Keesokan harinya, Shazia membuka restorannya seperti biasa. Ia melayani dan menyambut pelanggan yang datang dengan baik, juga dengan senyum yang selalu terpampang jelas di wajahnya.
Tetapi walaupun begitu, Shazia tetap tak dapat menutupi rasa kekhawatirannya, sejak siang matanya tak lepas memandang ke arah pintu, ia sangat menunggu kedatangan Zihan.
“Ke mana perginya Zihan, biasanya di jam seperti ini dia akan datang ke restoran.”
Beberapa kali Shazia berdiri di depan pintu, tetapi tetap saja orang yang ia cari tak kunjung datang, bahkan sampai restoran tutup sekali pun, anak laki-laki itu tak terlihat batang hidungnya.
Setelah membersihkan meja dan dapur, Shazia pun duduk bersama Aynur di salah satu meja. Ia mencoba mengalihkan keresahannya dengan memainkan ponsel.
“Aynur, masakan yang kubuat dengan resep baru kemarin apa rasanya enak?”
“Kalau kau menanyakan pendapatku, maka aku akan menjawabnya dengan jujur, rasanya kurang enak. Kau seperti kekurangan beberapa bumbu di dalamnya.”
“Yah, penilaiannmu memang benar, aku memang lupa memasukkan beberapa bumbu ke dalamnya,” balas Shazia sambil memainkan kembali ponselnya.
Aynur yang melihat jelas keresahan Shazia pun mulai bertanya. “Tentang Zihan, apa yang terjadi dengannya kemarin Shazia? Kenapa dia bisa semarah itu padamu?”
“Kau tahu bagaimana anak-anak, terkadang mereka masih belum bisa mengontrol emosinya dengan benar. Dia marah padaku karna aku tak bisa datang ke acara kenaikan kelasnya.”
“Oh, jadi itu sebabnya dia berteriak nyaring padamu. Aku mendengarnya percakapan kalian, tampaknya dia benar-benar mengharapkan kehadiranmu, Shazia.”
“Aku tidak bisa sembarangan pergi ke sana, Aynur. Aku tidak ingin ikut campur terlalu dalam pada masalah mereka, karna jika apa yang kulakukan menyebabkan masalah besar bagi keluarga Zihan, bukankah itu sama saja dengan berakhirnya hubunganku dengan Zihan.”
“Ya, aku mengerti, Shazia. Tempat Zihan bersekolah itu kan sekolah elite, pasti tidak sedikit orang yang tahu tentang Zihan dan keluarganya, jika kau datang ke sana mengaku sebagai ibunya Zihan lagi maka itu akan membuatmu terkena masalah dengan keluarga Zihan.” balas Aynur.
Mendengar kata-kata Aynur, membuat Shazia semakin yakin mengurungkan niatnya untuk pergi. “Ya, itulah yang kutakutkan, aku ingin saja pergi, Tapi kehadiranku bisa saja membuat nama keluarga Zihan semakin buruk terdengar dan jelas hubunganku dengan Zihan pun akan berakhir.”
“Jujur saja aku tak ingin kehilangannya Aynur. Sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya ke restoran ini, aku merasa dia telah masuk ke dalam hidupku.”
“Aku senang dia berada di restoran ini, dia mengubah suasana di restoran dengan sifat dan tingkah lakunya, tawa dan senyumnya bahkan bisa membuatku kembali bersemangat, hingga lama-kelamaan aku pun jadi takut kehilangannya.”
Aynur pun mendesah kesal mendengar cerita Shazia. “Lagi pula Shazia itu salahmu sendiri, kenapa kau malah mengaku sebagai ibunya Zihan waktu itu?”
“Mau bagaimana lagi. Aku tak tahan dengan semua cacian yang dilontarkan ibu anak itu terhadap Zihan. Rasanya sakit sekali mendengar kata-katanya, apalagi ketika melihat raut wajah Zihan, aku tak bisa menahan diri.”
"Aku tahu perasaan sakitnya, Aynur. karna aku juga seorang anak tanpa ibu, dan tak sekali dua kali aku pernah berada di situasi seperti Zihan. Aynur."
Aynur menatap lekat wajah Shazia yang berbicara padanya, “Ya, jika aku ada di posisimu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Walaupun pada akhirnya wanita itu meminta maaf pada Zihan, tetap saja perkataannya cukup kasar.”
“Sudahlah, Aynur sekarang kita beralih topik saja,” balas Shazia yang tak ingin membahas lagi masalah tersebut.
“Tidak Shazia ini belum selesai, sekarang aku berubah pikiran. Jika kau benar-benar menyayangi Zihan maka pergilah ke acara kenaikan kelasnya, Shazia. Jangan patahkan semangatnya.”
“Tak usah pedulikan apa yang akan terjadi setelahnya, yang terpenting kau bisa datang ke sana, dia sudah menganggapmu seperti keluarganya sendiri Shazia, jangan patahkan harapannya.”
...****************...
Hari kenaikan kelas yang dinanti semua orang pun telah tiba, hari yang sangat menyenangkan bagi semua teman sekelasnya adalah hari yang paling buruk bagi Zihan.
Di meja makan, Zihan yang telah mengenakan seragam lengkap terlihat memakan sarapannya seorang diri, dikarenakan sang kakek dan neneknya telah pergi pagi-pagi buta untuk urusan mereka.
Tak lama, Taran dan Aslan datang, keduanya hanya mengambil berkas yang tertinggal di rumah dan akan kembali ke kantor.
“Zihan kau masih belum pergi ke sekolah?” tanya sang Ayah yang melihatnya masih duduk di meja makan.
Zihan tak sedikit pun menjawab.
“Zihan, ayah bertanya padamu,” ucap sang Ayah lagi ketika pertanyaannya tak digubris.
“Untuk apa papa peduli tentangku? Bukankah papa hanya peduli pada pekerjaan papa!”
“Pedulikan saja pekerjaan papa itu, tak usah pedulikan tentangku!”
“Sejak dulu papa hanya mementingkan pekerjaan papa, tak pernah sekalipun papa meluangkan waktu untukku!”
Dengan wajah cemberut Zihan turun dari kursi dan memasang tas ranselnya, ia begitu saja melewati sang Ayah dan berjalan keluar.
Taran yang melihat kelakuan putranya itu terdiam, tapi matanya menatap tajam setiap langkah Zihan.
“Zihan kau tidak pergi dengan sopir? Zihan, ayo, biar paman yang mengantarmu,” ucap Aslan yang hendak menyusul Zihan.
“Tidak perlu mengejarnya Aslan. Dia tidak akan mendengarkanmu di saat seperti itu.” Ucapan Taran seketika menghentikan langkah Aslan.
“Kau ingin membiarkannya menaiki angkutan umum sendirian? Dia putramu Taran, apa kau tak takut jika terjadi sesuatu padanya?”
“Justru karena dia putraku, dia tidak ingin mendengarkan siapa pun di saat marah. Biarkan dia, anak itu bisa menjaga dirinya sendiri.”
Aslan kehabisan kata-kata, tidak tahu harus menjawab apa pada saudara sepupunya yang tak dapat dimengerti cara berpikirnya itu.
“Sekarang ayo kita pergi, sebentar lagi rapat akan dimulai.” Perintah Pria itu pun membuat Aslan melanjutkan langkahnya untuk keluar.
Setelah menggunakan angkutan umum sampailah Zihan ke sekolahnya, ia melangkahkan kakinya menuju gedung sekolah, di mana kemegahan dan kemewahan acara telah terlihat dari luar gedung.
Ya, hal itu karna sekolah yang di tempati Zihan untuk menuntut ilmu adalah sekolah elite swasta, di mana para sisanya adalah anak-anak pejabat dan konglomerat.
Hak itu semakin membuat malas Zihan untuk masuk ke dalam gedung acara, kakinya terasa berat menuju kursi yang bertuliskan namanya.
“Hai Zihan, kenapa kau datang terlambat? Ayo cepat duduklah di kursimu, acaranya akan segera dimulai,” ucap salah satu teman sekelas Zihan.
Dengan wajah tanpa semangat anak itu mengangguk, “Ya, aku akan segera duduk.”
Dan benar saja, tak lama acara di mulai, semua siswa tampak bersemangat menantikan siapa 10 siswa terbaik dari seluruh kelas tahun ini.
Untuk pembukaan acara, para siswa dan orang tua di suguhkan dengan nyanyian tim paduan suara dan tarian dari kelas menari.
“Baiklah, pertama-tama saya ucapkan terima kasih pada Tuan dan Nyonya yang telah hadir dan menikmati serangkai acara yang kami suguhkan. Kini tiba saatnya bagi kita untuk mengumumkan 10 siswa terbaik tahun ini.”
“Saya sebagai kepala sekolah, akan mengumumkan dan memanggil satu-persatu siswa untuk naik ke atas panggung,” sambung wanita paruh baya itu di atas podium
Nama para siswa terbaik pun mulai di panggil ke podium, mereka naik bersama para orang tuanya, dengan wajah bangga memasangkan pin di baju putra putri mereka. Pemandangan tersebut membuat Zihan begitu iri, betapa mereka bisa pergi bersama para orang tuanya.
“Sekarang saya akan mengumumkan nama siswa dengan perolehan nilai paling tinggi, ialah ... Zihan Savas, harap orang tua siswa mendampingi putranya untuk naik ke panggung!”
Perkataan sang kepala sekolah, tentunya membuat Zihan terperangah, ia tak menyangka bahwa kerja kerasnya selama ini bisa membawanya menjadi seorang siswa dengan nilai paling tinggi.
Untuk sesaat Zihan begitu senang, tetapi ketika sang guru mengulangi perkataannya agar Zihan segera maju, membuatnya tersadar jika ia hanya seorang diri tanpa sang Ayah.
Dengan langkah ragu-ragu Zihan naik ke atas panggung, semua orang memberikan tepuk tangan meriah untuknya.
“Selamat untukmu Zihan, kau menjadi siswa terbaik tahun ini!” ucap sang kepala sekolah sembari mengambil pin dari baki.
Aktivitas wanita itu terhenti, kala melihat Zihan naik seorang diri ke atas panggung. “Zihan, di mana kedua orang tuamu? kau harus memanggil mereka untuk memasang pin milikmu,” tanya sang kepala sekolah sambil melirik ke bangku para tamu.
Pertanyaan itu sontak membuat para orang tua murid saling berbisik.
‘Astaga tidakkah kepala sekolah itu tahu tentang bagaimana keluarga Savas?’
‘Bukankah Ayahnya sangat terkenal, bagaimana kepala sekolah tidak tahu tentang latar belakang anak itu.’
‘Tapi keluarga Savas sungguh keterlaluan, ini kan acara penting bagi putranya, kenapa tak satu pun dari anggota keluarga mereka yang datang?’
‘Kepala sekolah tampaknya benar-benar ingin mempermalukan anak itu.
‘Diakan lahir tanpa ibu dan ayahnya sibuk bekerja, tampaknya tidak ada yang peduli pada anak har*am itu.’
Bisikan itu tentu terdengar oleh Zihan, ia merundukkan wajahnya.
“Zihan, di mana ayah atau ibumu, Nak, apa mereka tidak datang?” tanya sang kepala sekolah itu lagi.
“Maaf, bu, orang tuaku sib—“ Perkataan Zihan terhenti kala mendengar teriakan seseorang.
“Di sini! Aku ibunya!” Teriakan Shazia sontak membuat semua orang terdiam dan melirik ke arahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
LISA
Shia dtg di saat yg tepat 👍
2022-11-20
0
Reny Saputro
semangat
2022-11-13
2