Gadis belia itu begitu cekatan dan telaten membantu sang calon mertua. Mulai dari belanja di Pasar, hingga mengolah hidangan.
“Adiba, kamu bisa mandi dan mengganti baju milik Yasmin, kakaknya Haidar.”
“Baik Bu,” jawab gadis itu menurut.
Sembari berbilas mandi, ibu Haidar menyiapkan baju diatas ranjang yang telah lama kosong. Kini tugasnya sebagai orang tua angkat akan selesai setelah menikahkan Haidar dengan Adiba.
“Adiba, apakah sekolahmu lancar?”
“Insyaallah lancar Bu,” Adiba yang baru saja masuk ke dalam kamar kak Yasmin.
Selembar baju gamis, motif bunga sakura warna merah jambu. Ukuran yang pas ketika Kak Yasmin seusia dirinya. Adiba berdebar-debar rasa hatinya karena sebentar lagi dia akan dipertemukan dengan Haidar, sang calon iman keluarga kecilnya.
“Hussss, husss berkhayal apa aku ini. Masih kecil kok mikirin hal aneh-aneh!” Adiba menepuk-nepuk kedua pipinya agar menyadarkan dari lamunannya.
Di depan cermin Adiba memantaskan baju dengan warna jilbabnya. Ia menutupi bagian dada dan bokongnya dengan krudung yang besar. Minyak Wangi sengaja ia semprotkan agar menyamarkan aroma dapur yang melekat di badannya.
“Assalamualaikum... “ suara sallam yang menarik perhatian Adiba yang tengah bersolek.
Ayah dan ibu Haidar yang sudah menyambut putranya ini memeluk penuh haru. Menyambut putranya ya g tiba dirumah.
“Putra Ayah akhirnya lulus mondok juga,” dengan bangga ayah Haidar menepuk lengan Haidar.
“Lekas taruh tas dan kardus itu, ibu sudah menyiapkan hidangan kesukaanmu.” Haidar mengikuti ajakan kedua orang tuanya untuk makan bersama.
Makanan kampung yang khas memang sangat bikin rindu. Mata Haidar yang selama di Pondok menunya itu-itu saja kini ada variasi lain.
“Wah, makan besar Bu?”
“Ayo di santap bersama-sama, jangan Cuma dilihat.”
Ayah Haidar memimpin doa makan bersama. Ibu Haidar dengan telaten melayani Ayahnya dengan penuh kasih sayang. Haidar mengagungkan piring agar diberi jatah nasi.
“Loh, kok Adiba yang ambilin aku nasi?” Haidar kaget karena Adiba tiba-tiba muncul lalu mengambil alih sendok nasi dari tangan Ibunya.
“Assalamualaikum Mas Haidar, biar Adiba saja yang mengambilkan nasinya.” Dengan lemah lembut Adiba menuangkan nasi dipiring Haidar.
Diambilkan satu persatu menu diatas meja kedalam piring hingga penuh. Kedua orang tuanya hanya senyum tipis melihat keluwesan Adiba yang melayani Haidar dengan manis.
“Kenapa, canggung ya? Nanti juga biasa, inikah latihan kalau kalian sudah menikah nanti kan. Setahun lagi Adiba akan lulus SMP, jadi biar tidak canggung belajar dari sekarang ya, “ tutur ayah Haidar.
Mereka menikmati hidangan dengan tenang dan tak membicarakan hal lain. Hingga usai makan, Haidar mengambil barang bawaanya kedalam kamarnya. Dia membongkar isi tas dan kardusnya yang berisi kitab-kitab.
Tok... Tok... “Haidar, bolehkah Ibu masuk?”
“Silahkan Bu, tidak dikunci.” Haidar masih sibuk merapikan barang bawaannya.
“Perlu Ibu bantu?”
“Tidak usah Bu, barangku hanya sedikit tidak banyak.”
“Haidar, kenapa kamu tidak mengajak Adiba bicara. Dia sekarang ada didapur membereskan perkakas, tidakkah kau ingin menyapanya?” setengah memaksa.
“Aku canggung Bu,” jawab Haidar masih memalingkan pandangan dari ibunya.
“Nak, bukan ini yang Ibu harapkan. Ibu mau kamu keluar dan temui Adiba. Ajak dia ngobrol, demi permintaan Ibu. Dia menurut Ibu repotkan untuk menyiapkan semua ini. Jangan membantah!”
Lagi dan lagi, Haidar mendapat tekanan dari Ibunya mengenai cara memperlakukan baik calon istrinya Adiba. Haidar yang semula sudah capek, kini harus sebal hati oleh perintah Ibunya.
“Baik!” memakai pecinya dan kemudian keluar kamar.
Ibunya menoleh putranya berlalu keluar kamar dan menyusul Adiba. Ketika hendak menutup pintu kamar Haidar, tanpa disengaja ponsel Haidar berbunyi. Ternyata pesan masuk dari Alisa dan Keyasa, mereka menanyakan keadaan Haidar.
“Tidak akan pernah diantara kalian yang akan menjadi menantuku, kecuali calon yang sudah aku siapkan! Lupakan putraku, dan carilah pria yang sepadan dengan kalian. Asal jangan putraku yang sholeh dan tekun ini!” menghapus semua pesan singkat dari kedua pacar Haidar. Ibunya sudah menyita ponsel Haidar, agar bisa fokus dengan Adiba.
Langkah kaki Haidar terdengar semakin mendekat, dan membuat Adiba yang mencuci piring grogi.
“Ah,” tangannya tergores oleh parutan kelapa yang giginya tajam runcing.
Slrrruuupppl, Haidar menyesap darah yang keluar dari jari Adiba. Rasa perih dan linu yang awalnya ia rasakan, perlahan berubah menjadi kaku dan canggung.
“Mas,” ucap Adiba.
“Darahnya sudah mampet, Mas ke warung beli plester lukamu.”
Kunci motor dan uang receh diatas kulkas telah tersedia. Haidar menyambarnya dan memutar gas motornya pergi.
“Pergi kemana si Haidar?”
“Belikan plester luka Bu, ini” memperlihatkan jarinya yang luka.
“Owalah ini ya, duh kasihan sekali sih kamu Nak. Pasti kecapekan ya bantuin Ibu, memang benar kamu itu calon mantu idaman.”
Kepala Adiba diusap-usap oleh Ibunya Haidar dengan penuh haru. Sepertinya Adiba adalah calon menantu kesayangan. Walaupun Adiba tak setinggi Alissa dan tidak semanis Keyasa. Tapi bagi orang tua Haidar, Adiba adalah calon istri dan ibu yang baik untuk generasi yang islami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Misik Japar
ya allah thorr,knp msh bocil sdh d suruh nkh2 sj sih. knp g d biarkn dws dl,atau g kuliah gitu.
2021-01-29
1
Indri Hapsari
masih mau lulus SMP? Menarik juga nih.. gimana tuh ntar nasib dua pacar haidar
2020-12-18
0
Anyle Tiwa
suka banget
2020-12-01
0