Jadi Ibu Tiri Anak Ceo
Seorang wanita paruh baya terlihat berjalan menuju sebuah rumah mewah bertingkat, di tangannya ia menggendong seorang bayi. Entah apa yang akan dilakukannya? Dengan mudah, ia dapat masuk ke rumah yang pengamanannya cukup ketat itu.
Langkahnya yang gontai berhenti tepat di ambang pintu. Ketika ia melihat sekeliling dalam sekejap menemukan seseorang yang dicari.
Dia, Taran Savas, dialah pria yang dicari wanita tersebut. Mendengar derap langkah kaki yang terhenti, membuat Taran yang berdiri tepat di tengah ruangan itu pun menoleh.
Ketika melihat wanita dengan panggilan Manorya itu, ekspresi Taran seketika berubah. Rasa amarah di hatinya seakan kembali membara, sangat berbeda dengan Manorya yang menyikapinya dengan tenang, bahkan masih terpampang jelas senyum di wajahnya.
Taran mengubah posisinya, ia berbalik menghadap Manorya, sedang Manorya terus berjalan mendekat ke arahnya.
“Lama tak berjumpa, Taran,” sapa Manorya seolah akrab.
“Apa tujuanmu kemari?” tanya Taran penuh penekanan.
Manorya tertawa, “Seharusnya kau menyambut tamu yang datang. Apalagi ketika dia membawa kabar baik untukmu.”
“Dengan kedatanganmu saja itu sudah pembawa sial. Alangkah baiknya jika kau pergi!”
“Kau tenang saja. Setelah memberi apa yang menjadi hakmu, aku akan pergi.”
Hanan mengangkat alisnya, sedikit bingung dengan kata terakhir Manorya. Manorya lantas kembali berjalan mendekati Taran, ia begitu saja memberikan bayi di tangannya pada pria itu.
“Dia putramu.”
Taran tertegun, hanya dengan dua kata saja sudah menjelaskan semuanya. Sorot matanya yang tajam secara perlahan meredup, menatap sendu bayi di lengannya.
“Apa dia anak yang dilahirkan wanita itu?”
Manorya tersenyum, ia mengangguk pelan.
“Lalu di mana dia? Ke mana perginya wanita itu?”
Manorya yang tengah berjalan keluar, sontak terhenti di ambang pintu.
“Kau tak perlu tahu ke mana perginya dia. Tapi yang pasti, ibunya tak bisa merawat anak itu, bahkan ketika dia menginginkannya.”
“Kuharap kau bisa menjaga putramu dengan baik, dia tak punya siapa pun lagi, selain kau.”
“Selamat tinggal!” ucapnya lagi mengakhiri, ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan mansion.
Taran yang beberapa saat terdiam, kembali menatap putranya. Ketika melihat wajah mungil yang tertidur pulas di lengannya itu, membuat amarahnya mereda dan harapan kembali tumbuh dalam diri Taran.
...****************...
9 tahun kemudian...
Pagi yang cerah di kediaman Savas, terlihat semua keluarga tengah berkumpul di meja makan. Mereka sarapan bersama dan tampak menikmati hidangan yang tersaji, tapi tak dengan seorang anak laki-laki yang terus saja asyik dengan buku di tangannya, ia sama sekali tak menyentuh makanan di piringnya.
“Zihan, letakan buku itu, dan makanlah sekarang!” tegur sang ayah yang melihat kelakuan putranya.
Anak itu tak serta-merta mendengarkan ucapan sang ayah, ia hanya menatap sekilas lalu beralih pada bukunya kembali.
“Zihan, Ayah memperingatkanmu!” tekan Taran lagi.
Zihan yang mendengar teguran, kembali menatap sang ayah. “Papa, buku ini sangat penting bagiku. Minggu depan waktunya ujian, aku tak ingin nilaiku rendah!” balas sang anak.
Ya, dialah Zihan Savas, putra Taran yang sangat di sayanginya, yang kini telah tumbuh semakin besar. Dengan wajah yang tak kalah tampan seperti sang ayah, bermata biru dan rambut kecokelatan,juga tak lupa dengan sikap keras kepala yang telah menjadi ciri khas ya.
“Ayah sudah melihatmu belajar selama seminggu terakhir, dan apakah itu masih belum cukup?”
“Tentu saja, Papa. Aku harus menguasai semua yang ada di buku ini.”
“Kau masih anak-anak, kenapa harus belajar begitu keras, lagi pula nilai ulanganmu kan tidak ada yang rendah?”
“Papa, aku ingin semua nilaiku sempurna, semua mata pelajaran harus berada di angka 100 dan tak kurang dari itu.”
“Zihan, cucuku. Jangan memaksakan dirimu seperti itu, makanlah dulu baru kau lanjutan lagi belajarmu itu,” tegur sang Nenek.
“Tepat sekali, jika tak makan, cucu kesayanganku ini akan jatuh sakit nanti,” timpal sang kakek.
“Tapi aku tidak lapar kakek, dan aku juga akan memakan makanan ini nanti,” balas Zihan sambil menatap ketiganya.
“Daripada menghabiskan waktumu seperti itu, kenapa kau tak pergi bermain bersama teman sebayamu? Atau pergilah berlibur?”
“Teman sebaya? Aku tidak ingin bermain dengan mereka, anak-anak dari rekan bisnis papa itu hanya memamerkan kekayaan mereka terus-menerus, dan lagi pergi berlibur? Itu hanya buang-buang waktu, Pa!”
Sang ayah kemudian terdiam, ia menghela nafas dan menatap putranya tanpa arti.
“Bibi tolong bawakan makananku ke lantai atas, ya. Aku akan makan di kamar.” Sambil berdiri dari kursinya.
Setelah kepergian Zihan, meja makan kembali sunyi, dan menyisakan tiga anggota keluarga di sana, Taran dan kedua orang tuanya. Taran kembali melanjutkan ritual makannya dalam diam.
Sang ibu yang melihat kerisauan putranya itu pun tampak menenangkannya. “Tidak papa, Nak. Ibu tahu sulit bagimu untuk membesarkan anak seorang diri, tapi jangan terlalu menghawatirkannya,”
“Karna kau tahu? Sewaktu kecil kau juga sama sepertinya, kau tak peduli dengan hal menarik apa di sekitarmu, kau tak pernah lepas dari buku pelajaran, dan kini ... sifatmu itu dialah yang mewarisinya.”
“Tapi aku tak sekeras kepala dirinya, Bu,” balas Taran.
“Jika memang kau begitu kesusahan mengurusnya, maka menikalah Taran, cari seorang wanita yang mau menerima Zihan dan memperlakukannya seperti putra kandungnya sendiri!” ucap Derya sang ayah.
Mendengar ucapan sang ayah, Taran seketika menghentikan aktivitasnya, “Tak semua urusan bisa kau selesaikan dengan menikah Ayah.” Sambil mengelap tangan dan merapikan jasnya.
“Sekarang aku harus pergi, jaga kesehatan kalian,” ucap Taran lagi dan beranjak pergi dari kursinya.
Keduanya hanya bisa saling menatap. Ekspresi sang ibu seketika berubah sendu, ia tak lagi menyuap makanan ke mulutnya.
“Aku tak tahu Derya, apa dia benar-benar putra kita atau bukan?” Sambil memainkan makanan di piringnya dengan sendok.
“Sejak kejadian itu, dia berubah seperti orang asing. Sikap dinginnya itu membuatku merindukan sosoknya yang dulu Derya,”
“Aku tahu itu sulit Defne, aku yakin suatu saat dia akan kembali seperti dulu.”
Taran yang telah berada di kantor, baru saja menyelesaikan pertemuan penting, kali ini ia mendapat banyak investor untuk produk barunya. Baru saja duduk di kursinya, dering telepon telah terdengar, membuat Taran memperhatikan nama yang tertera di ponsel.
“Ya, Zihan. Ada apa menelepon Ayah?”
“Papa, hari ini jemput aku, Ya. Aku akan menunggu Papa di depan sekolah,” pinta Zihan dalam telepon.
“Menjemput? Baiklah, Ayah akan menjemputmu hari ini,” balas Taran.
Mendengar jawaban Taran, Zihan segera mematikan sambungan telepon.
...****************...
Seorang anak laki-laki terlihat berjalan keluar dari sekolahnya, wajahnya tampak lelah, sekali-kali ia menatap jalanan, menunggu kedatangan seseorang untuk menjemputnya.
“Isttt, Kenapa ayah lama sekali? Katanya hari ini ingin menjemputku!” gerutunya.
Anak itu menatap ke sekeliling, sejak tadi sekolah sudah sangat sepi, hanya ada beberapa orang termasuk dirinya di sana. Menyadari hari yang hampir gelap dan suhu yang semakin dingin, ia mengambil langkahnya meninggalkan sekolah.
Ia menyusuri trotoar sambil menatap satu-persatu toko di sekitarnya, tak menyadari dirinya telah jauh dari areal sekolah. Zihan terus berjalan melewati beberapa belokan, dan kakinya berhenti tepat di depan sebuah restoran.
Restoran yang menarik perhatiannya, ia menatap papan menu. Banyak makanan yang ia tak pernah memakannya, Zihan terdiam beberapa saat, bingung ingin memesan apa.
Hingga pintu restoran terbuka, menampilkan seorang wanita yang langsung datang menghampirinya.
Zihan bingung dengan sikap wanita itu, siapa dia yang tiba-tiba menghampirinya? Kenapa tiba-tiba mengajaknya bicara seolah akrab?
Apa bibi ini salah satu orang yang menyukai Ayah? Sehingga berpura-pura baik di depanku? Zihan.
“Hei, Nak, kenapa kau sendirian di sini? Apakah kau tersesat?” tanya wanita itu.
Mungkin aku bisa memanfaatkan bibi ini, aku akan lihat betapa kesalnya dia dengan sikapku nanti. Sehingga aku bisa melihat sifat asli bibi yang hanya menginginkan ayahku itu. Zihan.
“Ya, Bibi, aku tersesat, bisakah kau membantuku?” jawab Zihan dengan wajah memelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Leng Loy
Zihan mau ngerjain orang
2024-07-29
0
Uniie Gentra
jadi manggilnya ayah atau papa nih???
ayo zihan segera putuskan mau manggil apa biar ga pusing yg baca🤣
2024-07-09
0
LISA
Aq mampir nih
2022-11-20
0