Taran yang berhasil mendapatkan kesepakatan kerja datang menghampiri Shazia dan Zihan. Ia berniat untuk membawa pulang dua orang yang tengah asyik menikmati acara itu.
“Zihan, ayo pulang. Kita sudah lama berada di sini. Dan nona Shazia apa kau ingin ikut?”
“Tidak usah, aku membawa kendaraan sendiri,” balas Shazia.
“Papa aku akan pulang bersama mama, papa pulang sendiri saja.”
Taran terdiam, alisnya berkerut ketika Zihan menyebut kata ‘mama'. “Siapa yang kau sebut dengan panggilan mama, Zihan?”
Zihan hanya diam tapi manik matanya melirik ke arah Shazia.
“Zihan ayah tak pernah mengajarkanmu memanggil orang lain dengan sembarangan seperti itu,” tegur sang Ayah
“Tidak papa, aku tidak masalah dia memanggilku seperti itu, dia senang dan aku pun juga senang,”
“Bukan itu masalah—“
“Ya, aku tahu, orang lain atau mungkin kau bisa berpikiran jika aku mendekati Zihan seperti ini hannyalah sandiwara untuk mendapatkan harta keluarga Savas kan?”
“Tidakkah kau tahu masalah apa yang akan terjadi nantinya—“
Pembicaraan Taran terhenti, kala Iskander kembali datang membawa keluarganya.
“Tuan Savas saya ucapkan selamat atas keberhasilan putra Anda, dia benar-benar berbakat bisa menjadi siswa terbaik.”
“Terima kasih tuan Iskander.”
“Oh, ya, saya juga ingin mengenalkan istri dan putra saya pada keluarga Anda.”
“Istriku dia adalah Tuan Savas, pemilik dari perusahaan tempatku bekerja sama.”
“Tuan Savas, ini adalah istri dan putra saya.” Sang istri yang ditunjuk pun memberi salam pada Taran dan Shazia, begitu pula dengan putra Iskander.
Iskander menatap Shazia yang berdiri di samping Taran.
“Apa wanita yang berdiri di samping itu benar istri Anda?”
“Tida—“
“Ya, paman dia ibuku,” balas Zihan cepat menyela perkataan sang Ayah.
Iskander tertawa kecil, “Saya tak menyangka jika Anda sudah menikah, tuan Taran. Sungguh itu benar-benar berbeda dari rumor yang selama ini terdengar,” ucap Iskander lagi.
“Iya, apalagi istri Anda sungguh cantik. Saya sangat kagum ketika istri Anda naik ke atas panggung, sungguh sangat elegan dan memukau. Anda berdua sangat cocok,” ucap istri Iskander menambahi.
Mendengar itu Shazia dan Taran saling menatap, lalu saling membuang muka.
“Baiklah kalau begitu kami permisi Tuan Savas, maaf telah mengganggu waktu Anda.”
“Tidak papa Tuan Iskander, senang bisa bekerja sama dengan Anda.”
“Kami permisi Nyonya Savas, senang bisa berkenalan dengan wanita baik dan cantik seperti Anda,” ucap Istri Iskander.
“Anda terlalu memuji, Anda bahkan tak kalah cantik dan menawan, Pantas saja Tuan Iskander tak pernah berpaling dari Anda.” Ucapan Shazia mengundang tawa suami istri yang bahagia itu.
“Baiklah-baiklah kami permisi sekarang.”
Keluarga Iskander pun memberi salam, begitu pula dengan ketiganya yang membalas salam perpisahan tersebut.
“Kau lihat apa yang terjadi, banyak orang yang salah sangka terhadap kita, mereka tak hanya menganggapmu sebagai ibunya Zihan,” bisik Taran.
“Aku tak peduli, lagi pula aku tak akan bertemu dengan mereka lagi,” balas Shazia tak ingin kalah berdebat.
“Itu menurutmu, dan ini baru permulaan dari pernyataanmu, nona Shazia. Aku tidak tahu apa yang kau katakan di gedung aula, tapi kuharap kau tak menyesal.”
“Demi Zihan, aku tak akan menyesal sedikit pun tuan Taran.”
“Kenapa kau selalu ikut campur masalah putraku, Nona Shazia?”
Keduanya saling menatap sengit, tetapi Zihan menghentikan mereka.
“Mama, Papa berhentilah bertengkar, lihatlah ada orang yang ingin datang menghampiri kita.”
Kedua orang itu pun saling membuang muka.
“Benar bahwa ini keluarga Savas?” tanya seorang fotografer sembari memeriksa kertas berisi nama-nama siswa yang akan difotonya.
Zihan mengangguk, “Benar, paman”
“Baiklah kalau begitu kita mulai saja sesi fotonya,” ucap sang fotografer sambil menyiapkan kamera.
“Tuan, Nyonya, kenapa kalian diam saja? Ayo atur posisi!” pinta sang juru kamera.
Shazia pun mengambil posisi berdiri di samping kiri Zihan, sedangkan Taran berdiri di samping kanan.
“Nyonya tolong sedikit bergeser ke samping suami Anda, jika terlalu jauh seperti itu Anda tidak akan masuk ke frame.”
Sang juru kamera tampak kesal melihat sikap kaku tiga orang di hadapannya, “Nyonya sedikit lagi, sedikit mendekat ke suami Anda.”
‘Cekreek....!’ Kamera mulai memotret.
“Nyonya, Tuan, kalian benar-benar sepasang suami istri kan?” tanya sang fotografer lagi ketika tak puas melihat hasil potretnya.
“Benar paman, mereka Ayah dan ibuku,” balas Zihan dengan cepat.
Sang fotografer yang merasa kepalanya mulai berdenyut, akhirnya turun tangan, ia mengatur Shazia dekat dengan Taran dengan tangan kirinya memegang bahu Zihan.
“Nah, itu sempurna, sekarang untukmu Zihan, tolong tunjukan piala dan piagammu ke arah kamera.”
“Benar sekali, itu sangat sempurna!”
“Dan untuk Anda, Tuan, tolong letakan tangan Anda di pinggang istri Anda.”
Taran yang mendapat arahan tersebut tak serta-merta menuruti, ia memegang bahu Shazia sebagai gantinya.
Tepat ketika tangan Taran menyentuh bahunya, Shazia seketika merinding, dan jantungnya pun mulai berdegup tak karuan.
kenapa jantungku berdegup kencang seperti ini, Shazia jangan gugup dia hanya memegang bahumu. Shazia.
“Tuan, sudah saya katakan, di pinggang istri Anda—“
Tatapan dingin nan tajam dari Taran membuat sang juru kamera terdiam, membuatnya tersenyum paksa ke arah Taran, dan akhirnya mulai memotret. “Baiklah Tuan, pertahanan pose Anda.”
‘Cekreek...!’
“Oke, ini sempurna. Kalau begitu saya permisi keluarga Savas, dan untuk hasilnya pihak sekolah akan membagikannya pada masing-masing murid nanti.”
Shazia dan Zihan pun mengiyakan. Setelah kepergian juru kamera itu, Taran pun memutuskan untuk pergi.
“Zihan kau ingin ikut bersama nona Shazia?”
“Iya, Papa, aku ingin pergi bersama Mama.”
Beberapa kali pun Taran mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Zihan, ia tetap tak terima putranya memanggil orang lain dengan sebutan mama.
Padahal aku yang mengurus dan membesarkanmu, tapi dengan mudahnya kau menganggap orang lain sebagai orang tuamu, Zihan. Taran
“Baiklah, ayah akan kembali ke kantor, jika ada apa-apa telepon saja.”
Zihan mengangguk, “Iya papa.”
“Zihan kau ingin ikut bibi jalan-jalan?”
“Jalan-jalan, tentu saja!”
“Baiklah ayo!”
Setelah kepergian Taran, keduanya pun meninggalkan tempat. Dengan motornya Shazia mengajak Zihan berjalan mengitari kota, juga menikmati es krim dan jajanan ringan sembari melihat pemandangan senja dari pinggir danau.
“Kau senang Zihan?”
“Aku senang sekali! Bahkan aku sangat bahagia, mama. Aku akan selalu mengingat bahwa hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku,” balas Zihan dengan mata berbinar menatap Shazia.
Shazia tersenyum senang mendengarnya, ia mengelus kepala Zihan. “Kau selalu pandai dalam mengambil hati seseorang.”
“Mama, maukah mama berjanji padaku?”
“Tentang apa?”
“Maukah mama berjanji bahwa mama tidak akan meninggalkan Zihan bahkan jika nanti papa menikah dengan orang lain.”
“Tentu saja, Sayang. Selama Papamu masih mengizinkanmu untuk bermain ke restoran bersama mama. Mama tidak akan meninggalkanmu, mama akan selalu berusaha untuk jadi ibu terbaik untukmu,” balas Shazia sambil memegang erat lengan Zihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Reny Saputro
semangat
2022-11-18
0
ossy Novica
Zihan bahagia sekali karna Ahazia mau jadi mamanya meski sang papa tak terima
2022-11-17
1