“Maaf, Shazia. Aku baru bisa menghampirimu kemari, tadi ada sedikit masalah di dapur.”
“Tidak papa, Hazan. Kami juga tak menunggu lama di sini.”
“Ya, itu benar tidak papa Hazan, “ timpal Ceyda.
Hazan tersenyum kecil. “Kalau begitu selamat satang untuk kalian.”
Hazan, salah satu sahabat baik Shazia sejak di bangku sekolah, seorang wanita baik yang kini menjadi kepala panti.
“Tampaknya aku melihat orang baru di sini, siapa dia Shazia?” tanya Hazan.
“Dia paman dari anak yang kuceritakan waktu itu.” Balas Shazia.
“Oh, anak dari kerabat jauhmu kan? Kalau begitu salam kenal dan selamat datang untukmu juga,” ucap Hazan.
“terima kasih, Bu Hazan.” Balas Aslan.
“Baiklah, tak usah berlama-lama, ayo kita mulai saja acaranya.”
Ketiga wanita itu mengangguk, langkah mereka beriringan, di mana Aslan menyusul paling akhir. Di panti itu, acara dimulai dengan doa dan tarian yang dipersembahkan oleh anak-anak panti, lalu dilanjutkan membagi bingkisan satu persatu.
Tampak pula Zihan dan Ece yang sangat menikmati acara, keduanya juga bermain bersama anak-anak panti sebayanya, menikmati tarian dan berlarian ke sana kemari, tak ada kesedihan dan hanya ada tawa di wajah mereka.
“Zihan, Ece, kemarilah!” teriak Shazia.
“Dan kalian juga, ayo Kemari!” teriak Shazia lagi pada anak yang juga bermain bersama Ece dan Zihan.
Sontak Zihan, Ece dan anak-anak itu menghentikan permainan dan pergi menghampiri Shazia.
“Ada apa Bu?” tanya salah satu anak.
“Kalian ayo makan, baru lanjutkan permainan kalian lagi.”
“Ibu kami tidak lapar, kami juga masih ingin bermain,”
“Yah, sayang sekali, padahal ibu sudah menyiapkan cerita yang seru untuk kalian,” balas Shazia sambil berpura-pura memasang wajah murung.
“Ibu ingin bercerita lagi?”
“Tentu, tapi karna kalian bilang tidak lapar maka—“
“Iya, Bu, kami akan makan, tapi ibu janji kan akan menceritakan kami dongeng?”
Shazia menangguk, “Iya, ayo cepat. Sekarang ambil makanan kalian dan duduklah di sini,” sambil menunjuk ke bawah pohon.
Shazia dan anak-anak itu pun duduk melingkar di bawah pohon yang rindang. Sambil menyuap makanan mereka, Shazia menceritakan dongeng yang menarik. Zihan dan Ece pun juga ikut mendengarkan kisah Shazia. Namun berbeda dengan Zihan, sejak berhenti bermain ia tampak murung, makanan yang ia ambil pun sama sekali tak tersentuh.
“Zihan, kenapa kau tidak makan makananmu?” tanya Ece yang bingung dengan tingkah laku Zihan.
“Aku akan memakannya nanti,” balas Zihan tak bersemangat.
“Zihan, jika kau ingin bermain maka habiskan dulu makananmu. Kita akan bermain lagi setelahnya,” jawab Ece.
Zihan mengangguk, saat anak lainnya telah selesai makan dan meletakan piring mereka ke pencucian, Zihan hanya diam, ia tak bergerak dari duduknya. Salah satu anak pun menghampirinya.
“Zihan, kenapa kau diam saja? Ayo, kita lanjut bermain,” ajak anak itu.
“Sebelum itu, bisakah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Ya, memangnya kau ingin bertanya apa padaku ? Letak toiletkah?”
“Bukan, itu aku ingin bertanya kenapa kalian memanggil bibi Shazia dengan sebutan ibu?”
“Oh, itu. Karna ibu Shazia orang yang baik, sama seperti ibu Hazan. Di tambah ibu Shazia sudah sering sekali datang kemari dan menceritakan dongeng, itulah sebabnya kami akrab dan memanggilnya Ibu,” jelas anak itu lagi.
“Sekarang ayo kita bermain, jika kau hanya diam di sini, itu akan membosankan,” ucapnya sembari menarik lengan Zihan.
Zihan pun mengikuti perkataannya, ia meletakan piringnya ke pencucian dan pergi bermain bersama mereka, walau ekspresi wajahnya tak sesenang tadi.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, acara telah selesai dengan bersih-bersih bersama sebagai penutupnya.
“Terima kasih, Shazia, Aynur, bibi Ceyda, kalian mau meluangkan waktu kemari.”
“Tak usah berterima kasih, justru aku yang menyusahkanmu dengan datang tanpa janji,” balas Shazia sambil memeluk Hazan.
“Kalau begitu kami pergi, Hazan, terima kasih sambutanmu,” ucap Ceyda yang bergantian memeluk wanita itu.
Keenam orang itu pun menuju areal parkir, Shazia memakai helm dan meletakan tasnya. Ia mulai naik ke motor bersama Ece dan Ceyda yang duduk di belakangnya.
“Zihan, Bibi pergi, ya. besok kita bertemu lagi di restoran.”
“Ya, bibi," balas Zihan tak bersemangat.
“Aynur kami pergi, ya!” teriak Shazia.
“Ya, hati-hatilah membawa bibi Ceyda,” balas Aynur.
Saat motor yang dipakai Shazia tak lagi terlihat, Aynur mulai melangkah pergi menuju halte bus terdekat. Namun langkahnya terhenti kala Aslan memanggil.
“Aynur, kau pergi ke mana? Ayo ikutkah bersama kami, aku akan mengantarmu pulang.”
Aynur berbalik, “Tidak usah, itu akan merepotkanmu, aku akan pulang naik bus saja.”
Aslan membawa Zihan datang menghampiri Aynur, “Kau kan kemari bersamaku, jadi sudah tanggung jawabku untuk mengantarmu kembali pulang.”
“Sudah kukatakan tidak usah, kau kan harus mengantar Zihan pulang, aku tidak ingin menyusahkan orang lain.”
“Apakah aku terlihat keberatan? Kan aku yang mengajakmu, bukan kau yang meminta, Aynur.”
“Bibi terima saja tawaran paman. Dia orang yang baik, tidak akan berbuat macam-macam pada bibi,” timpal Zihan.
“Bukan seperti itu Zihan, bibi hanya tidak ingin menyusahkan Pamanmu.”
“Paman kan sudah bilang dia tidak keberatan sama sekali, jadi apa yang bibi takutkan?”
Aynur menghela nafas panjang, bingung harus menjawab apa pada anak kecil yang pintar menjawab itu. “Ya, bibi akan ikut bersamamu dan pamanmu.”
Zihan tersenyum kecil, seperti sebelumnya ia pun menyuruh Aynur untuk duduk di depan bersama sang paman. Mobil itu pun meninggalkan tempat tersebut dan melaju dengan kecepatan sedang.
“Maaf kemenakanku terkadang sedikit nakal,” ucap Aslan membuka pembicaraan.
“Tidak papa,” balas Aynur singkat.
“Di mana alamat rumahmu?”
“Kau jalan saja, akanku beri tahu di mana harus berhenti nanti.”
Aslan mengangguk, sembari sesekali melirik sang kemenakan yang duduk di kursi belakang.
Hari telah menjelang senja, tampak mobil yang dikendarai Aslan berhenti tetap di depan rumah sewa milik Aynur. Aynur pun keluar dari mobil, diikuti oleh Aslan setelahnya.
Pria itu menatap sekelilingnya, daerah pemukiman yang padat dan sedikit kumuh membuat alisnya berkerut, di tambah dengan kedatangannya membuat para tetangga Aynur di sekitar rumah itu saling berbisik.
“Sudah kukatakan padamu untuk berhenti di depan jalan kan, kenapa kau begitu keras kepala? Lihatlah para tetanggaku yang melihatmu, mereka pasti akan berbicara hal yang tidak-tidak tentang kita,” ucap Aynur dengan berbisik.
Saat Zihan membuka kaca mobil, Aynur segera mengubah ekspresinya. “Terima kasih, Aslan kau sudah mau memberiku tumpangan. Dan terima kasih, Zihan, kau sudah mau mengantar bibi pulang.”
“Ya, Bibi, sama-sama,” balas Zihan dari dalam mobil.
“Baiklah kalau begitu aku dan Zihan pamit pergi sekarang,” ucap Aslan.
Aynur mengangguk, “Sekali lagi terima kasih untukmu,” ucap Aynur lagi.
Aslan mengangguk sambil tersenyum, ia pun kembali masuk ke mobil dan meninggalkan halaman rumah Aynur, untuk mengantarkan kembali kemenakannya itu pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments