Malam dengan cepat kembali datang, kali ini Shazia tak dapat tidur dengan nyenyak, perutnya yang sakit membuatnya harus keluar masuk toilet.
Tak sanggup untuk kembali tidur Shazia pun memilih duduk sembari memegangi perutnya. “Tampaknya aku memang tak bisa makan makanan pedas,” keluh Shazia pada dirinya sendiri.
“Kalau seperti ini terus aku tak akan sanggup.” Wanita itu menatap jam dinding di kamarnya dan beranjak kemudian.
“Masih belum terlalu malam, Apotek pasti masih buka.” Shazia segera mengambil jaket dan kunci motornya, ia pun bersiap pergi membeli obat di Apotek terdekat.
Di waktu yang bersamaan, Taran masih berkutat dengan pekerjaannya di kantor, bahkan ketika semua karyawannya telah pulang, ia tetap duduk di kursinya untuk menyelesaikan semua berkas di meja.
Ya, pria itu tak pernah merasa lelah bekerja, walau hal itu harus merenggut waktu tidurnya, ia tak masalah sama sekali. Tak peduli orang-orang mengatakan dirinya gila harta atau gila kerja, dia hanya akan tetap fokus pada tujuannya.
Tepat ketika jam telah menunjukkan pukul 12.00 malam, Taran baru beranjak dari tempat duduknya, ia merapikan berkas dan memasang kembali jas yang ia letakan di kursi.
Di sisi lain, Shazia yang telah membeli obat terlihat santai mengendarai motornya, untuk awalnya tak ada masalah, sampai di perjalanan pulang tiba-tiba motor Shazia berhenti di tengah jalan.
“Ada masalah apa lagi dengan motor ini?” gerutu Shazia.
Wanita itu pun menepikan kendaraannya, ia segera memeriksa apa yang terjadi dengan motor kesayangannya itu, sambil sesekali melihat ke sekitar, harap-harap ada orang yang mau menolongnya.
Tetapi tak satu pun Shazia mendapati kendaraan yang lewat, apalagi orang yang berlalu-lalang di sekitar sana.
“Motor ini kenapa harus mogok di tempat sepi seperti ini?”
Beberapa kali wanita itu berusaha menghidupkan motornya kembali, tapi tetap saja hasilnya nihil, motor kesayangannya itu mati total.
“Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Tidak mungkin aku meninggalkan motorku di sini.”
Shazia pun kembali mencoba menghidupkan kembali motornya, namun tak lama sebuah mobil hitam lewat. Shazia merasa tak asing dengan mobil tersebut, dan benar saja saat mobil tersebut berhenti, Taranlah yang keluar dari pintu kemudi.
Awalannya Shazia terpaku menatap sosok pria yang datang mendekatinya itu, tetapi kesadarannya segera kembali kala Taran mulai mengajaknya berbicara.
“Aku tak tahu apa yang membuatmu berada di sini di tengah malam, tapi sepertinya kau butuh bantuan.”
“Ya, seperti yang Anda lihat, Ada masalah dengan motor ini. Tapi jika Anda ahli dengan permesinan, bisakah Anda membantu saya?”
“Aku bukan orang yang ahli di bidang mesin.”
“Ya, kalau begitu apa boleh buat, saya harus mencoba menghidupkan kembali motor ini,” balas Shazia sembari menstater kembali motor miliknya.
“Itu akan percuma, kau sudah mencobanya beberapa kali bukan?”
“Ya, b-begitulah.” Jawab Shazia ragu-ragu seolah apa yang ia lakukan adalah hal bodoh.
Taran terdiam beberapa saat, ia lalu memencet tombol di kunci mobilnya dan membuka bagasi bagian belakang.
“Apa yang ingin Anda lakukan?” tanya Shazia.
“Apalagi yang bisa kita lakukan selain mengantar motor dan pemiliknya pulang, di jam seperti ini sangat susah mencari bengkel.” Jawabnya sembari melipat kursi bagian belakang dan tengah.
Taran pun tanpa pikir panjang segera mengangkat motor tersebut ke mobilnya.
“Ayo tunggu apa lagi? Kau tidak ingin naik?” tanya Taran sembari menutup pintu bagasinya.
“Tunggu, saya ikut bersama Anda?”
“Tentu saja, memangnya kau ingin jalan kaki? Yang kutahu jarak antara restoranmu masih cukup jauh dari sini.”
“Ya, tapi ...”
“Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku bukanlah orang yang buruk seperti itu, jadi jangan takut seolah aku akan menerkammu,nona Shazia."
“Dan, ya, siapa yang saat itu memintaku untuk tak menanggapnya orang asing? Tampaknya orang itu menganggapku sebaliknya dan melupakan perkataannya.”
“Ya, saya tahu, itu saya. Tapi apakah saya harus membayar ongkos untuk ini, biaya bensin dan cuci mobil Anda?” tanya Shazia sembari menggigit bibirnya.
“Jangan pikirkan tentang itu, aku tak memerlukan imbalan.”
“Benarkah! Kalau begitu terima kasih.”
“Ya, sekarang masuklah,” balas Taran yang telah membuka pintu kemudi.
Shazia mengangguk, “Tapi di mana saya bisa duduk?”
“Kau hanya bisa duduk di kursi depan. Bagian belakang ... Kau bisa melihat sendiri.”
Shazia pun mengangguk, ia tahu kalau motornya memakan banyak tempat, dan hanya kursi depan yang bisa diduduki. Ia segera naik dan duduk diam, melihat Shazia yang telah duduk, Taran segera memasang sabuk pengaman, dan menjalankan mobilnya.
Untuk sesaat kesunyian menguasai, membuat situasi di antara keduanya menjadi canggung.
“Apa yang membuatmu ada di jalanan sepi di tengah malam begini?” tanya Taran membuka pembicaraan.
“Tadinya saya pergi membeli obat, tapi di perjalanan pulang motor itu tiba-tiba berhenti begitu saja.”
“Kau jarang memeriksa mesin motormu?”
“Ya, akhir-akhir ini saya begitu sibuk, tak sempat untuk memperhatikan mereka.”
“Lain kali kau harus lebih sering memeriksanya, agar tidak ada kejadian seperti ini lagi ke depannya.”
“Tidak masalah, jika ini terjadi lagi, maka saya akan menelepon Anda, karna Anda bilang Anda tak butuh imbalan bukan?” tanya Shazia dengan nada bercanda.
“Ya, jika aku tak sibuk,” balas Taran singkat.
Wajah Shazia berubah cemberut, “Anda benar-benar tidak bisa di ajak bercanda, ya, sungguh berbeda dengan putra Anda.”
Taran terdiam sesaat mendengar balasan Shazia. “Putraku, Apa dia tidak menyusahkanmu selama ini?” tanya Taran yang mengubah topik pembicaraan.
Shazia kembali menoleh, “Entah beberapa kali saya mengatakannya pada Anda, Zihan sama sekali tak menyusahkan. Dia anak yang baik, dia selalu menuruti apa yang saya perintahkan padanya, dan terkadang dia membantu saya dalam mengantarkan pesanan para pelanggan.”
“Maaf jika saya membuat putra Anda bekerja di restoran saya, tapi walaupun Anda marah, saya akan tetap melakukan hal yang sama terhadap Zihan.”
“Aku tidak akan marah, itu bagus untuknya. Dia bisa belajar dari semua itu, betapa untuk menghasilkan uang dia harus bekerja keras. Terima kasih kau mau membantu dalam mendidiknya, Nona Shazia.”
Shazia tersenyum, menatap senang wajah Taran. “Anda benar-benar seorang Ayah yang hebat, ya. Bisa menilai semuanya dari berbagai sudut. Biasanya ada orang tua yang ketika mendengar bahwa anak-anaknya bekerja walaupun itu hanya pekerjaan rumah, mereka marah besar.
Taran hanya balas mengangguk perkataan Shazia. Wanita itu pun kembali kesal dan memalingkan wajahnya.
“Ya, walaupun hal ini baru kuterapkan padanya baru-baru ini, tepatnya saat dia bertengkar dengan teman sekelasnya waktu itu. Untuk menghiburnya, Aynur meminta Zihan membantuku, dan di saat bersamaan saat mengecek ponsel aku melihat artikel tentang manfaat anak-anak yang terbiasa melakukan perkerjaan rumah.”
“Kau selalu bayak berbicara, ya, Nona Shazia.”
“Apa aku banyak bicara katamu?”
Alih-alih menjawab Taran malah membicarakan hal lain, “kau lebih baik tanpa berbicara formal seperti itu,”
“Untuk seterusnya, tak usah berbicara formal padaku, aku lebih suka cara berbicaramu yang seperti itu.”
Shazia terdiam mendengar jawaban Taran, ia mulai menyadari perkataan yang mulai tak beraturan.
“Ya sudah lupakan saja, aku juga sudah muak berbicara formal di depanmu. Mulai sekarang aku tak akan segan memanggilmu dengan nama, kau setuju?”
Taran mengangguk, percakapan keduanya pun berakhir setelahnya. Di saat bersamaan mobil Taran telah sampai di depan restoran Shazia.
Shazia segera turun, begitu pula dengan Taran yang ikut turun untuk mengeluarkan motor Shazia.
“Terima kasih sudah membantuku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tak menolongku.”
“Tidak, papa,” balas Taran singkat, yang kemudian kembali masuk ke mobil.
Entah mengapa sikapnya itu cukup menyebalkan, sesaat dia sangat baik, tapi sesaatnya lagi ... eghh ingin sekali aku mencekiknya! Shazia.
Sampai mobil Taran pergi, barulah Shazia masuk ke restorannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Anonymous
Bagus ceritanya
2024-02-18
0