“Selamat siang anak-anak!” sapa sang guru pada para muridnya.
“Selamat siang, Bu.” Jawab para murid serentak.
“Baiklah silakan duduk, anak-anak. kali ini ibu ingin menyampaikan pada kalian, bahwa sebentar lagi kepala sekolah akan mengadakan acara kenaikan kelas.”
“Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara kenaikan kelas tahun ini, akan memberikan penghargaan pada para murid dengan peringkat teratas.”
“Dan bukan hanya itu saja tentunya, setelah sesi penghargaan, kalian bisa menikmati berbagai macam makanan dan bermain sesuka hati.”
“Untuk itu ibu akan membagikan undangannya satu persatu pada kalian. Dan ingat, undangan itu harus sampai pada orang tua kalian, mengerti?”
“Ya, Bu.”
Sang guru itu pun mulai memanggil satu persatu muridnya untuk mengambil undangan.
“Ada apa denganmu Zihan?” tanya Altan yang melihat wajah murung Zihan.
“Tidak papa, aku hanya sedikit bosan,” balas Zihan.
“Kau tidak senang, ya?”
“Tidak, aku cukup senang, aku hanya merasa bosan saja, Altan.”
“Oh, begitu.” Altan pun segera kembali ke tempat duduknya.
Tibalah giliran Zihan yang dipanggil maju, anak laki-laki itu segera bangkit dan pergi mendekati meja sang guru.
“Bu guru, boleh tidak jika aku meminta dua undangan?” tanya Zihan ragu-ragu.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum, “Ya, tentu saja, ini ambillah.”
“Terima kasih, Bu,” balas Zihan sembari menyambut dua amplop tersebut dari lengan sang ibu guru.
...****************...
Sepulang sekolah, Zihan langsung pergi menuju restoran Shazia. Ia tanpa ragu mengganti seragamnya dan membantu Shazia bekerja.
Tetapi kali ini sebelum membantu Shazia, Zihan terlebih dahulu menelepon sang Ayah. Saat telepon masih berdering, ia begitu tak sabar menanti jawaban sang Ayah, matanya tak lepas menatap dua undangan di tangannya.
“Halo, papa, ini aku Zihan. Papa lusa nanti akan ada acara kenaikan kelas, kata ibu guru para orang tua harus hadir. Papa akan datangkan?”
“Maaf Zihan, ayah tak bisa hadir, ada pertemuan penting yang harus ayah lakukan lusa nanti. Kau bisa mengerti Ayah kan?”
Zihan terdiam, binar matanya mulai meredup, ia begitu saja mematikan sambungan telepon. Zihan meletakkan salah satu undangan di tasnya, dan mulai melangkah pergi ke lantai bawah.
Selama membantu Shazia bekerja, ekspresinya selalu murung, tak ada kesenangan di wajahnya, bahkan sampai restoran tutup hari itu.
Shazia yang melihatnya, datang menghampiri Zihan yang tengah membersihkan meja.
“Zihan ada apa denganmu, sayang? Bibi lihat sejak kau datang, wajahmu murung, kenapa?” tanya Shazia.
“Bibi, jika aku menceritakannya padamu, apa kau akan membantuku?”
“Tergantung masalahnya, jika tak terlalu sulit mungkin bibi bisa membantu.”
“Bibi, bisa tidak bibi datang ke acara kenaikan kelas yang diadakan di sekolahku lusa nanti?”
“Kenapa kau mengajak bibi? Apa kau tak datang bersama ayahmu?”
“Papa sibuk, Bibi. Kumohon, bisakah kau datang, Bibi?” pinta Zihan.
Shazia menghela nafas, “Maafkan bibi, Zihan. Bibi tak bisa datang, kau tahu sendiri bagaimana restoran kan, maafkan bibi, ya Zihan.” Balas Shazia sembari memegang bahu Zihan.
Zihan langsung menepis lengan Shazia, “Bibi sama saja seperti papa, selalu saja sibuk, aku pikir Bibi bisa mengerti aku tapi nyatanya!” Zihan berbalik, dan berlari ke lantai atas.
“Zihan!” panggil Shazia.
Sebelum Shazia menyusulnya ke lantai atas, Zihan sudah turun sembari membawa tasnya.
“Zihan kau ingin pergi ke mana, sayang?” Shazia segera mengikuti langkah Zihan yang pergi ke luar restoran.
“Zihan, maafkan bibi sayang!”
Di saat bersamaan mobil jemputan Zihan tiba di depan restoran, Zihan langsung memasuki mobilnya tanpa pamit, dan Shazia pun juga tak sempat menyusul langkah anak itu.
Di depan pintu mobil yang tertutup rapat, Shazia kembali mengemukakan permintaan maafnya, tetapi Zihan tetap tak mendengarkan.
“Zihan maafkan bibi, bibi benar-benar tak bisa datang,” ucap Shazia sembari mengetuk kaca mobil.
Sang sopir yang melihat semua kejadian itu, segera meminta maaf pada Shazia.
"Maaf, Nona. Jika tuan muda bersikap kasar pada Anda, kadang sikapnya terlalu sulit dimengerti,” ucap sang sopir.
Shazia yang berdiri di depan pintu mobil itu pun teridam, dengan rasa bersalah ia mengangguk pelan.
"Ya, tidak papa paman."
"Zihan, maafkan bibi, ya.”
Tak ada jawaban dari dalam. Mobil itu mulai berjalan pergi setelah sang sopir mengucap salam dan berpamitan.
Shazia menghela nafas panjang, sepeninggalnya Zihan ia merasa hampa, tubuhnya terasa berat untuk masuk kembali ke restoran.
Zihan kenapa kali ini sikapmu berbeda? Shazia
...****************...
Malam kembali datang, terlihat Zihan tengah makan malam bersama sang kakek dan neneknya. Karna peristiwa sore tadi, anak laki-laki itu tampak murung.
“Zihan, cucuku, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat murung?” tanya Derya.
“Kakek, apa lusa nanti kalian bisa datang ke acara kenaikan kelas di sekolahku?” tanya Zihan dengan wajah penuh harap.
Derya dan Defne pun saling memandang, keduanya juga punya urusan yang tak dapat ditinggalkan pada hari itu. Perkumpulan para orang tua jompo yang mereka ikuti mengadakan pesta, dan keduanya harus hadir di sana.
“Ya, Cucuku, Kakek dan nenekmu ini sayangnya tidak bisa datang, di hari yang sama, perkumpulan yang kakek dan nenekmu ikuti mengadakan pesta, dan kami harus pergi ke pesta yang mereka adakan,” balas sang kakek dengan wajah bersalah.
“Zihan, nenek harap kau dapat mengerti, andai jika acaranya tidak diadakan di waktu yang bersamaan, maka nenek dan kakekmu ini akan sangat senang dapat menghadiri acara kenaikan kelasmu, cucuku,” ucap Defne menjelaskan.
Zihan terdiam, perasaannya mulai berkecamuk antara marah dan sedih, ia menyadari apakah karna posisinya di rumah itu? Semua orang jadi enggan dekat dengannya.
“Apa karna aku anak har*am kalian tak pernah mau berurusan denganku, apa karna itu?” Zihan menghapus air matanya dan pergi meninggalkan meja makan.
“Zihan dari mana kau belajar kata-kata seperti itu? Kami sangat menyayangimu. Kenapa kau bisa berkata seperti itu!” teriak Defne yang mulai berdiri dari kursinya.
“Tenanglah, Defne. Jangan berteriak seperti itu padanya, di saat seperti ini kita tidak bisa berbicara padanya, dia tidak akan mendengarkan kita. Biarkan dia menenangkan perasaannya,” ucap Derya menenangkan sang istri dan menyuruhnya kembali duduk.
“Derya, sampai kapan situasi ini terus berjalan? Sampai kapan hubungan di rumah ini selalu renggang?”
“Aku seperti tak mengenal mereka, siapa Taran dan siapa Zihan? Semakin aku mencoba untuk mengerti tentang mereka, semakin aku jauh dari mereka, Derya,” keluh sang istri.
“Sudahlah Defne, suatu saat semua pasti akan berubah,” balas Derya sembari memeluk Defne.
Di kamarnya, Zihan duduk di balik pintu, ia menangis, betapa semua orang begitu tak peduli padanya.
“Apa permintaanku cukup sulit? Aku hanya meminta kepedulian dan kehadiran kalian sesaat, apakah itu sangat sulit?”
“Sibuk, sibuk, dan harus mengerti. Kenapa aku harus selalu mengerti akan kesibukan mereka yang setiap saat itu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Reny Saputro
tetap semangat
2022-11-11
2