“Atau Anda ingin memesan sesuatu di restoran ini?” tanya Aynur lagi
“Tidak, Nona. Saya tak membutuhkan semua itu, saya kemari untuk menjemput keponakan saya, bisakah?”
“Ya, tentu bisa. Saya akan segera memanggilnya.”
Aslan, pria tampan berambut klimis dengan mata biru laut dan hidung mancungnya itu adalah seorang paman sekaligus sekretaris Taran. Sosok pria tampan yang begitu menyayangi keponakannya.
Aynur kemudian memanggil Shazia dan Zihan yang berdiri di belakangnya, ketika kedua orang itu telah mendekat, Aynur secara diam-diam pergi dari tempatnya berdiri.
“Apa benar Anda Pamannya Zihan?” tanya Shazia meyakinkan.
“Ya, itu betul, Nona, saya kemari untuk menjemputnya.”
Shazia mengangguk, ia lalu menatap Zihan di sampingnya.
“Zihan, ayo, sekarang kemaslah barang-barangmu di atas, jangan sampai pamanmu menunggu lama.”
“iya, bibi,” balasnya sambil berlari menuju lantai atas.
“Maaf, jika keponakan saya banyak merepotkan Anda, Nona,” ucap pria tersebut membuka pembicaraan.
“Tidak, tidak sama sekali. Dia anak yang baik, kehadirannya sama sekali tak merepotkan.”
“Justru seharusnya saya yang meminta maaf pada Anda. Ya, bisa dibilang dia sedikit ceroboh,” balas Shazia yang meminta maaf atas perbuatan Aynur.
“Tidak, Papa, Nona. Lagi pula saya salah karna muncul tiba-tiba,”
Tak berapa lama Zihan kembali dengan tas ransel di punggungnya, ia menghampiri Shazia dan mencium tangannya. “Bibi, Zihan pulang, ya. Terima kasih sudah menerima Zihan,” ucap anak itu dengan suara khasnya
“Dan Bibi, bisakah aku datang lagi nanti?” tanya Zihan dengan wajah memelas.
Kali ini Shazia tetap dibuat gemas dengan tingkah lakunya, ingin sekali ia mencubit pipi Zihan yang tampak gembul itu.
“Tentu, Sayang. Kau bisa kemari lagi kapan pun yang kau inginkan, pintu restoran ini akan selalu terbuka untukmu.”
Zihan tersenyum lebar, menampilkan gigi putihnya yang berjejer rapi, ia berjingkrak senang dan menarik tangan sang paman untuk segera pulang.
“Baiklah Nona, kalau begitu saya permisi sekarang, terima kasih telah menjaga kemenakan saya.”
Shazia mengangguk, ia tetap menunggu di ambang pintu, sampai mobil yang dikendarai Zihan dan pamannya tak lagi terlihat.
“Zia!”
“Allah, Tuhanku!” kejut Shazia.
“Aynur! Kau ini, kenapa suka sekali mengejutkanku”
Aynur tertawa, “Maaf, Shazia, aku tak sengaja.”
“Oh, ya, bagaimana? Apa pamannya Zihan marah?”
Shazia menggeleng, “Tidak, dia sama sekali tak marah, tapi...”
“Tapi apa, Shazia? Jangan membuatku menunggu.”
“Tapi sikapmu itu yang membuatku kesal, bisa-bisanya kau mengendap pergi dan melemparkan masalahmu padaku!” sergah Shazia.
Aynur kembali tertawa, “Ya, maafkan aku Shazia, aku merasa takut sekaligus khawatir jika dia meminta pertanggungjawaban.”
“Yah, tapi tetap saja kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu,” balas Shazia.
Setelah beres membersihkan restoran, Shazia pergi ke lantai atas. Di sana, pandangannya langsung tertuju pada sebuah kotak berwarna merah di atas meja. Ia mengernyitkan alis, lantas mendekat mengambil kotak tersebut, di atasnya tertulis nama Shazia, itu dari Zihan.
Tak butuh waktu lama, Shazia membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat surat dan sebuah kalung berukir nama dirinya.
‘Bibi, apa kau menyukai hadiahku? ini hadiah dariku karna bibi dengan tulus membantuku. Terima kasih Bibi, dan Oh, ya, jangan terlalu keras bekerja, ya. Selain restoran, bibi juga harus memperhatikan kesehatan bibi’
Membaca surat tersebut membuat Shazia berkaca-kaca, meski ia baru mengenal sosok Zihan, tetapi sifat dan tingkah lakunya itu membuat Shazia seolah telah lama mengenalnya.
...****************...
Seperti hari sebelumnya, sepulang sekolah Zihan langsung pergi menuju restoran Shazia. Di sana ia melihat sekitar, restoran masih ramai dengan orang yang datang silih berganti. Ada keraguan di benak Zihan untuk masuk. Ia takut kedatangannya menyusahkan sang bibi.
Pintu tiba-tiba terbuka, seorang wanita menyambutnya dengan senyum bahagia. “Zihan, sayang. Kau sudah datang, Nak.”
“Bibi!”
Zihan berlari ke arahnya, ia memeluk erat Shazia. Shazia lantas membalas pelukan Zihan, dan membawa anak itu masuk ke dalam restoran.
“Ayo, masuklah Zihan. Hari ini bibi akan mengenalkan kamu pada orang-orang yang bekerja di restoran, kau belum mengenal mereka kan?”
Zihan menggeleng, ia mengikuti Shazia yang memegang erat tangannya.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di perusahaan besar milik keluarga Savas, seorang pria terlihat sibuk dengan banyak berkas di mejanya. Raut wajahnya terlihat serius, memeriksa lembar demi lembar kertas tersebut. Sedang di sampingnya, ada Aslan yang selalu setia menunggu.
“Aslan, apakah Zihan sudah pulang?” tanya Taran membuka percakapan.
“Belum, tadi dia meneleponku, katanya ia ingin pergi mengunjungi restoran.”
Mendengar jawaban Aslan, Taran menghentikan aktivitasnya, ia menatap Aslan untuk meminta penjelasan lebih.
“Apa dia ke tempat wanita itu lagi?”
Aslan mengangguk
Taran mendengus kesal, “Aku tak habis pikir dengan kelakuannya, bagaimana dia bisa begitu dekat, dengan orang asing yang baru dikenalnya?”
Aslan yang melihat kerisauan saudara sepupunya itu pun tersenyum kecil, “Tenang saja, Taran, aku telah menyelidiki latar belakang Nona itu, dia orang yang baik.”
“Bukan itu yang kurisaukan, aku hanya tidak ingin dia begitu dekat dengan orang asing dari pada dengan ayah kandungnya sendiri, Aslan.”
Tiba-tiba pintu terbuka, tanpa mengetuk pintu seorang pria tua datang menghampiri keduanya, ia lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Taran.
Sosok lelaki tua itu tak lain adalah ayah kadung Taran, Derya Selim Savas, itulah namanya. Sosok yang selalu menghawatirkan anak dan cucunya tanpa menghawatirkan dirinya sendiri.
“Ayah, apa yang membuatmu datang kemari?”
“Aku ingin menjemput cucuku kesayanganku, tapi dia tidak ada di sekolah, apa dia bersamamu? “
“Dia tidak bersamaku, dia pergi bermain,” balas Taran.
“Bermain? Ke mana?”
“Zihan pergi mengunjungi seorang wanita pemilik restoran yang letaknya tak begitu jauh dari sekolahnya, Paman,” jelas Aslan.
“Apa! Benarkah?”
Aslan mengangguk.
Sang ayah menghela nafas, ia menatap ke arah Taran yang telah melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Itulah sebabnya kau harus segera menikah, Taran. Agar setidaknya putramu memiliki sosok ibu yang bisa mendidiknya.”
“Selama dia memiliki seorang ayah dan tak kekurangan apa pun. Dia tak membutuhkan sosok ibu di dalam hidupnya, Ayah.”
“Itu menurut pendapatmu, Taran. Pernahkah kau bertanya padanya?”
“Jika tak ada hal penting yang dibicarakan lebih baik kau pulang, Ayah. Kau harus menjaga kesehatanmu, jangan memikirkan hal yang membuatmu jatuh sakit.”
“Ayah hanya ingin kau bahagia, Taran. Jangan terpaku pada masa lalu.”
“Tidak mudah untuk melupakan masa lalu, Ayah. Hidupku sudah cukup dengan kehadiran Zihan. Jangan terlalu menghawatirkan kami!”
“Baiklah, mungkin saat ini kau menolak. Tapi ayah pastikan cepat atau lambat kau akan menikah dengan gadis yang ayah pilihkan untukmu!” Derya langsung beranjak dari tempatnya dan meninggalkan ruangan Taran.
Taran tak menggubris hal tersebut, ia tetap acuh pada pekerjaannya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments