9-TEEN
Gadis itu berlari tanpa henti, sekiranya sudah hampir lima menit berlalu waktu yang terkuras dengan amat lamanya. Ia terus memaksimalkan setiap langkah agar tak ada kejadian tersungkur ke tanah terjadi.
Kedua tangannya menyatu bersama di udara, berusaha menutupi kepala dari tetesan air hujan. Namun, detik berikutnya ia putuskan menurunkan kembali kedua tangannya ke bawah. Tidak dilanjutkan lagi, karena ujung-ujungnya tak dapat hasil yang memuaskan. Kepalanya masih terkena percikan air hujan, rambut hitam panjangnya benar-benar sudah basah tak terkira lagi.
Teramat senangnya. Akhirnya gadis itu bisa bernafas lebih lega. Setengah perjalanan, seperempat waktu akhirnya ia bisa menemukan tempat yang cukup layak untuk berteduh sampai hujannya reda.
Benda mati persegi panjang itu terpajang di sebelah pintu masuk, menempel kuat dengan dinding kokoh. Papan kayu dengan lampu-lampu kecil di sekelilingnya, meskipun lampunya tidak menyala karena masih siang, itu tetap terlihat menarik. Kalimat yang tersusun rapi, tulisannya teramat cantik.
Begini tulisan dibalik papan kayu tua, namun meskipun begitu masih tampak awet muda.
'Whoever you. Love yourself more than you love someone else.
Come here with a good feeling. Then we will give delicious food to you the most amazing.'
Dari yang beranggapan hanya sebatas ungkapan sok puitis dari sang pemilik toko. Sepersekian detik, gadis itu menangis.
Menangis untuk dirinya yang tak pernah menganggap dirinya sendiri itu spesial.
Menangis untuk dirinya yang selalu mencintai orang lain lebih besar dari pada dirinya sendiri.
Takjub, begitu terkesan dengan penuturan kalimatnya. Pemilik cafe ini pasti orang yang baik. Baik sekali, hingga tak segan menularkan pemikiran yang amat baik itu pada orang lain.
Dari ratusan cafe yang pernah gadis itu jumpai, mungkin hanya cafe ini saja yang mampu membuat seluruh tubuhnya kaku, membeku. Lalu, menjadi lemah kemudian menangis.
Biasanya, cafe-cafe pada umumnya hanya bertulis nama dari cafe itu sendiri atau kalau tidak pasti untaian kalimat gombal yang mengambil dari mbah google. Tapi, untuk cafe yang satu ini, benar-benar cemerlang. Kalimatnya mengena sekali, membuat hati gadis itu langsung remuk berkeping-keping. Terasa sedang di ceramahi hal yang baik. Yang tak pernah dipikirkan sebelumnya, untuk kali ini, ia sadar, tak mau menganggap sepele mengenai 'Love Yourself'
Kalimat di balik benda mati itu mampu membuat pemikiran gadis itu sedikit terbuka lebih besar lagi.
Kedua tangannya mengusap, menyingkirkan beberapa air yang masih setia bertengger di pipinya. Tak mau berlama-lama menangis, berlarut dari pemikiran itu. Cukup untuk di masukan ke dalam otak, di simpan lalu mengingatnya untuk waktu yang lama.
Kemudian, gadis itu berbalik badan. Menatap hujan yang tak kunjung pergi dari bumi. Masih setia di bumi, mungkin awan tengah bersedih atau sedang di hukum untuk jangan kembali ke langit dulu sementara waktu. Entahlah, memikirkannya malah membuatnya semakin pusing. Tidak ingin mengambil resiko stres berkepanjangan. Lantas, gadis itu memilih tetap berdiri namun kali ini mengeluarkan ponselnya untuk menemaninya sesaat. Membuka grup chat. Lalu, tertawa kecil. Jadi terasa seperti orang gila. Awalnya menangis, tiba-tiba tertawa begitu senang. Ini karena kelakuan temannya. Mengirimi pesan singkat yang teramat lucu, tak sanggup untuk di sembunyikan lagi tawanya.
Klek
Bunyi gesekan dari pintu kaca dengan lantai cukup membuat gadis itu terkejut. Suara gemuruh hujan sedikit lebih kecil, itulah mengapa suara pintu terbuka terdengar jelas di telinganya. Dengan rasa ingin tahu, gadis itu sedikit menolehkan wajahnya ke samping belakang. Ingin melihat sekilas siapa orang yang keluar dari cafe tersebut.
Tubuhnya cukup tinggi. Memakai celana hitam kulot, jaket tebal berwarna biru kalem, dengan bulu-bulu putih di bagian atas--sekitar leher sampai bawah. Lalu, ia mengenakan sepatu hitam, serta memakai topi putih. Meskipun begitu, masih terlihat sedikit jika rambutnya berwarna pirang. Pria itu juga memakai kacamata bening. Dan, yang terakhir pria itu memakai masker putih. Anehnya, itu hanya di pakai sampai dagu saja. Tidak menutupi setengah dari wajahnya.
Gadis itu pikir, mungkin pria itu sedang mengikuti tren yang dipakai kebanyakan idol.
Mereka suka memakai masker hanya sampai dagu saja. Untuk menutupi dagu, bukannya menutupi wajahnya.
Jika dilihat secara keseluruhan, gayanya cukup trendi. Mengusung tema fashion airport yang sering dikenakan para idol saat keberangkatannya ke luar negeri.
Gadis yang memiliki senyum manis itu yakin seratus persen kalau pria itu adalah orang kaya.
Terlihat dari penampilannya, serba mahal. Tidak tahu jelas barang-barang mahal, namun hanya dengan melihat tampilannya saja sudah mewah.
Tak mau berlama-lama menilai penampilan pria di depannya. Segera, ia menarik kembali kepalanya ke depan, namun sebelum terjadi, gadis itu terkejut bukan main setelah menyadari ternyata pria bertopi putih itu tengah menatapnya begitu tajam.
Lantas, yang bisa ia lakukan hanya menunduk sembari berkata "Maaf." Namun dengan suara lirih, kapasitas yang dikeluarkan paling rendah. Kecil tak seratus persen berbunyi. Sementara pria itu hanya acuh, mengabaikan gadis itu lalu berfokus kembali pada ponselnya.
Gadis itu hanya menghela nafas, kebiasaan buruknya terjadi lagi. Selalu menatap orang lain dari atas sampai bawah, setelah itu menilai penampilannya. Apakah cukup memuaskan atau tidak? Melebihi dirinya atau malah lebih rendah lagi darinya?
Itu kebiasaan buruk. Masih sulit gadis itu hilangkan begitu saja. Miris sekali.
Kemudian, gadis itu bergelut kembali dengan persegi pintarnya. Menyadari suara hujan semakin menipis, lalu ia menurunkan pandangannya pada layar ponsel. Menatap yang didepan mata, memang sudah tidak hujan, tapi masih gerimis. Kemungkinan besar, bisa jadi nanti akan hujan deras kembali. Pikirnya begitu saja.
Meong Meong Meong
Suaranya cukup berisik mengalir ke dalam indra pendengarnya. Meskipun demikian, gadis itu tidak merasa terganggu. Yang terjadi selanjutnya, ia menelisik ke segala arah. Kedua manik sipitnya dengan teramat santai fokus begitu saja mencari sumber suara itu berada.
Tercengang. Gadis itu melotot dengan ekspresi kaget diluar nalar. Begitu terkejut ketika menemukan sumber suara itu berada tak jauh dari tempat ia berteduh, di depan cafe namun sedikit menjorok ke bagian kanan. Seekor kucing kecil berwarna putih tengah meringkuk kedinginan di pinggir jalan. Mengeluarkan suara khas nya untuk memberitahu keberadaannya pada orang lain.
Begini, gadis itu begitu menyukai hewan yang punya suara khas andalannya "meong meong". Melihat didepan mata, jelas dengan intensitas jarak dekat, tidak perlu dipikirkan begitu matang kembali. Kecepatannya tinggi, berlari menghampiri kucing tanpa perlindungan payung atau jas hujan.
Gadis itu membawa kucing berbulu halus itu ke dalam pelukannya, lantas berlari kembali menuju cafe tempat singgahnya saat ini.
Ia berjongkok, memangku kucing putih itu dikedua pahanya, sembari mengelus-elus bulu-bulunya yang basah terkena tetesan air hujan.
Mengarahkan wajah kucing itu menghadapnya. "Pasti kedinginan sekali yah?" tanyanya pada kucing putih. "Maaf, aku tak punya sesuatu yang bisa menghangatkan dirimu." suaranya sedikit menipis, merasa bersalah dan juga kasihan.
"Oh, aku punya sesuatu." Nada suaranya cukup membuat kucing itu terkejut, ia sedikit terperanjat sesaat. Bola matanya melotot ke arah gadis itu. "Maaf membuatmu terkejut kucing manis." lanjutnya dengan nada lebih halus.
"Sebentar." Kedua tangannya mengambil tas ransel di belakang punggungnya. Meletakkannya di samping, membukanya lalu mengambil sebuah handuk kecil berwarna abu-abu. Setelah itu, menutupnya kembali dan mengembalikan tas miliknya ke posisi semula.
"Tadi aku habis berolahraga dengan temanku, jadi aku membawa handuk kecil dari rumah. Sudah pasti terkena keringatku, tapi tak apa, kan? Kau masih mau menerimanya?"
Inginnya dibalas, jadi gadis itu menggerakkan bagian belakang kepala kucing yang secara tak langsung membuatnya mengangguk terpaksa.
"Padahal bau keringat. Tapi kau malah mau." Iya, ia masih waras kok. Tahu juga. Jelas sekali tahu. Kucing tak akan bisa menjawab pertanyaan darinya, meskipun sama-sama makhluk hidup, namun manusia dengan hewan ada perbandingan besar dari perbedaannya. Ia pun tahu betul untuk itu, tapi karena teramat sukanya dengan kucing, untuk alasan mengobrol dengannya, gadis itu anggap tak apa. Lagipula, bukankah kita juga harus memperhatikan hewan juga? Sesekali mengajaknya mengobrol selayaknya dengan manusia itu tidak jadi masalah. Meskipun tak dapat menjawabnya, tapi hewan itu tahu sekali apa yang kita ucapkan padanya.
Dengan pelan gadis itu mengusap-usapkan seluruh bagian tubuh kucing dengan kedua tangannya yang terlapisi dengan handuk abu-abu yang sedikit masih basah sisa-sisa keringatnya tadi. Sedikit demi sedikit sudah lebih kering, cukup untuk menetralkan tubuh yang baru saja terkena banyaknya guyuran air hujan.
Setelah merasa cukup, gadis itu membungkus tubuh kucing dengan handuk abu-abu miliknya. Memang basah, tapi ia pikir itu tidak akan menjadi perkara tragis bagi si kucing. Kucing akan lebih hangat, dari pada tidak sama sekali ditutupi apapun.
"Kucing, rumahmu dimana?" Gadis itu mengajak kucing mengobrol lagi. Hitung-hitung agar tidak terlalu sepi. Karena hujan, jalanan jadi tidak ramai. Lenggang mencekam, untuk itu mengobrol dengan kucing pilihan terbaik.
"Kau tak punya rumah?" Ia sempat tidak percaya. "Jadi, kau tidur dimana?" Dengan datar kucing itu menatap kedua mata gadis cantik itu.
Gadis itu menghela nafas. "Ah ... kalau saja ibuku mengijinkanku memelihara kucing, pasti aku akan membawamu pulang bersamaku." Mimik wajahnya menjadi sedikit kesal. "Aku pernah membawa kucing ke rumah, kau tahu saat ibuku melihatnya ia langsung marah. Benar-benar yang marah sekali." Ia hembuskan nafas kasar. "Menyebalkan sekali, kan?"
"Hei, kucing lihat aku." Ia mengarahkan kepala si kucing menghadap ke arahnya kembali. Sedikit kesal sebab selama gadis itu bicara kucingnya hanya memandangi hujan, bukan menatap padanya. "Kalau sedang ada yang berbicara denganmu itu di tatap orangnya, jangan melihat yang lain, itu sakit, rasanya seperti tidak dihargai omongannya. Kau mengerti?" Lalu gadis itu menganggukkan kepala si kucing. Lantas ketika mengangguk keterpaksaan, ia tersenyum.
"Ku beri nama pipi untukmu. Suka tidak?" Ia menunduk, menyetarakan pandangannya pada si kucing. Kucingnya jadi tidak perlu menengadah ke atas, ini posisi nyaman, meskipun gadis itu yang sedikit tidak nyaman karena terus-terusan menunduk ke bawah.
Kucingnya bersuara meong meong.
Gadis itu tersenyum manis. "Pipi. Sekarang namamu pipi. Pipimu itu gemas sekali, gembul. Jadi, ku beri nama pipi untukmu." kedua tangannya mencubit pipi si kucing. Ia meraung kesal tak suka, gadis itu pun segera berhenti.
Sekarang ia menyadarinya, bahwa hujan telah berhenti sepenuhnya. Ia menghilang pergi ke tempat lain. Gadis itu bersyukur, bernafas lega. Akhirnya bisa pulang. Tapi, tak berapa lama ia pun kembali sadar, jika dirinya pergi maka akan kehilangan kucing ini. Tidak akan bertemu lagi dengannya, bisa saja besok atau lusa atau kapanpun itu bertemu, tapi kan tidak menjamin dengan pasti.
Lemas, seolah akan kehilangan kekasih yang teramat dicintainya, padahal ini hanyalah sekedar kucing yang baru ia temui satu jam yang lalu. Oh, beginilah. Tidak memandang bulu, mau itu dengan manusia atau hewan, kalau sudah cinta memang tak bisa di toleransi lagi. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Kapasitas level kesukaan sudah tingkat tinggi, jadi ya begini. Sangat berlebihan.
Gadis itu menunduk "Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu lagi." si kucing manis memandangi gadis itu dengan serius, mungkin tahu kalau gadis berhati malaikat itu tengah berbicara tentang perpisahan, jadi kucingnya menatap dengan mimik sedikit menekuk. "Jaga dirimu baik-baik, kalau hujan berteduh, jangan biarkan dirimu kedinginan. Nanti kau bisa sakit." Gadis itu mengelus pucuk kepala si pipi---nama kucingnya. Rasanya seperti sedang memberikan nasihat pada anaknya sendiri. Terlalu banyak menonton drama korea begini.
Untuk yang terakhir, gadis itu mengecup kening si pipi. Lalu, berdiri sambil membopong kucingnya. Setelah itu, ia letakan kucingnya di samping pintu masuk cafe. Samar-samar ia melihat kucing itu sedikit menampilkan raut wajah kecewa, pipi murung. Mungkin tahu kalau seseorang yang telah menemani dirinya akan pergi, dan dia sedih. Kalau begini terus gadis itu jadi tidak tega melihatnya. Tidak boleh. Ia harus segera pulang sekarang, sebelum ibu nya akan menyerangnya di telefon.
Gadis itu pergi, berjalan meninggalkan kucing yang sedang meringkuk kedinginan.
Selepasnya pergi, pemuda itu menurunkan ponselnya lalu berlabuh memandangi gadis yang berjalan cepat meninggalkan tempat ia berteduh sedari tadi. Dia tidak bisa menahan lagi, sudut bibirnya tertarik ke atas. Lalu bersuara. "Menarik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments