NovelToon NovelToon

Jadi Ibu Tiri Anak Ceo

Bab 1 - Putramu

Seorang wanita paruh baya terlihat berjalan menuju sebuah rumah mewah bertingkat, di tangannya ia menggendong seorang bayi. Entah apa yang akan dilakukannya? Dengan mudah, ia dapat masuk ke rumah yang pengamanannya cukup ketat itu.

Langkahnya yang gontai berhenti tepat di ambang pintu. Ketika ia melihat sekeliling dalam sekejap menemukan seseorang yang dicari.

Dia, Taran Savas, dialah pria yang dicari wanita tersebut. Mendengar derap langkah kaki yang terhenti, membuat Taran yang berdiri tepat di tengah ruangan itu pun menoleh.

Ketika melihat wanita dengan panggilan Manorya itu, ekspresi Taran seketika berubah. Rasa amarah di hatinya seakan kembali membara, sangat berbeda dengan Manorya yang menyikapinya dengan tenang, bahkan masih terpampang jelas senyum di wajahnya.

Taran mengubah posisinya, ia berbalik menghadap Manorya, sedang Manorya terus berjalan mendekat ke arahnya.

“Lama tak berjumpa, Taran,” sapa Manorya seolah akrab.

“Apa tujuanmu kemari?” tanya Taran penuh penekanan.

Manorya tertawa, “Seharusnya kau menyambut tamu yang datang. Apalagi ketika dia membawa kabar baik untukmu.”

“Dengan kedatanganmu saja itu sudah pembawa sial. Alangkah baiknya jika kau pergi!”

“Kau tenang saja. Setelah memberi apa yang menjadi hakmu, aku akan pergi.”

Hanan mengangkat alisnya, sedikit bingung dengan kata terakhir Manorya. Manorya lantas kembali berjalan mendekati Taran, ia begitu saja memberikan bayi di tangannya pada pria itu.

“Dia putramu.”

Taran tertegun, hanya dengan dua kata saja sudah menjelaskan semuanya. Sorot matanya yang tajam secara perlahan meredup, menatap sendu bayi di lengannya.

“Apa dia anak yang dilahirkan wanita itu?”

Manorya tersenyum, ia mengangguk pelan.

“Lalu di mana dia? Ke mana perginya wanita itu?”

Manorya yang tengah berjalan keluar, sontak terhenti di ambang pintu.

“Kau tak perlu tahu ke mana perginya dia. Tapi yang pasti, ibunya tak bisa merawat anak itu, bahkan ketika dia menginginkannya.”

“Kuharap kau bisa menjaga putramu dengan baik, dia tak punya siapa pun lagi, selain kau.”

“Selamat tinggal!” ucapnya lagi mengakhiri, ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan mansion.

Taran yang beberapa saat terdiam, kembali menatap putranya. Ketika melihat wajah mungil yang tertidur pulas di lengannya itu, membuat amarahnya mereda dan harapan kembali tumbuh dalam diri Taran.

...****************...

9 tahun kemudian...

Pagi yang cerah di kediaman Savas, terlihat semua keluarga tengah berkumpul di meja makan. Mereka sarapan bersama dan tampak menikmati hidangan yang tersaji, tapi tak dengan seorang anak laki-laki yang terus saja asyik dengan buku di tangannya, ia sama sekali tak menyentuh makanan di piringnya.

“Zihan, letakan buku itu, dan makanlah sekarang!” tegur sang ayah yang melihat kelakuan putranya.

Anak itu tak serta-merta mendengarkan ucapan sang ayah, ia hanya menatap sekilas lalu beralih pada bukunya kembali.

“Zihan, Ayah memperingatkanmu!” tekan Taran lagi.

Zihan yang mendengar teguran, kembali menatap sang ayah. “Papa, buku ini sangat penting bagiku. Minggu depan waktunya ujian, aku tak ingin nilaiku rendah!” balas sang anak.

Ya, dialah Zihan Savas, putra Taran yang sangat di sayanginya, yang kini telah tumbuh semakin besar. Dengan wajah yang tak kalah tampan seperti sang ayah, bermata biru dan rambut kecokelatan,juga tak lupa dengan sikap keras kepala yang telah menjadi ciri khas ya.

“Ayah sudah melihatmu belajar selama seminggu terakhir, dan apakah itu masih belum cukup?”

“Tentu saja, Papa. Aku harus menguasai semua yang ada di buku ini.”

“Kau masih anak-anak, kenapa harus belajar begitu keras, lagi pula nilai ulanganmu kan tidak ada yang rendah?”

“Papa, aku ingin semua nilaiku sempurna, semua mata pelajaran harus berada di angka 100 dan tak kurang dari itu.”

“Zihan, cucuku. Jangan memaksakan dirimu seperti itu, makanlah dulu baru kau lanjutan lagi belajarmu itu,” tegur sang Nenek.

“Tepat sekali, jika tak makan, cucu kesayanganku ini akan jatuh sakit nanti,” timpal sang kakek.

“Tapi aku tidak lapar kakek, dan aku juga akan memakan makanan ini nanti,” balas Zihan sambil menatap ketiganya.

“Daripada menghabiskan waktumu seperti itu, kenapa kau tak pergi bermain bersama teman sebayamu? Atau pergilah berlibur?”

“Teman sebaya? Aku tidak ingin bermain dengan mereka, anak-anak dari rekan bisnis papa itu hanya memamerkan kekayaan mereka terus-menerus, dan lagi pergi berlibur? Itu hanya buang-buang waktu, Pa!”

Sang ayah kemudian terdiam, ia menghela nafas dan menatap putranya tanpa arti.

“Bibi tolong bawakan makananku ke lantai atas, ya. Aku akan makan di kamar.” Sambil berdiri dari kursinya.

Setelah kepergian Zihan, meja makan kembali sunyi, dan menyisakan tiga anggota keluarga di sana, Taran dan kedua orang tuanya. Taran kembali melanjutkan ritual makannya dalam diam.

Sang ibu yang melihat kerisauan putranya itu pun tampak menenangkannya. “Tidak papa, Nak. Ibu tahu sulit bagimu untuk membesarkan anak seorang diri, tapi jangan terlalu menghawatirkannya,”

“Karna kau tahu? Sewaktu kecil kau juga sama sepertinya, kau tak peduli dengan hal menarik apa di sekitarmu, kau tak pernah lepas dari buku pelajaran, dan kini ... sifatmu itu dialah yang mewarisinya.”

“Tapi aku tak sekeras kepala dirinya, Bu,” balas Taran.

“Jika memang kau begitu kesusahan mengurusnya, maka menikalah Taran, cari seorang wanita yang mau menerima Zihan dan memperlakukannya seperti putra kandungnya sendiri!” ucap Derya sang ayah.

Mendengar ucapan sang ayah, Taran seketika menghentikan aktivitasnya, “Tak semua urusan bisa kau selesaikan dengan menikah Ayah.” Sambil mengelap tangan dan merapikan jasnya.

“Sekarang aku harus pergi, jaga kesehatan kalian,” ucap Taran lagi dan beranjak pergi dari kursinya.

Keduanya hanya bisa saling menatap. Ekspresi sang ibu seketika berubah sendu, ia tak lagi menyuap makanan ke mulutnya.

“Aku tak tahu Derya, apa dia benar-benar putra kita atau bukan?” Sambil memainkan makanan di piringnya dengan sendok.

“Sejak kejadian itu, dia berubah seperti orang asing. Sikap dinginnya itu membuatku merindukan sosoknya yang dulu Derya,”

“Aku tahu itu sulit Defne, aku yakin suatu saat dia akan kembali seperti dulu.”

Taran yang telah berada di kantor, baru saja menyelesaikan pertemuan penting, kali ini ia mendapat banyak investor untuk produk barunya. Baru saja duduk di kursinya, dering telepon telah terdengar, membuat Taran memperhatikan nama yang tertera di ponsel.

“Ya, Zihan. Ada apa menelepon Ayah?”

“Papa, hari ini jemput aku, Ya. Aku akan menunggu Papa di depan sekolah,” pinta Zihan dalam telepon.

“Menjemput? Baiklah, Ayah akan menjemputmu hari ini,” balas Taran.

Mendengar jawaban Taran, Zihan segera mematikan sambungan telepon.

...****************...

Seorang anak laki-laki terlihat berjalan keluar dari sekolahnya, wajahnya tampak lelah, sekali-kali ia menatap jalanan, menunggu kedatangan seseorang untuk menjemputnya.

“Isttt, Kenapa ayah lama sekali? Katanya hari ini ingin menjemputku!” gerutunya.

Anak itu menatap ke sekeliling, sejak tadi sekolah sudah sangat sepi, hanya ada beberapa orang termasuk dirinya di sana. Menyadari hari yang hampir gelap dan suhu yang semakin dingin, ia mengambil langkahnya meninggalkan sekolah.

Ia menyusuri trotoar sambil menatap satu-persatu toko di sekitarnya, tak menyadari dirinya telah jauh dari areal sekolah. Zihan terus berjalan melewati beberapa belokan, dan kakinya berhenti tepat di depan sebuah restoran.

Restoran yang menarik perhatiannya, ia menatap papan menu. Banyak makanan yang ia tak pernah memakannya, Zihan terdiam beberapa saat, bingung ingin memesan apa.

Hingga pintu restoran terbuka, menampilkan seorang wanita yang langsung datang menghampirinya.

Zihan bingung dengan sikap wanita itu, siapa dia yang tiba-tiba menghampirinya? Kenapa tiba-tiba mengajaknya bicara seolah akrab?

Apa bibi ini salah satu orang yang menyukai Ayah? Sehingga berpura-pura baik di depanku? Zihan.

“Hei, Nak, kenapa kau sendirian di sini? Apakah kau tersesat?” tanya wanita itu.

Mungkin aku bisa memanfaatkan bibi ini, aku akan lihat betapa kesalnya dia dengan sikapku nanti. Sehingga aku bisa melihat sifat asli bibi yang hanya menginginkan ayahku itu. Zihan.

“Ya, Bibi, aku tersesat, bisakah kau membantuku?” jawab Zihan dengan wajah memelas.

Bab 2 - Pertemuan

Di salah satu restoran ibukota, ada seorang wanita yang tengah sibuk mencatat pesanan para pelanggannya.

“Aku ingin Köfte dan Dolma, juga untuk makanan penutupnya aku ingin Künefe, dan jangan lupa tehnya.”

Wanita yang mencatat pesanan itu mengangguk, ia tersenyum ramah untuk mengakhiri percakapan. “Baik, Tuan. Kami akan segera membawa pesanan Anda.”

Ya, dialah Shazia. Wanita dengan mata coklat hazel yang padu dengan rambut hitam gelombangnya itu tampak mempercepat langkahnya menuju dapur.

Kala itu dapur tampak sibuk dengan para koki yang tengah membuat pesanan para pelanggan.

“Aynur, pesanan baru dari meja 14!”

“Ya, pesanan akan segera di buat!” balas Aynur cepat, sembari menatap secarik kertas yang baru saja Shazia tempelkan di dinding.

Shazia mengangguk pada sahabat kepercayaannya itu, ia kembali keluar bersama kertas kecil dan pena di lengannya, mencatat pesanan baru dari para pelanggan yang berdatangan.

Ya, begitulah hari-hari Shazia di restoran miliknya, dipenuhi dengan kesibukan tentang restoran, tak ada hari libur, yang dipikirkan hannyalah bekerja dan bekerja.

Tetapi kali ini ada yang berbeda, ketika hari telah menjelang sore, seperti biasa Shazia menutup restorannya. Segala meja dan dapur pun telah dibersihkan, hanya tinggal membalikkan kota Open menjadi Closed.

Saat Shazia telah berdiri di ambang pintu, pandangannya teralih pada seorang anak laki-laki yang berdiri diam di depan restoran.

Entah mengapa? Ketika melihatnya, Shazia seolah tersihir untuk segera datang menghampiri anak tersebut.

‘Anak itu, kenapa rasanya tak asing?’ Shazia.

Shazia berjongkok di hadapannya, yang sontak membuat anak lelaki itu mendongak ke arah Shazia, mata biru bersinarnya itu tampak bertanya-tanya akan kehadiran Shazia di hadapannya.

“Hei, Nak, kenapa kau sendirian di sini? Apakah kau tersesat?” tanya Shazia

Anak lelaki itu menatap Zara dengan ekspresi bingung, namun tak lama ekspresi wajahnya berubah memelas, “Ya, Bibi, aku tersesat, bisakah kau membantuku?”

“Aku juga sangat lapar, dan aku takut sendirian di sini. Aku tidak tahu jalan pulang di mana?”

“Oh, sayang, jangan khawatir, bibi akan membantumu, kau tak perlu takut. Ayo, sekarang masuklah bersama bibi.”

Ada senyum puas yang timbul di wajah anak lelaki itu. Shazia segera berdiri, ia menggandeng lengan anak tersebut dan membawanya masuk ke Restoran.

Di dalam Restoran, Shazia bersama anak lelaki itu duduk di salah satu meja, Aynur yang saat itu baru saja keluar dari dapur pun langsung datang menghampiri keduanya.

“Shazia, siapa anak yang kau bawa ini?” tanya Aynur

“Dia tersesat, Aynur, aku membawanya masuk karna cuaca di luar cukup dingin”

“Oh, jadi kau tersesat, ya? Tidak papa, jangan khawatir, aku dan bibi Shazia akan menjagamu di sini,” ucap Aynur sembari berjongkok di hadapannya.

Zihan mengangguk, “Iya, Bibi.”

“Oh, ya, bibi belum tahu siapa namamu? Bisakah kau memberi tahu bibi?”

“Namaku Zihan, Bibi,” balas anak itu dengan wajah polos dan suara manjanya.

“Ya Allah, betapa manisnya anak ini Shazia!” puji Aynur

Shazia tersenyum melihat tingkah laku Aynur. “Kau mempunyai pemikiran yang sama denganku, Aynur,” balas Shazia

“Zihan, kau laparkan?” tanya Shazia kemudian

“Ya, Bibi. Aku sangat lapar.”

“Ya, kalau begitu kau ingin makan apa? bibi akan menyiapkannya untukmu.”

“Aku bingung, Bibi, aku tidak tahu ingin makan apa?”

“Kau bingung, lihatlah daftar menu ini,” balas Shazia seraya mengambil daftar menu di atas meja.

Anak lelaki itu melihat daftar menu, tak beberapa lama ia menatap lekat Shazia.

“Bibi, bisakah aku mendapatkan semuanya? Aku ingin makan semua menu yang ada di sini,” ucapnya dengan wajah memelas.

Melihat wajah lucunya yang memelas membuat Shazia luluh, ia tak kuasa untuk menolak permintaan dari anak itu.

“Oh, ya, tentu bisa, kau bisa mendapatkan semua makanan di menu itu, Sayang.”

Mata itu tampak menyala menggambar kegembiraan, “Benarkah! Terima kasih, Bibi!”

Shazia tersenyum mengangguk, “Aynur, tolong kau buat—“

“Tidak, Bi, aku ingin Bibi yang memasakannya untukku,” ucap Zihan yang dengan cepat memotong perkataan Shazia.

“Kau ingin bibi yang memasakkannya untukmu?”

Zihan mengangguk.

“Baiklah, bibi akan memasakannya untukmu. Tetapi, kau harus duduk diam dan menunggu di sini”

Zihan mengangguk, ia mulai duduk manis di kursinya.

Shazia pergi ke dapur, ia mulai mengenakan celemek dan menggenggam pisau di tangannya, bersiap memasak menu yang di inginkan. Tetapi ketika ia membuka lemari pendingin, semangatnya menghilang.

“Betapa kau semakin pikun, Shazia!” gerutunya pada diri sendiri

Shazia kembali menemui Zihan, pada anak laki-laki itu ia memberi tahu apa yang terjadi.

“Sayangnya, bibi tidak bisa membuat semua menu yang kau inginkan, Zihan. Bibi hanya bisa membuat dua makanan dari sisa bahan.”

“Tidak papa, Bibi. Aku akan memakan apa pun yang Bibi masak untukku,” balas Zihan dengan suara manjanya.

“Benarkah, tidak papa jika bibi memasakan makanan sederhana untukmu?” tanya Shazia meyakinkan Zihan

Zihan mengangguk beberapa kali, “Tidak papa, Bibi.”

Mendengar gaya bicaranya yang khas itu, membuat hati Shazia semakin luluh.

'Kenapa ada anak semanis ini, rasanya aku ingin memeluk dan mencium pipinya itu!' Shazia.

Shazia lantas tersenyum, ia mencubit pipi Zihan dan kembali ke dapur. Hanya dengan kurun waktu setengah jam, Shazia telah selesai menghidangkan masakannya di atas meja.

Ia menyiapkan peralatan makan untuk dirinya dan Zihan. Tak lama, Aynur kembali datang dengan membawa peralatan kebersihan.

Ia mulai menyapu dan mengepel lantai, sementara menunggu Shazia yang tengah makan bersama Zihan.

“Aynur, ayo makan bersama,” ajak Shazia.

“Tidak, Shazia. Kau saja, aku sudah kenyang, ” balas Aynur sembari menyalakan televisi.

“Ya, Baiklah, jika kau tak ingin makan,” jawab Shazia.

“Zihan, kenapa diam? Kau tidak ingin makan makananmu?” tanya Shazia yang melihat Zihan terdiam menatap makanan di hadapannya.

“Ah, ti-dak, Bi, lihat aku akan segera makan.” balas Zihan cepat.

Zihan buru-buru menyendok masakan ke piring, dengan terpaksa ia menyuap makanan itu ke mulutnya. Matanya terbuka lebar menatap Shazia

“Zihan, kenapa? Apa makanannya tidak enak?” tanya Shazia lagi saat melihat Zihan kembali diam

“Tidak, Bi, i-ini sangat enak!” balas Zihan yang kini makan dengan lahap.

“Syukurlah jika kau menyukainya, Zihan.”

Di saat keduanya makan dengan tenang, saluran televisi yang dinyalakan Aynur terlihat tengah mewawancarai seorang pengusaha terkaya di kota. Aynur yang melihatnya, tampak tertarik akan itu.

“Shazia, lihat dia tampan sekali, ya.”

“Pengusaha kaya, tampan, dan berwibawa, dia paket komplit, Shazia.”

Shazia tak sekalipun merespons perkataan Aynur apalagi menoleh, ia tetap melanjutkan ritual makannya dengan nikmat.

“Pasti banyak sekali yang ingin menikah dengannya meskipun dia telah memiliki anak.”

“Ah, aku berharap semoga suatu saat nanti bisa bertemu dengannya!”

Shazia tertawa, “Ha, ha, ha, Aynur, tolong jangan bermimpi terlalu tinggi. Mana mungkin orang seperti itu mau berkeliaran di sekitar sini.”

Aynur menatap sinis Shazia, “Kau ini bukannya mendukung sahabatmu malah menertawakannya. Siapa yang tahu, kisah cintanya akan sama seperti novel atau film!”

“Dan jika di lihat-lihat, dia itu cocok sekali denganmu, Shazia. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana kau akan menikah dengannya suatu saat nanti!”

Seketika Shazia terbatuk, “Aynur, yang benar saja, jangan berkhayal yang tidak-tidak!” ucap Shazia sembari mematikan televisi.

“Shazia kenapa kau mematikan televisinya? Tidak kau melihat berita yang menarik itu?”

“Aynur bukankah kau ingin menyelesaikan pekerjaanmu lebih awal? Lantas kenapa kau membuang waktumu untuk menonton?”

“Yah, kau terlambat Shazia. Aku sudah selesai dengan pekerjaanku” balas Aynur santai sambil menyusun kembali peralatan kebersihannya.

Tampak raut kekesalan di wajah Shazia, ia segara memalingkan wajahnya dari Aynur.

“Zihan, jangan pedulikan, ya. Kau habiskan saja makananmu” ucap Shazia yang melihat Zihan menatap lama ke arahnya.

Zihan mengangguk, ia mulai menyendok makanan ke mulutnya lagi.

Selesai makan Shazia kembali membawa piring kotor ke dapur. Lalu kembali menemui Zihan yang masih duduk manis di tempatnya.

“Zihan, apa kau menyimpan nomor kedua orang tuamu, sayang?”

“Ya, Bibi, nomornya ada buku ini, bisakah bibi meneleponnya untukku?” Shazia menerima buku yang diberikan Zihan.

“Bibi akan menelepon orang tuamu, kau jangan khawatir,” balas Shazia yang melihat wajah panik Zihan.

Shazia dengan mudah mendapatkan nomor orang tua Zihan, ia segara mengetik nomor dan menghubunginya. Dengan cepat telepon itu tersambung, suara seorang pria terdengar membalas.

“Halo, selamat sore, apakah benar saya berbicara dengan orang tua Zihan?”

“Ya, aku ayahnya”

“Jadi tuan saya ingin memberitahukan pada Anda, bahwa sekarang putra Anda ada restoran saya, bisakah Anda menjemputnya kemari?”

“Di mana letak restoranmu?”

“Ya, tuan, saya akan mengirimkan lokasi restoran saya untuk Anda.”

Sambungan telepon terputus, ada rasa jengkel di hati Shazia mendengar setiap jawaban dari orang tua Zihan. Ia buru-buru mengirim alamatnya.

Kau harus sabar Shazia, semua orang punya sifat berbeda, kau harus tenang. Shazia.

“Zihan, bibi sudah menelepon Ayahmu, dia akan segera kemari, jadi kau tak perlu takut.”

“Bibi, bagaimana jika ayah marah padaku, aku takut jika dia marah bibi.”

“Sayang, bibi sudah mengatakannya padamu, jangan takut. Bibi berjanji jika ayahmu tidak akan marah.”

“Bibi janji?”

“Ya, bibi berjanji, sayang.”

...****************...

“Zihan, ayahmu menelepon bibi, dia sudah sampai.”

“Benarkah bibi?”

“Ya, ayo, biar bibi mengantarmu.”

Zihan mengangguk, ia segara berdiri dan memasang tasnya kembali. Keduanya berjalan bersama ke belakang restoran, di jalanan yang sepi itu telah menunggu seorang pria.

Pria yang tak asing itu adalah Taran, ia tampak terlihat sibuk dengan ponselnya. Tetapi, ketika melihat Shazia dan Zihan mendekat, wajah yang tadinya diam tanpa ekspresi itu kini berubah sinis, memandang angkuh pada sosok Shazia.

“O, jadi kau!”

“Ya, saya ing__”

Belum usai Shazia berkata Taran langsung menyela, “Tak usah banyak bicara, aku tahu apa yang diinginkan orang sepertimu!”

Shazia mengernyitkan dahinya, ia tampak bingung dengan kata-kata Taran.

“Tampaknya para wanita rendahan sepertimu ini memiliki modus baru.”

“Jangan bersandiwara seolah kau benar-benar menolongnya!”

“Berapa uang yang kau inginkan? Kau menculik putraku untuk uang bukan?” tanya Taran sembari mengambil dompet dari sakunya dan mengeluarkan semua uang di dalamnya.

“Ini, ambillah. ini lebih dari cukup dari yang kau inginkan, bukan!” ucapnya sembari memberikan uang tersebut ke tangan Shazia.

Meski Taran banyak mengeluarkan kata-kata menohok, Shazia sama sekali tak merespons perkataannya. Ia malah berjongkok di hadapan Zihan dan tersenyum.

“Lihatlah, Zihan, ayahmu sama sekali tak marah padamu bukan?”

Zihan mengangguk dengan apa yang dikatakan Shazia.

“Nah, kalau begitu kau masuklah ke mobil, bibi ingin berbicara pada Ayahmu.”

“Apa yang ingin kau katakan? Apa uang yang aku berikan itu kurang?”

Shazia tetap diam dengan ekspresi yang masih saja mempertahankan senyum. Ia melambaikan tangannya pada Zihan yang memasuki mobil hitam milik sang Ayah.

Saat Zihan telah memasuki mobil, Shazia segera berdiri, ekspresinya kini berubah sinis. Ia berjalan mendekat ke arah Taran.

“Apa yang ingin kau bicarakan? Apakah uang di leng__”

Bab 3 - Tamparan

‘Praakkk!'

Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat ke pipi Taran.

"Tamparan itu cukup bagus mendarat di wajah Anda, Tuan. Agar Anda tahu caranya untuk menghormati orang lain!”

Dengan mata berapi, Taran menatap kesal Shazia.

“Kenapa? Apa Anda terkejut melihat wanita rendahan ini bersikap?”

“Dengar Tuan, saya tak pernah menginginkan uang Anda, apalagi mengenal Anda, bagaimana bisa Anda sembarangan menuduh orang lain seperti itu?”

“Walau sekaya dan terkenal apa pun Anda, Tuan. Anda tak bisa menilai rendah apalagi meremehkan orang lain, perlakuan Anda itu cukup buruk untuk disebut sebagai manusia!”

“Satu hal yang perlu saya tegaskan pada Anda, saya bukanlah seorang penculik dan saya tulus membantu putra Anda!”

“Dan ini, saya tak membutuhkannya!” Sembari melempar semua uang di lengannya ke wajah Taran.

Shazia berlalu pergi kemudian, ketika ia berbalik rambut yang ia biarkan terurai itu terkibas mengenai wajah Taran.

Kini api marah memenuhi pria itu, ia menatap kesal Shazia yang pergi,

Shazia yang menoleh ke arah Taran lantas mengacungkan jari tengah ke arahnya. “Fu*k!”

“Wanita Sia*an,” umpat Taran

Taran lalu membuka pintu mobil dengan kasar, di dalam ia di sambut dengan gelak tawa putranya.

“Bagaimana Pa? Apa Papa sangat senang bertemu dengan bibi itu?”

“Bagus Zihan, kau mempermainkan ayahmu.”

“Aku tidak mempermainkanmu Pa, aku hanya ingin Papa bertemu dengan Bibi pemberani itu saja,” balas Zihan yang masih saja tertawa.

Bibi itu, dia benar-benar berbeda dari banyaknya perempuan yang mendekati papa. Zihan

Taran menyalakan mobil dan meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan di sisi lain, Shazia yang telah kembali, cepat-cepat mengunci restoran dan pergi ke lantai dua. tempat di mana Shazia tinggal.

“Menjengkelkan, semoga aku tak bertemu dengan orang seperti itu lagi selama sisa hidupku!”

...****************...

Hari berganti, pagi-pagi buta Shazia telah terbangun. Ia terlihat membersihkan ruangan yang besarnya tak seberapa itu. Ya, ruang kecil yang terbagi dua antara kamar dan balkon itu Shazia jadikan tempat tinggalnya.

Trak...!

Suara pintu yang dibuka secara tiba-tiba mengejutkan Shazia.

“Astaga! Aynur, sejak kapan kau kemari? Kau mengejutkanku.”

“Ha, ha, maaf Shazia aku tak sengaja mengejutkanmu. Aku pikir kau masih tidur,” balas Aynur.

“Ya, jadi apa yang membuatmu mendatangiku kemari?”

“Truk sayur sudah datang, dia memberikan banyak sayur segar untuk kita Shazia, dan tentu saja aku kemari untuk meminta uang bayarannya.”

“Oh, dia sudah datang, baiklah, berikan ini padanya Aynur dan jangan lupa katakan terima kasih padanya,” ucap Shazia sambil memberikan beberapa lembar uang pada Aynur.

“Ya, akan kusampaikan padanya nanti.”

Hari-hari sibuk Shazia pun dimulai, berkecimpung dengan urusan restoran setiap hari tanpa merasa bosan sedikit pun. Rutinitas yang selalu Shazia lakukan selama lebih dari lima tahun lamanya.

Seperti hari-hari biasa, kali ini pun Shazia disibukkan dengan para pelanggan, ia tak merasakan waktu yang terus bergulir.

“Bibi!”

“Bibi!”

“Bibi!”

Suara yang tak asing itu terus memanggil Shazia, yang lantas membuat Shazia menoleh ke arah sumber suara.

“Zihan?”

Shazia berjalan ke luar restoran, ia melihat anak lelaki itu berdiri di sana.

“Zihan, apa yang kau lakukan di sini sayang? Apa kau tersesat lagi?” tanya Shazia.

Zihan menggeleng, “Tidak, bibi, aku tidak tersesat lagi, hari ini aku ingin berkunjung ke restoranmu, Bibi, bisakah?”

Shazia melihat ke belakang, restoran masih dipenuhi para pelanggan.

"Tentu saja bisa, tapi apakah orang tuamu mengizinkanmu?"

Zihan yang menanti jawaban itu tersenyum senang, ia membalas santai perkataan Shazia, "Bibi, Papa mengizinkan aku kemari.”

“Baiklah, kalau begitu sekarang kau pergilah ke lantai atas. Bibi akan menemui nanti, restoran masih sangat penuh sekarang, bibi harus bekerja.”

“Baik, Bibi Shazia!”

Dengan arahan Shazia, Zihan pergi ke lantai atas. Sama seperti ketika ia pertama kali memasuki restoran, Zihan terus menatap sekelilingnya.

“Nah, Zihan, lantai dua ini tempat tinggal bibi, kau bisa bermain di mana pun yang kau suka. Kau bisa membaca buku-buku di balkon ini,” ucap Shazia sambil menunjuk rak buku di dekatnya.

“Dan jika kau merasa bosan atau ingin tidur, kau bisa pergi ke kamar bibi.”

“Baik, Bibi, terima kasih sudah mengizinkan aku untuk datang kemari, Bibi.”

Shazia tersenyum, “Anak manis, kau tidak perlu berterima kasih. Bibi senang jika ada seseorang yang ingin mengunjungi tempat tinggal bibi, dan bibi tidak merasa keberatan akan hal itu.”

“Baiklah, sekarang bibi harus turun ke lantai bawah, bermainlah sesukamu di sini, ya.”

“Baik, Bi.”

Setelah kepergian Shazia, Zihan yang hanya sendiri tampak menghampiri rak buku di dekatnya, ia mengambil salah satu buku dongeng dan duduk di kursi balkon.

Di tengah asyiknya membaca, Zihan dikejutkan dengan kedatangan seorang pria tua. Pria dengan jas hijau dan rambut putih yang hampir memenuhi kepalanya itu menatap Zihan dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Zihan, Apakah namamu Zihan?” tanya Pria tua itu.

Zihan yang mendengar namanya disebut pun buru-buru mengangguk.

“Berarti benar, kau sama seperti di katakan Shazia.”

Lelaki itu mendekat, ia lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Zihan. Zihan yang masih belum tahu siapa lelaki itu, selalu menatap gerak-geriknya.

Pria itu tertawa melihat tingkah laku Zihan. “Kenapa kau menatapku seperti itu, Nak? Kau jangan khawatir ataupun panik, aku bukan orang jahat yang akan memakanmu.”

“Tampaknya kau masih belum mengenaliku, ya? Bakilah, akanku beritahu, namaku Erhan Altair. Kau bisa memanggilku dengan sebutan kakek Olive, orang di sekitar sini selalu memanggilku dengan sebutan itu, dan Shazia adalah putriku.”

Zihan kembali mengangguk.

Erhan Altair, dia adalah seorang pengusaha kuliner. Ia juga seorang ayah sekaligus keluarga satu-satunya yang dimiliki Shazia. Setiap pekerjaan yang menyibukkannya selesai, ia akan mengunjungi putrinya ke restoran.

“Mengapa panggilan kakek cukup berbeda dari nama asli, kakek?” tanya Zihan.

“Ya, itu bukan tanpa alasan—“

Perkataan Erhan terhenti, kala melihat putrinya datang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan Baklava.

“Ayah, ini teh dan camilan yang kau pinta.”

“Ya, terima kasih, Putriku.”

“Sama-sama, Ayah,” balas Shazia.

“Dan ini untukmu Zihan,” ucap Shazia, sambil memberikan salah satu teh pada Zihan.

“Terima kasih, Bibi.”

Shazia mengangguk, “Zihan, kau tunggu di sini bersama kakek Olive, ya. Bibi akan kembali setelah pekerjaan bibi selesai, tidak papa kan?”

“Tidak papa, Bibi. Aku tahu jika Bibi masih sangat sibuk sekarang”

Shazia tersenyum simpul, lantas mencubit pipi Zihan. “Baiklah, anak manis, tunggu bibi, ya.”

Shazia kembali ke pekerjaannya, meninggalkan Zihan dan Ayahnya di balkon.

“Baik, sampai mana kita berbicara Zihan?”

“Sampai kakek ingin menjelaskan padaku, alasan mengapa kakek di sebut kakek Olive”

“Ya, Zihan, kau bisa melihat jawabannya sendiri di atas kepalaku ini” ucap Erhan, sambil menunjukkan rambut yang hampir botak di tengahnya.

Zihan tertawa melihat rambut Erhan, “Lalu apa hubungannya itu dengan kebotakan yang kakek alami?” tanya Zihan

“Ya, karna hal itu, aku sering melumuri rambutku dengan minyak kelapa. Makanya orang sekitar sini memanggil kakek dengan sebutan kakek Olive”

Zihan mengangguk tanda mengerti, ia begitu menikmati percakapannya dengan Erhan, semua seolah mengalir begitu saja. Cerita-cerita lucu yang diceritakan Erhan terkadang membuatnya tertawa, ia bahkan sama sekali tak merasa asing akan suasana yang baru itu.

“Oh, ya, Zihan, kakek ingin tahu. Apa yang membuatmu tertarik datang kemari?”

“Mm, Kakek. Aku kemari untuk menemui bibi Shazia. Aku datang ke sini, karna aku ingin memberi sesuatu pada Bibi”

“Kau ingin memberinya hadiah, kenapa?

“Karna kemarin aku tersesat di sekitar sini, dan bibi yang menolongku.”

“Oh, ya. Hadiah apa yang ingin kau berikan padanya?”

“Tentu saja itu rahasia kakek, aku tidak akan memberitahunya pada siapa pun,” balas Zihan.

“Hei, apa yang sedang kalian berdua bicarakan, tampaknya seru sekali?” tanya Shazia yang tiba-tiba muncul. Ia datang menghampiri keduanya.

“Bibi, kemari? Apa pekerjaan bibi telah selesai?”

“Tentu, Sayang. Pekerjaan bibi telah selesai, jadi kita bisa bermain bersama.”

“Shazia ayah ingin bertanya padamu pukul berapa sekarang?”

“Pukul 17:00 sore, Ayah. Memangnya ada apa?”

“Ya, berarti sudah waktunya bagi ayah untuk pulang, Shazia”

“Ayah sudah ingin pergi? Kenapa cepat sekali?

“Ya, ada banyak pekerjaan yang menunggu ayah di rumah.”

“Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa kalau begitu, sampai jumpa, Ayah. Hati-hati di jalan.”

“Ya, sampai jumpa, Putriku. Ayah berjanji besok ayah akan kemari mengunjungimu lagi,” ucap sang Ayah, sambil memeluk putrinya itu.

“Ya, Ayah.”

Sepulangnya sang Ayah. Shazia pun banyak berbincang bersama Zihan, walaupun pembicaraan itu tak begitu lama terjadi. Tetapi Zihan begitu senang untuk mendengar perkataan Shazia dan Ayahnya.

Di sisi lain, Aynur tengah sibuk mengepel di lantai bawah. Ia sama sekali tak mendengar Shazia dan Zihan yang turun dari lantas atas. Ia terus saja mengepel sambil mendengarkan musik di telinga.

“Aynur!” panggil Shazia.

“Aynur!”

“Aynur..!”

“Ah, ya, ada apa Shazia? Maaf aku tak mendengarmu.”

“Aynur, aku hanya ingin memastikan saja, apakah persediaan daging dan ikan masih cukup banyak?”

“Yah, persediaan kita hampir habis. Tapi kau tenang saja Shazia, aku sudah menghubungi mereka untuk mengantarkan daging dan ikan besok” balas Aynur, sambil mengangkat ember perasan pel.

Aynur kemudian membuka pintu restoran, tanpa melihat ia begitu saja membuang air perasan pel tersebut ke depan pintu.

“Paman! Astaga, paman kau basah kuyup!”

“Apa, Zihan? Kau memanggilku Paman? Bibi, kau harus memanggilku dengan sebutan bibi, Zihan. Bukan paman!” ucap Aynur menegaskan.

“Aynur dia tidak memanggilmu, cobalah untuk menengok ke belakang, kau pasti akan tahu,” ucap Shazia dengan ekspresi yang sulit di jelaskan.

Aynur mengernyit, tak mengerti dengan sikap dua orang di hadapannya itu. Dengan malas ia menengok ke belakang, dan betapa terkejutnya ia setelah itu.

Ia segera berbalik dan dengan refleks menyembunyikan ember tersebut di belakang punggungnya

“Ya, Tuan. Apa yang bisa saya bantu untuk Anda?” tanya Aynur sambil tersenyum.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!