Mendapat pertanyaan tersebut, Shazia melirik ke arah Zihan, lalu melirik kembali ke arah kepala sekolah. “Ya, saya orang tuanya, Zihan. Bisakah saya tahu masalah apa yang terjadi dengan Zihan?”
“Anda masih bertanya setelah apa yang dilakukannya?” ucap Ibu Altan
“Anak Anda memukul putra saya tanpa alasan, dia anak penindas!” teriaknya.
“Huh, pantas saja! anak itu kan tak punya ibu. Jadi wajar saja dia tumbuh menjadi anak penindas!”
Mendengar perkataan ibu Altan, Zihan mengepalkan lengannya, ia menunduk, mencoba mengendalikan rasa marah dalam dirinya. Shazia yang melihat Zihan seperti itu, menatap tajam pada wanita di hadapannya.
“Tolong jaga perkataan Anda, Nyonya. Saya ibu dari anak yang Anda tunjuk, perkataan Anda itu benar-benar tak sopan.”
“Hah, siapa yang tak tahu jika anak itu lahir tanpa ibu, dan Anda datang kemari mengaku sebagai ibunya, siapa yang akan percaya hal itu?”
“Anda tahu apa tentang keluarga kami, ha? Jika Anda hanya tahu lewat media, maka saya tegaskan media dan dunia nyata itu jauh berbeda, Nyonya.”
“Jadi berhati-hatilah dengan kata-kata Anda yang dapat menyinggung orang lain, apalagi menyangkut-pautkan masalah yang tak ada hubungannya.”
“Harap agar kedua orang tua siswa dapat tenang, supaya tidak ada kesalahpahaman di sini, maka kita akan mendengar awal mula pertengkaran ini bisa terjadi,” ucap sang kepala sekolah menengahi.
Di ruangan kepala sekolah itu, dua orang siswa lainnya di datangkan untuk menceritakan apa yang terjadi sebelumnya. Dengan jujur dua orang siswa itu menceritakan awal pertengkaran yang membuat wajah ibu Altan terlihat masam.
Shazia mendekat ke arah ibu Altan, “Dengarlah, Nyonya, apa yang putra Anda lakukan, justru terbalik bukan?”
“Hanya satu yang bisa saya sampaikan pada Anda, berhati-hatilah dalam berbicara, anak mungkin bukan pendengar yang baik, tapi mereka peniru yang andal, Nyonya.”
Shazia beralih menatap Altan, ia berjongkok di hadapan anak yang ketakutan itu dan dengan suara lembut mengajukan pertanyaan padanya.
“Altan, namamu Altan kan? Bisakah bibi bertanya padamu alasan kau mengganggu Zihan selama ini? Altan jangan takut, asalkan Altan mau menjawab dengan jujur, bibi tidak akan marah,”
“A-aku hanya ingin be-berteman dengannya,” jawab Altan terbata-bata.
“Berteman?”
“Ya, sejak awal aku ingin sekali berteman dengannya, sama seperti aku berteman dengan anak-anak lain. Tapi, setiap aku mengajaknya bermain, dia selalu menolak dengan kata-kata yang menyakitkan, dan aku tidak suka itu, Bibi,”
“Aku jadi iri karna dia selalu menjadi pusat perhatian, aku iri karna dia tidak pernah mau berteman, dan aku jadi kesal padanya, itulah alasan kenapa aku seperti itu padanya,” ucap Altan sambil menangis.
Zihan yang mendengar jawaban Altan berjalan perlahan mendekati anak itu.
“Aku tidak pernah tahu jika kau ingin berteman denganku Altan, aku pikir semua yang kau lakukan itu karna kau tak suka padaku.”
Zihan mengangkat lengannya ke depan Altan, “Maukah kau memaafkanku Altan? dan bisakah mulai sekarang kita berteman?”
Altan mendongak, ia menatap lekat Zihan dan merima jabatan tangan itu. “Maaf Zihan, maaf selama ini aku selalu mengganggumu,” balas Altan.
Zihan mengangguk, keduanya berpelukan, membuat Shazia yang melihat itu tersenyum. Begitu pula dengan ibu Altan, tak terlihat lagi amarah atau wajah kesal dalam dirinya.
“Baiklah, Zihan, Altan, bisakah kalian berdua menunggu di luar? Ada yang harus ibu bicarakan dengan kedua orang tua kalian.”
“Baik, Bu,” balas Zihan yang menggandeng lengan Altan dan keluar berdampingan.
Di ruangan itu, kepala sekolah pun menjelaskan alasannya memanggil keduanya kemari, dan menyelesaikan sisa permasalahan yang terjadi.
“Jadi, karna mereka berdua bisa menyelesaikan masalahnya, saya tidak jadi memberikan skorsing pada Zihan dan Altan. Tapi tampaknya hari ini mereka berdua harus pulang lebih awal.”
“Juga untuk lebam pada wajah Altan, Anda jangan khawatir Nyonya, karna di sekolah ini sudah di lengkapi dengan fasilitas kesehatan, Anda bisa mengambil obat yang sudah diresepkan dokter di sini.”
“Saya berharap dari kejadian ini, kedua orang tua bisa lebih memperhatikan anak-anaknya, dan menerapkan pola asuh yang benar.”
Setelah perbincangan panjang, terlihat Shazia dan ibu Altan keluar dari ruangan.
“Saya minta maaf atas apa yang saya katakan pada Anda, saya mudah tersulut emosi,” ucap Ibu Altan.
“Tidak, papa. Saya tak masalah akan hal itu, Nyonya,”
Keduanya pun menghampiri Zihan dan Altan.
“Kalau begitu saya dan Altan harus pergi sekarang, sekali lagi saya minta maaf,”
“Zihan, bibi minta maaf atas perkataan bibi, bibi harap kau tak mudah tersinggung,”
Shazia yang mendengar itu sedikit terkejut, alisnya terangkat. Ia pikir orang di hadapannya itu adalah wanita sombong, dan arogan yang bahkan tak mudah untuk meminta maaf apalagi dengan anak kecil.
Aku pikir dia wanita sombong, tapi ternyata ... itu tak seperti yang aku pikirkan. Shazia
Zihan mengangguk pelan, “Ya, bibi, tidak papa.”
“Baiklah, kami permisi sekarang,” ucap sang ibu sembari menggenggam lengan putranya.
Altan kemudian melambaikan tangannya pada Zihan, “Sampai berjumpa lagi, Zihan, terima kasih.”
Zihan membalas lambaian tangan Altan, ia dan Shazia tetap berdiri di tempatnya melihat kepergian ibu dan anak itu.
Di saat yang tersisa hanya keduanya, Shazia pun berjongkok di hadapan Zihan yang wajahnya masih terlihat murung, ia sangat mengerti akan perasaan Zihan
“Tidak papa sayang, ada bibi di sini,” ucapnya sembari memperbaiki rambut Zihan.
“Bibi, maaf aku menyusahkanmu, Bibi pasti tergesa-gesa kesini kan? Sampai lupa melepaskan celemek Bibi.”
Shazia melihat celemek yang ia kenakan dan tertawa setelahnya, “Ya, setelah mendapat telepon, bibi langsung ke sini.”
“Baiklah sekarang anak pintar tidak boleh bersedih. Ayo, kau ingin ikut bibi ke restoran tidak? Kata kepala sekolah kalian berdua pulang lebih awal hari ini.”
“Ya, Bibi aku mau, tapi sebelum itu bisakah aku memelukmu, Bi?”
“Tentu, kemarilah,” balas Shazia sambil membuka lengannya dan tersenyum lebar.
Zihan memeluk Shazia kemudian, entah mengapa ia tak bisa menahan tangisnya, ia merasa sangat bahagia bahwa ada orang yang mau mengerti tentang dirinya.
“Jangan menangis, Zihan. Bibi akan selalu menjagamu, dan tak akan membiarkan kau merasa kesepian,” sambil berdiri dan langsung menggendong Zihan yang ada di pelukannya.
“Ayo, kita ambil tasmu, lalu pergi ke restoran!”
Sesampainya di restoran, Zihan memegang erat lengan Shazia, saat pintu restoran terbuka, Aynur segera datang menghampiri.
“Bagaimana Shazia, semua baik-baik saja?”
Shazia menangguk, “Semua berjalan baik, hanya saja...” Manik mata Shazia menunjuk ke arah Zihan.
Aynur yang mengerti, mengalihkan pandangannya ke arah Zihan, ia berjongkok di hadapannya “Zihan, kau masih sedih? Jangan bersedih, sayang. Lihat, di sini ada bibi Shazia, bibi Aynur, bibi Esra, bibi Gona, dan bibi yang lainnya,”
“Oh, iya, dari pada Zihan bersedih, maukah Zihan membantu bibi?”
“Membantu apa, Bibi?”
“Membantu bibi Shazia mengantarkan pesanan para pelanggan, kasihan bibi Shazia dia kewalahan mengurus restoran,” ucap Aynur.
“Aynur jangan menyu—“
Belum sempat Shazia menyelesaikan kata-katanya, Zihan langsung menyela. “Iya, Bibi. Aku mau, aku sangat ingin membantu kalian, selama ini aku hanya bisa melihat tanpa membatu,” ucap Zihan dengan mata berbinar.
Aynur tertawa kecil, “Bagus, kau memang anak pintar Zihan!”
“Bibi Shazia bolehkan aku membantu kalian?” tanya Zihan dengan wajah memelas pada Shazia.
Jurus yang tak mungkin bisa Shazia tolak meski beberapa kali pun ia berusaha, melihat wajah Zihan yang mengemaskan selalu membuatnya setuju.
Jangan Shazia, katakan jangan, jangan biarkan kau menyetujuinya. Shazia
“Ya, kau boleh membantu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments