, kakak nyerah.” Aku nyelonong masuk kamar bersama Salima yang tertidur di gendongan.
“Sudah, besok dikerjakan di sekolah saja. Nyontek punya temanmu, ini sudah jam 9 malam. Lebih baik kau bereskan buku pelajaranmu yang berserakan.” Nasehat ayah.
“Huuuuuh, memang benar. Jalan terbaik dari kebuntuan mengerjakan PR ialah berangkat pagi.” Zayida menyerah dengan soal sulit.
“Hahahaha, ayahmu memang pandai menuntaskan masalah tanpa masalah.” Ibuku nyeletuk.
*
*
*
Dalam sebuah taman yang terhampar luas, ada banyak bunga dan rumput hijau. Aku berlari menuju Puncak lembah sembari menyongsong matahari senja.
“Ayo terbang bersamaku,” tangan menjulur di depanku.
Kuraih tangan itu dan wallllaaaaaaa aku terbang, ‘Indah sekali pemandangannya’ aku seolah terbang. Semuanya dari atas sangat Indah, ada sungai yang mengalir jernih dengan batuan kali hitam. Wah, bahkan ikannya saja terlihat meloncat kepermukaan. Oh ternyata ikan itu sedang mencoba menangkap capung. Lucu sekali ulah binatang ciptaan Tuhan.
Geleeeedarrrrrrr duaaaarrrrrr, ternyata aku sudah jauh terbang. Di depan ada mendunh yanh coklat, lalu berubah abu-abu dan oh tidak. Lalu menjadi hitam pekat, eh ada kilatan cahaya.
“Jangan, jangan lepaskan tanganku. Aku bisa jatuh tolong pegang kuat tanganku!” pintaku yanh ketakutan karena sudah diatas awan tinggi.
Ternyata aku hanya bisa melihat senyumnya, wajahnya samar karena menghilang tertelan oleh awan hitam yang gelap. Tangannya sudah melepaskanku, tubuhku yang berarti ini akhirnya jatuh ke bumi. Terpelosok lagi kedalam semak-semak bumi.
Bruuuukkkkkk, suara meteor menghantam bumi.
“Aduduuuuuhhhh,” aku benar-benar merasa kesakitan.
“Nah kan, ibu tadi sudah bangunin susah sih. Kuwalat kan, sekarang jatuh dari ranjang. Lekas subuh sana, lalu sarapan.
Begitulah ibuku, yang bengis di pagi hari. Seperti mandor jaman penjajahan Jepang, dan aku sebagai Romusa (budak yang dipekerjakan paksa). Ternyata jatuh dari ranjang sakit juga ya, tidak senikmat jatuh Cinta ( protesku dalam hati).
*
*
*
“Wa’alaikum sallam, hati-hati ya dijalan. Belajar yang tekun agar ilmunya bermanfaat.”
Itulah nasehat ketika aku berpamitan dan mencium tangan ibuku. Selain memperoleh syafa’at doa, juga uang saku tentunya hahahaha.
Aku kayuh sepedaku dengan kecepatan santai. Pagi ini aku berangkat sendiri ke sekolah. Tidak ada warga satu rumah yang menggonceng. Iyah, setiap hari aku dan adikku Zayida berangkat bersama. Karena urusan penting menyangkut PR Matematika, Zayida berangkat lebih awal. Diantar oleh ayah dengan mengendarai sepeda motor.
*
*
*
Teng, teng-teng bunyi istirahat berbunyi. Tanda jeda menguras otak yang lelah karena tumpukan materi. Kami adalah siswa kelas 3 SMA yang sedang bertaruh melawan Ujian Nasional. Harapan kami adalah lulus dengan nilai yang baik.
“Kenapa kau senyam-senyum, melamun dilamar anak Bupati ya?” Nur teman sebangkuku.
“Ehmmmb bukan, bukan anak bupati tapi anak santri.” Aku menjawab jujur.
“Weleh, anak santri apa istimewanya. Mereka tidak boleh pacaran, gak usah naksir merekalah. Di sekolah kita banyak stok-stok anak muda yang tak terikat aturan ketat. Lihat sana ketua osis, ketua kelas, pembimbing pramuka kita kak Ramdan. Jangan ngaco ah kalau lagi naksir.” Nur mengolokku.
“Tuhan, kalau aku boleh meminta. Tolong ubahlah mulut temanku ini tak semanis biji Maoni (artinya ingin omongan Nur labih manis jangan pahit-pahit).” Aku menengadahkan tangan seolah-olah sedang berdoa.
“Amiin..... Mana berkatnya bukkk hehehe?” Tagih Nur yang kebiasaan.
“Berkatnya berupa harapan palsu, karena yang asli-asli itu bayarnya pake koin apa uang kertas.” Aku menyanggah balik omongan Nur.
*
*
*
Aku memang tak bisa menahan pengalamanku, saat bertemu dengan Haidar dan Abi. Pengalamanku yang pertama kali bertegur sapa dengan lawan jenis. Yang baru pertama kali aku kenal dan langsung akrab.
“Jadi kau semalam mimpi bertemu Haidar?”
“Hu’um,” aku mengangguk.
“Lalu?” Nur semakin merepet.
“ Saat ia terbang semakin tinggi, ada awan hitam memakannya. Dan tautan kami terlepas, dia tersenyum padaku. Walaupun samar, tapi akh masih hafal dengan senyuman Haidar. Dia kan punya gigi ginsul yang manis heeemmm.” Aku memujinya saar berkisah mimpiku.
“Wah-wah jangan, jangan beneran dech. Sudah jangan pokoknya itu pertanda buruk, gini ya heeeebbbbmmmm.” Aku membekap mulut ember Nur yanh nyerocos.
Sudah barang umum kalau Nur ini seperti cenayang yang hobi meramal. Karena dia sendiri suka baca buku primbon milik ayahnya, yang dikenal sebagai orang pinter ( dukun).
“Aku lapar, ayo kita ke koperasi sekolah.”
Aku meringkus Nur yang masih tertutup rapat mulutnya agar tidak mengoceh. Lebih baik mulutnya Nur terisi makanan, daripada aku gendang telingaku rusak.
“Jadi kau masih penasaran dengan santiri cowok itu?” Nur bertanya sekali lagi.
“Hu’um,” dengan santai kujawab iya.
“Sobatku, tidakkah kau tahu dirinya berasal dari mana, anak siapa, mondok dimana dan...” Nur sudah malah berbicara panjang lebar.
“Bulan depan! Iya, bulan depan. Ayo temani aku kesana lagi!” Aku berteriak meyakinkan Nur tentang keseriusanku.
“Kau mau mengajakku ke Masjid Menara?” Nur memutar balik badannya, yang semula berjalan di depanku.
“Kau kan sudah punya SIM C (SIM khusus roda 2), jadi ayahku pasti tidak keberatan jika pergi denganmu. Temani aku ke sana lagi,” merayu Nur.
“Dengar kawan, yang menjadi rahasia langit. Tidak akan pernah bisa diungkap oleh umat manusia. Kau bisa berharap sesuai keinginanmu, sedangkan kau lupa. Bahwa segala macam bentuk urusan di dunia ini adalah kuasa Tuhan.” Kali ini nasehat Nur masuk di akalku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!