Menjelang sore, sang paman, Aslan, datang menjemputnya. Di perjalanan pulang, Zihan tak banyak bicara, ia selalu mengalihkan pandangannya menatap jalanan dari kaca mobil.
“Zihan, sekolahmu baikkan?” tanya sang paman membuka pembicaraan.
“Semua baik-baik saja Paman, jangan khawatir,” jawab Zihan.
“Benar, tidak ada masalah? Kau tidak ingin menceritakannya pada paman?”
Zihan menggeleng.
“Baiklah jika kau tidak ingin menceritakannya pada paman.” balas Aslan.
Untuk beberapa saat keheningan menguasai, sampai Zihan kembali membuka pembicaraan.
“Paman bisakah aku bertanya sesuatu padamu?” tanya Zihan dengan wajah murung
“Ya, Zihan ingin bertanya apa pada paman?”
“Paman salahkan seorang anak tak mempunyai ibu? Apakah mereka sangat hina karna itu?” tanya Zihan ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan itu, Aslan terdiam sesaat, ia bingung harus menjawab apa pada keponakannya itu.
“Zihan, itu tidak salah Zihan, dan itu tidak hina. Jangan berpikir seperti itu, kau punya papa yang selalu menyayangi dan menjagamu.”
Zihan merasa tak puas saat mendengar jawaban sang paman, ia pun kembali diam menatap jalanan.
Sesampainya di rumah Zihan langsung memasuki kamarnya, suasana yang hampa membuatnya kembali termenung. Walaupun ia sudah memaafkan Altan, perkataannya selalu terngiang-ngiang di otaknya.
Tak lama, pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok pria tinggi nan gagah, yang tak lain ialah Taran.
“Zihan,” panggil sang ayah.
Zihan yang duduk termangu di dekat jendela, sama sekali tak menjawab, lantas membuat sang Ayah datang menghampirinya dan duduk di dekat putranya itu.
“Zihan, ayah mendapat telepon dari kepala sekolah, katanya kau berkelahi, benarkah itu?”
“Jika kepala sekolah sudah mengatakan semuanya, apa yang ingin Papa dengar lagi dariku?”
“Ayah ingin mendengar langsung dari mulutmu alasannya.”
“Zihan ayah bertanya padamu,” ucap Taran lagi saat tak mendengar jawaban dari mulut putranya.
“Dia menghinaku, Papa. Dia bilang...” Zihan tak bisa melanjutkan perkataannya, air mata kembali tumpah.
“Dia bilang, a-aku a-anak tam-pa i-ibu,” ucap Zihan lagi dengan terbata-bata.
Zihan menghapus air matanya yang keluar, “Aku tahu, aku hanya punya kau, Papa, tapi aku tidak ingin mendengar kata-kata itu dari mulut orang lain. Terserah jika papa ingin marah padaku, tapi aku akan tetap melakukan hal yang sama pada orang yang menghina keluargaku,”
Taran terdiam sesaat, lalu menghela nafas, “Dengar Zihan, ayah tak akan marah pada apa yang kau lakukan itu, kau melakukan hal yang benar, kau membela harga dirimu.”
“Terkadang ada saat di mana kita harus melawan, tapi ayah sangat berharap padamu, jangan gunakan kekerasan untuk menindas orang lain.”
“Maafkan ayah, bukan ayah yang sempurna untuk, maafkan ayah tak bisa memberikan banyak kebahagiaan untukmu,”
Zihan melirik sang Ayah, ia menangis lalu memeluk Taran.
“Aku beruntung memilikimu papa, aku sangat beruntung, apa yang papa katakan itu tidak benar. Papa adalah orang yang sempurna yang selalu mengerti tentangku.”
...****************...
Pagi kembali datang, di hari liburnya itu terlihat Zihan telah mengenakan pakaian rapi, saat ia menuju meja makan, dapat terlihat anggota keluarga sudah lengkap di sana.
“Pagi, kakek, nenek!” Sapa Zihan dengan senyum bahagia terpampang jelas di wajahnya.
Ya, suasana hatinya benar-benar berubah, tampaknya ia sudah melupakan masalah yang terjadi kemarin.
“Selamat pagi cucuku, ayo duduk di samping kakek!” balas Derya.
Zihan mengangguk ia duduk di samping sang kakek, dan mengambil lauk yang tersedia. Sang ayah yang melihat putranya seperti itu tampak lega.
“Papa, papa hari ini ke kantor kan?”
Sang ayah menangguk.
“Bisa tidak aku ikut? aku ingin pergi ke restoran bibi Shazia,”
“Ya, ayah akan mengantarmu. Tapi kau jangan menyusahkan orang lain di sana,” jawab sang Ayah.
“Bibi Shazia? Siapa dia cucuku?” tanya sang nenek.
“Nenek, dia pemilik restoran, letaknya memang agak jauh dari sekolahku, tapi aku suka sekali mengunjunginya ke sana, sangat menyenangkan,” balas Zihan.
“Bisakah Zihan memberi tahu nenek seperti apa bibi Shazia?”
“Bibi orang yang baik, dia cantik, dia pekerja keras, dia selalu menyenangkan, aku senang bisa mengunjunginya. Aku jadi berharap dia bisa menjadi ibuku, Nenek,”
Mata Defne melebar, tertarik dengan cerita sang cucu, siapakah kiranya yang begitu baik mau mengurus Zihan tanpa pamrih. Belum sempat Defne bertanya lebih lanjut, Taran sudah mengajak pergi putranya.
“Zihan kau sudah selesai makan, ayo kita pergi,”
Zihan mengangguk sembari turun dari kursinya.
“Ibu, Ayah. Aku dan Zihan pergi, jaga kesehatan kalian,” pamit Taran.
Kata-kata yang selalu sama, membuat Derya hanya menangguk tanpa melirik, begitu pula dengan Defne yang diam. Ayah dan anak itu pun pergi, menyisakan pasangan suam istri tersebut.
Sepeninggal putranya wajah Defne berubah sendu, ia tak lagi menyentuh makanan di meja, “Derya kapan kiranya putra kita kembali seperti dulu? Aku begitu merindukannya, merindukan tawanya, merindukan perhatiannya, bukan kata-kata yang terdengar sama setiap paginya.”
Derya menatap istrinya, “Defne makanlah makananmu, aku tahu perasaanmu, aku pun juga merasa demikian. Jangan terlalu memikirkannya Defne, aku yakin suatu saat dia akan berubah.”
“Bagaimana aku tidak memikirkannya, Derya? Dia putra kita, setiap pagi selama satu dekade ini pernahkah kau melihatnya berbicara panjang pada kita? Kita seolah berbicara dengan patung.”
“Aku hanya ingin dia tidak terus-menerus seperti ini, Derya, aku ingin dia bisa sama seperti dulu.”
“Setiap orang akan berubah pada waktunya, Defne. Kau terlalu menuntutnya, dia sudah dewasa sekarang dan dia juga seorang ayah, sudahlah jangan terlalu memusingkannya. Pentingkan saja kesehatan kita. Jika tidak, mungkin kita tidak akan bisa melihat Zihan tumbuh dewasa,”
Taran pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju restoran Shazia, entah sejak kapan ia merasa akrab dengan wanita itu, begitu saja mempercayakan putranya pada Shazia.
Sesampainya di restoran, Zihan turun dari mobil sang Ayah dengan penuh semangat, namun ketika ia hendak membuka pintu restoran semangatnya seketika menghilang, restoran tutup dan tidak ada tanda-tanda orang di dalamnya.
“Restoran tutup, dan tidak ada orang di dalam, tampaknya bibi itu sedang pergi,” ucap Taran yang menyusul putranya turun.
“Yah, padahal aku sangat ingin bertemu bibi,” keluh Zihan.
“Kalau begitu kau ikut ayah ke kantor saja, Zihan,” ucap sang ayah lagi, sambil menyuruh sang anak untuk masuk ke mobil.
Dengan berat hati, Zihan pun pergi bersama sang Ayah ke kantor, itu hal yang paling tidak disukainya, karna di sana tak ada yang bisa ia lakukan selain memainkan gadget dan menunggu Taran bekerja.
Sepanjang perjalanan Zihan banyak berceloteh, dia kesal harus ikut sang ayah ke kantor.
“Ke mana perginya bibi Shazia, padahal aku ingin membantu bibi bekerja dan mendengar banyak kisah darinya.”
“Andai bibi mengatakan padaku jika dia hari ini libur, jadinya aku tidak akan ikut bersama papa ke kantor.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
LISA
Tumben nih restonya tutup
2022-11-20
1