Siang yang cerah tengah menyinari kota, Erhan terlihat datang ke restoran, untuk makan siang. Ia menemui putrinya yang tengah senggang bekerja.
“Ayah, selamat datang!” sapa Shazia.
“Ya, putriku bisakah ayahmu ini makan siang di sini?”
“Tentu saja, apa yang membuat Ayah berpikir aku tak mengizinkan?”
Erhan tertawa kecil “Ya, Ayah hanya bercanda, Shazia.”
Shazia pun mengarahkan sang Ayah untuk duduk di salah satu meja kosong. “Ayah, duduklah di sini, aku mengambilkan makanan untukmu,” ucap Shazia.
“Ya, Putriku. Dan bisakah kau makan bersama, Ayah?”
Shazia tersenyum simpul, “Tentu, Ayah, lagi pula restoran tengah sepi. Ayo, kita makan bersama.”
Setelah menyajikan menu makan siang di atas meja, Shazia pun duduk di kursi yang berseberangan dengan sang Ayah. Saat Erhan mulai menyantap makannya, ia menatap Shazia yang terdiam
“Ada apa, Shazia? Kenapa kau tak makan?”
Mata Shazia pun teralih pada sang Ayah, “Ah, tidak papa, Ayah. Aku tiba-tiba merindukan Zihan.” jawabnya.
Tak lama setelah Shazia membicarakannya, Zihan telah datang. Ia mengucap salam pada dua pramusaji yang di temuinya, dan berakhir ke meja Erhan dan Shazia.
“Selamat siang, kakek. Aku Zihan lama tak berjumpa denganmu, Kakek.” Sambil mencium lengan Erhan dan Shazia.
Erhan terkekeh, “Lihat Shazia, orang yang kau rindukan datang.”
“Dan anak ini begitu sopan, dia tahu caranya bersikap,” puji Erhan.
“Zihan kau datang di jam begini? Kau tak sekolah?”
“Hari ini pulang lebih awal, karna guru melakukan pertemuan,” jelas Zihan.
“Oh, bibi pikir kau tak sekolah. Apa Zihan lapar?”
“Shazia, Kenapa kau bertanya seperti itu, dia datang kemari di jam istirahat, tentu saja dia lapar. Ayo, duduklah, di sampingku, kita makan bersama,” ajak Erhan.
Zihan pun duduk di samping keduanya, ia menikmati makanan yang tersaji di atas meja. Di tengah keheningan itu, Shazia membuka pembicaraan.
“Ayah, sebentar lagi kan hari ulang tahunmu, apa yang ingin kau minta sebagai hadiah? Jam tangan, minyak rambut mujarab, setelan jas baru, atau apa pun itu sebutkan saja, Ayah.”
“Kau yakin Shazia?” tanya sang Ayah meyakinkan.
“Ya, ayah tentu saja, apa yang tidak bisa kubeli untukmu?”
“Yah, permintaan ayah sederhana. Ayah hanya ingin...”
Mata Shazia semakin lekat menatap sang Ayah, menanti jawaban yang keluar dari mulut Erhan.
“Menimang seorang cucu,” jawab Erhan sambil mengayunkan lengannya seperti menimang bayi.
Seketika Shazia terbatuk, membuat Aynur yang berada di dekat mereka tertawa.
“Ayah, aku menikah saja belum, dan ayah sudah meminta seorang cucu?” Protes Shazia.
“Justru itu, Ayah ingin kau segera menikah, usiamu itu sudah menginjak kepala tiga. Sampai kapan kau akan terus sendiri dan hanya fokus pada restoranmu saja?”
“Ayah, restoran sangat penting bagiku. Lagi pula kenapa tidak Ayah saja yang menikah? Jadi aku akan memiliki seorang adik nantinya,” balas Shazia.
“Apa, Shazia! Kau menyuruh Ayahmu yang sudah tua ini untuk menikah lagi? Tidak, hanya akan ada Esmeralda (Ibu Shazia) di hati Ayah.”
Jawaban Erhan lantas membuat Aynur dan Shazia tertawa. Sedang Zihan diam memperhatikan.
“Ya, Ayah. Esmeralda adalah perempuan tercantik, kau tak akan bisa melupakannya,” balas Shazia lagi.
“Ayah, jangan khawatir. Cepat atau lambat dia pasti akan menikah. Aku berani jamin, di ulang tahunmu yang berikutnya, Shazia akan menjadi wanita bersuami, ” ucap Aynur.
Erhan melirik Aynur, bingung dengan kata-kata Aynur yang begitu pasti “Apa yang membuatmu begitu yakin Aynur? Dia saja masih sendiri sampai sekarang.”
“Yah, hari ini mungkin belum, tapi seperti yang kukatakan cepat atau lambat dia akan menikah.”
“Aynur, dari pada aku, jangan-jangan kau yang lebih dulu menikah dan meninggalkan kami!” balas Shazia.
Percakapan ketiganya pun terus berlanjut, sampai waktu istirahat telah usai dan makanan di meja habis, Erhan pun pergi. Kini tersisa hannyalah Shazia yang sedang menyusun alat makan.
“Bibi, bisakah aku pergi ke lantai atas?” tanya Zihan yang baru saja meletakan piringnya ke pencucian.
“Ya sayang pergilah ke lantai atas. Bibi juga masih punya pekerjaan di sini,” jawab Shazia sambil memberikan tas Zihan padanya.
Mendapat izin dari Shazia, tanpa berlama-lama Zihan pun pergi ke lantai atas.
“Aynur, tumben sekali, ya, hari ini restoran sepi.”
“Kau tidak tahu, Shazia? Kantor Ayahnya Zihan meluncurkan produk baru, mereka membagikan makanan dan produk baru itu secara gratis untuk peluncuran pertamanya. Yang pergi ke sana dipastikan dapat tanpa membawa tangan kosong,” jelas Aynur.
“Berarti mereka mengadakan acara berskala besar. Tapi dari mana kau tahu berita itu?”
“Itu diberitakan di berita kota, lihatlah,” Sambil menunjukkan saluran berita di teleponnya.
“Yah, Shazia. Bukan hanya restoran kita saja yang sepi. Restoran lain pun juga sepi pelanggan,”
“Apa boleh buat, kalau begitu hari ini kita tutup lebih awal saja, Aynur,”
“Benarkah?”
“Ya, dan sampaikan juga pada yang lainnya,” balas Shazia sambil menyusun kursi.
“Oke, akan kukatakan pada yang lain,”
“Baiklah, kalau begitu aku akan pergi ke lantai atas. Jika butuh sesuatu, panggil saja,” ucap Shazia lagi.
“Ya, Shazia, pergilah. Serahkan saja semuanya padaku!” balas Aynur yang mulai membereskan meja.
Shazia mengangguk, ia pun melangkah pergi ke lantai atas. Di sana ia dapat melihat Zihan yang tengah membaca buku.
“Kau sedang membaca buku apa Zihan?” tanya Shazia yang telah berada di hadapannya.
“Aku sedang membaca buku dongeng tentang lebah, Bibi,” balas Zihan yang matanya tak lepas memandang gambar-gambar dalam buku itu.
“Oh, ya, Lalu kenapa wajahmu terlihat bingung begitu?”
“Aku penasaran. kenapa di buku ini para hewan bisa berbicara seperti manusia?”
“Oh, karena buku itu buku fiksi, tak nyata, dan dibuat sesuai imajinasi penulisnya. Juga cerita di buku ini termasuk cerita fabel.”
“Apa itu Fabel, Bibi?”
“Fabel, cerita di mana hewan menjadi tokoh utama dan berbicara selayaknya manusia,” jelas Shazia singkat.
Zihan menangguk tanda mengerti. Lantas merebahkan tubuhnya di karpet sambil membaca buku tersebut.
“Kau mengantuk Zihan? Pergilah ke atas ranjang bibi, jangan tidur di lantai seperti itu.”
“Benarkah? Bisakah aku tidur di ranjang bibi?”
“Ya, kenapa tidak. Ayo pergilah,”
Zihan segera berdiri, ia memasuki kamar Shazia dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Shazia yang berada di balkon pun menyusulnya, memperbaiki bantal dan selimut anak itu.
“Bibi,” panggil Zihan.
“Ya, ada apa, Zihan?”
“Aku masih tidak mengerti tentang dongeng ini, bisakah kau membacakannya untukku?” tanya Zihan sambil memberikan buku dongeng tersebut pada Shazia.
“Oh, cerita ini, padahal hampir setiap anak tahu tentang dongeng ini. Apakah ibumu tak pernah membacakan dongeng ini untukmu, Sayang?”
Mendengar pertanyaan Shazia, Zihan tersenyum hampa, “Aku tidak punya ibu, Bibi. Sejak lahir aku dibesarkan ayah.”
Seketika Shazia membeku, binar matanya meredup, seolah tak percaya apa yang di katakan Zihan.
“Bibi, bisakah kau memberi tahuku seperti apa kasih sayang seorang ibu itu?”
“Aku selalu penasaran bagaimana rasa cinta seorang ibu itu pada anaknya.”
Kata-kata Zihan membuat mulut Shazia membisu, ia mengubah posisinya ke samping Zihan, dengan lembut ia mengelus rambut anak itu.
“Zihan, maafkan Bibi. Sekarang tidurlah, biar bibi membacakan dongengnya untukmu,”
Zihan mengangguk, ia mulai mendengarkan Shazia membacakan dongeng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Miss.J
tangan lah bukan lengan
2023-08-10
0