Shazia menuruni anak tangga, ia melihat sekitar, benar seperti yang dikatakan Aynur, restoran telah tutup dan semuanya sudah dibersihkan. Shazia pun melanjutkan langkahnya, ia menemui Aynur yang tengah duduk bersantai memainkan telepon pintarnya.
“Ada apa Shazia? Kenapa kau datang kemari?” tanya Aynur tanpa menoleh.
“Hm, bisakah aku bertanya sesuatu padamu, Aynur?”
“Tentu, memangnya apa yang ingin kau tanyakan?”
“Itu, b-bisakah kau memberi tahuku tentang ayahnya Zihan?” tanya Shazia terbata-bata.
Aynur seketika menoleh mendengar perkataan Shazia, matanya berbinar menatap sahabatnya dengan penuh senyum.
“Apa, aku tak salah mendengar kan?”
“He, Aynur. Pelankan suaramu, Zihan sedang tidur di atas,” tegur Shazia.
“Ya, baiklah, aku mengerti. Jadi apa yang ingin kau tahu dari ayahnya Zihan?” tanya Aynur yang tak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya.
Shazia mengambil tempat duduk di dekat Aynur, ia mulai menceritakan apa yang terjadi di lantai atas.
“Jadi benarkah bahwa pria itu ... maksudku Zihan tidak punya ibu, ya maksudku—“
“Ya, ya, aku mengerti apa yang kau bicarakan, makanya sekali-kali kau harus melihat berita hangat di negeri ini, Shazia. Bukan hanya resep masakan saja,” sela Aynur.
“Bukan hanya di kota ini saja dia terkenal, tapi di satu negara ini akibat karismatik dan ketampanannya,”
“Banyak yang bilang wajahnya itu begitu menjual untuk menjadi seorang aktor dari pada pengusaha,”
“Aynur tolong jawab pertanyaan yang kuajukan saja, jangan ceritakan yang lain,” balas Shazia.
“Baiklah, Shazia, yang dikatakan Zihan itu benar, sejak lahir anak itu tak punya ibu. Bisa dibilang, ayahnya melakukan hubungan satu malam dengan seorang wanita,”
“Singkatnya, sampai saat ini belum ada kabar kapan Tuan Taran itu menikah, banyak yang bertanya-tanya tentang Zihan, dia benar-benar putra kandungnya atau hanya putra angkat,”
“Tentu saja, tuan Taran menepis hal itu dia dengan tegas menegaskan Zihan sebagai putra kandungnya.”
“Seorang pembawa acara pernah menanyakan hal itu, Tapi tuan hanya membalas singkat, kalau ibunya Zihan pergi untuk mengejar kariernya,”
“Ya, tuan Taran tak pernah melibatkan anggota keluarganya untuk masuk pemberitaan media, jadi tidak banyak informasi yang didapatkan tentang keluarganya.”
“Makanya aku begitu terkejut mengetahui Zihan putra kandungnya tuan Taran.”
“Oh, iya, banyak juga rumor yang mengatakan kalau tuan Taran sampai saat ini masih belum menikah, karna dia masih menunggu kedatangan ibu kandung Zihan, bisa dibilang dia mencintai wanita itu,”
Mendengar penjelasan Aynur, rasa iba akan Zihan muncul di benak Shazia. Hanyut dalam pikiran, Shazia tak memperhatikan lagi apa yang dikatakan Aynur.
“Hei, Shazia. Kau mendengarku atau tidak?”
Shazia tersentak, “Ah, Ya, Aynur, aku dengar. Rasanya benar-benar bersalah mengatakan hal itu padanya,” keluh Shazia.
“Hmm, tidak papa Shazia. Kau kan tidak tahu, lagi pula Zihan kan begitu dekat denganmu,”
“Baiklah, Aynur. Aku ingin melihatnya di lantai atas, jika ada sesuatu, panggil saja aku, ya.”
“Ya, pergilah, Shazia. Lagi pula kau hanya mengganggu waktuku,”
Shazia menatap sinis kemudian, “Ya, Aynur. Terserah apa yang kau katakan. Lain kali aku akan mengganggu lebih banyak waktumu,” balas Shazia.
Shazia yang kembali ke lantai atas pun menemui Zihan, lama ia menatap anak yang tertidur pulas itu. Ia lalu mengambil kursi dan duduk di dekat Zihan, ia mengelus pelan rambut anak itu dan mengecup keningnya.
“Maafkan bibi, Zihan. Bibi tak tahu tentang kehidupanmu. Tapi bibi berjanji, bahwa bibi akan memberitahumu rasanya kasih sayang seorang ibu itu.”
Tak lama Aynur menyusul Shazia sambil berlari kecil, membuat perhatian Shazia tertuju padanya. “Ada apa Aynur?”
“Shazia, tuan Taran datang, dia menunggu di lantai bawah.”
“Tapi Zihan sedang tidur,”
“Apa susahnya bagimu untuk menggendongnya Shazia, aku yakin Zihan tak akan terbangun karnanya,”
Shazia mengangguk, dengan perlahan ia menggendong dan membawa Zihan ke lantai bawah, sedang Aynur ia membereskan tas Zihan dan menyusul Shazia.
Taran yang melihat Shazia turun sambil menggendong putranya pun bersiap, ia segera memindahkan Zihan ke gendongannya.
“Maaf, putraku banyak merepotkanmu,” ucap Taran membuka pembicaraan.
“Tidak papa, saya tak merasa keberatan dengannya, justru keberadaannya di sini sungguh membuat restoran semakin ramai,” balas Shazia.
“Terima kasih, aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa,”
“Tidak perlu, Tuan. Dengan kehadirannya di sini itu sudah cukup membuat saya begitu senang.”
“Sekali lagi terima kasih. Em, bisakah kutahu namamu?”
“Anda bisa memanggil saya Shazia,”
“Nona Shazia, terima kasih,”
Shazia menangguk, melihat Taran hendak mengambil langkah, ia menghentikannya.
“Em, Tuan. Saya harap Anda tidak menganggap saya sebagai orang asing lagi, dan jika Anda sibuk, Tuan bisa menitipkan Zihan pada saya.”
Kata-kata Shazia membuat Taran terdiam sesaat, ia lalu mengangguk pelan. Terlihat senyum Shazia merekah karnanya.
Aynur pun memberikan tas Zihan pada Taran, lalu berdiri di belakang Shazia. Saat mobil ayah dan anak itu telah meninggalkan areal restoran, wajah Aynur terlihat senang.
“Shazia, siapa yang tadi berkenalan, ha?” goda Aynur.
“Aynur kau ini!”
“Apa? Aku benar kan, lihatlah dua sejoli sudah saling berkenalan. Aku akan menceritakannya pada Ayah nanti,”
“Apa! Aynur yang benar saja, kau ini!”
Shazia yang jengkel pun meninggalkan Aynur.
“Lihatlah ada yang merasa kesal rupanya,” canda Aynur sambil tertawa.
Di sisi lain, Taran yang telah sampai ke rumah segera membawa Zihan ke kamar. Ia merebahkan putranya ke ranjang, dan menyelimutinya. Tetapi Taran tak serta-merta pergi dari kamar putranya, ia duduk di samping Zihan dan mengelus rambut putranya itu.
Taran begitu menyayangi putranya, ia tahu bahwa dirinya begitu egois, bahkan tak punya waktu cukup untuk Zihan. Tapi Taran tetap berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang baik, yang memberikan apa saja untuk putranya.
“Maafkan, Ayah. Bahkan orang lain lebih memperhatikanmu dari pada Ayahmu sendiri,”
Taran berdiri dari tempatnya, berjalan mendekati jendela dan menatap langit malam, ia menghela nafas, menenangkan perasaan gundah yang sejak tadi merayapinya.
Entah mengapa kata-kata Shazia selalu terbayang di benaknya, orang asing yang baru saja mengenal putranya, tapi sudah begitu dekat.
“Apakah benar yang dikatakan ayah, bahwa Zihan merindukan sosok ibu?”
Taran tak berpikir untuk menikah, ketika Zihan datang untuk pertama kalinya ke rumah, saat itulah ia merasa hitam putih hidupnya kembali berwarna, seakan semua permasalahan yang dihadapinya sirna begitu saja.
Dan harapan yang kembali tumbuh untuk selalu membahagiakan Zihan, membuatnya tak pernah berpikir untuk menikah.
Masa lalu juga menjadi faktor kedua untuknya. Tanpa sadar ia kembali mengingat masa kelamnya. Mendengar dering telepon, membuatnya tersentak dari lamunan, ia segera menarik gorden dan pergi dari kamar Zihan.
“Betapa susahnya membuang masa lalu yang buruk itu,” gerutu Taran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments