NovelToon NovelToon

9-TEEN

01. 9-TEEN part 1 : awal bertemu

Gadis itu berlari tanpa henti, sekiranya sudah hampir lima menit berlalu waktu yang terkuras dengan amat lamanya. Ia terus memaksimalkan setiap langkah agar tak ada kejadian tersungkur ke tanah terjadi.

Kedua tangannya menyatu bersama di udara, berusaha menutupi kepala dari tetesan air hujan. Namun, detik berikutnya ia putuskan menurunkan kembali kedua tangannya ke bawah. Tidak dilanjutkan lagi, karena ujung-ujungnya tak dapat hasil yang memuaskan. Kepalanya masih terkena percikan air hujan, rambut hitam panjangnya benar-benar sudah basah tak terkira lagi.

Teramat senangnya. Akhirnya gadis itu bisa bernafas lebih lega. Setengah perjalanan, seperempat waktu akhirnya ia bisa menemukan tempat yang cukup layak untuk berteduh sampai hujannya reda.

Benda mati persegi panjang itu terpajang di sebelah pintu masuk, menempel kuat dengan dinding kokoh. Papan kayu dengan lampu-lampu kecil di sekelilingnya, meskipun lampunya tidak menyala karena masih siang, itu tetap terlihat menarik. Kalimat yang tersusun rapi, tulisannya teramat cantik.

Begini tulisan dibalik papan kayu tua, namun meskipun begitu masih tampak awet muda.

'Whoever you. Love yourself more than you love someone else.

Come here with a good feeling. Then we will give delicious food to you the most amazing.'

Dari yang beranggapan hanya sebatas ungkapan sok puitis dari sang pemilik toko. Sepersekian detik, gadis itu menangis.

Menangis untuk dirinya yang tak pernah menganggap dirinya sendiri itu spesial.

Menangis untuk dirinya yang selalu mencintai orang lain lebih besar dari pada dirinya sendiri.

Takjub, begitu terkesan dengan penuturan kalimatnya. Pemilik cafe ini pasti orang yang baik. Baik sekali, hingga tak segan menularkan pemikiran yang amat baik itu pada orang lain.

Dari ratusan cafe yang pernah gadis itu jumpai, mungkin hanya cafe ini saja yang mampu membuat seluruh tubuhnya kaku, membeku. Lalu, menjadi lemah kemudian menangis.

Biasanya, cafe-cafe pada umumnya hanya bertulis nama dari cafe itu sendiri atau kalau tidak pasti untaian kalimat gombal yang mengambil dari mbah google. Tapi, untuk cafe yang satu ini, benar-benar cemerlang. Kalimatnya mengena sekali, membuat hati gadis itu langsung remuk berkeping-keping. Terasa sedang di ceramahi hal yang baik. Yang tak pernah dipikirkan sebelumnya, untuk kali ini, ia sadar, tak mau menganggap sepele mengenai 'Love Yourself'

Kalimat di balik benda mati itu mampu membuat pemikiran gadis itu sedikit terbuka lebih besar lagi.

Kedua tangannya mengusap, menyingkirkan beberapa air yang masih setia bertengger di pipinya. Tak mau berlama-lama menangis, berlarut dari pemikiran itu. Cukup untuk di masukan ke dalam otak, di simpan lalu mengingatnya untuk waktu yang lama.

Kemudian, gadis itu berbalik badan. Menatap hujan yang tak kunjung pergi dari bumi. Masih setia di bumi, mungkin awan tengah bersedih atau sedang di hukum untuk jangan kembali ke langit dulu sementara waktu. Entahlah, memikirkannya malah membuatnya semakin pusing. Tidak ingin mengambil resiko stres berkepanjangan. Lantas, gadis itu memilih tetap berdiri namun kali ini mengeluarkan ponselnya untuk menemaninya sesaat. Membuka grup chat. Lalu, tertawa kecil. Jadi terasa seperti orang gila. Awalnya menangis, tiba-tiba tertawa begitu senang. Ini karena kelakuan temannya. Mengirimi pesan singkat yang teramat lucu, tak sanggup untuk di sembunyikan lagi tawanya.

Klek

Bunyi gesekan dari pintu kaca dengan lantai cukup membuat gadis itu terkejut. Suara gemuruh hujan sedikit lebih kecil, itulah mengapa suara pintu terbuka terdengar jelas di telinganya. Dengan rasa ingin tahu, gadis itu sedikit menolehkan wajahnya ke samping belakang. Ingin melihat sekilas siapa orang yang keluar dari cafe tersebut.

Tubuhnya cukup tinggi. Memakai celana hitam kulot, jaket tebal berwarna biru kalem, dengan bulu-bulu putih di bagian atas--sekitar leher sampai bawah. Lalu, ia mengenakan sepatu hitam, serta memakai topi putih. Meskipun begitu, masih terlihat sedikit jika rambutnya berwarna pirang. Pria itu juga memakai kacamata bening. Dan, yang terakhir pria itu memakai masker putih. Anehnya, itu hanya di pakai sampai dagu saja. Tidak menutupi setengah dari wajahnya.

Gadis itu pikir, mungkin pria itu sedang mengikuti tren yang dipakai kebanyakan idol.

Mereka suka memakai masker hanya sampai dagu saja. Untuk menutupi dagu, bukannya menutupi wajahnya.

Jika dilihat secara keseluruhan, gayanya cukup trendi. Mengusung tema fashion airport yang sering dikenakan para idol saat keberangkatannya ke luar negeri.

Gadis yang memiliki senyum manis itu yakin seratus persen kalau pria itu adalah orang kaya.

Terlihat dari penampilannya, serba mahal. Tidak tahu jelas barang-barang mahal, namun hanya dengan melihat tampilannya saja sudah mewah.

Tak mau berlama-lama menilai penampilan pria di depannya. Segera, ia menarik kembali kepalanya ke depan, namun sebelum terjadi, gadis itu terkejut bukan main setelah menyadari ternyata pria bertopi putih itu tengah menatapnya begitu tajam.

Lantas, yang bisa ia lakukan hanya menunduk sembari berkata "Maaf." Namun dengan suara lirih, kapasitas yang dikeluarkan paling rendah. Kecil tak seratus persen berbunyi. Sementara pria itu hanya acuh, mengabaikan gadis itu lalu berfokus kembali pada ponselnya.

Gadis itu hanya menghela nafas, kebiasaan buruknya terjadi lagi. Selalu menatap orang lain dari atas sampai bawah, setelah itu menilai penampilannya. Apakah cukup memuaskan atau tidak? Melebihi dirinya atau malah lebih rendah lagi darinya?

Itu kebiasaan buruk. Masih sulit gadis itu hilangkan begitu saja. Miris sekali.

Kemudian, gadis itu bergelut kembali dengan persegi pintarnya. Menyadari suara hujan semakin menipis, lalu ia menurunkan pandangannya pada layar ponsel. Menatap yang didepan mata, memang sudah tidak hujan, tapi masih gerimis. Kemungkinan besar, bisa jadi nanti akan hujan deras kembali. Pikirnya begitu saja.

Meong Meong Meong

Suaranya cukup berisik mengalir ke dalam indra pendengarnya. Meskipun demikian, gadis itu tidak merasa terganggu. Yang terjadi selanjutnya, ia menelisik ke segala arah. Kedua manik sipitnya dengan teramat santai fokus begitu saja mencari sumber suara itu berada.

Tercengang. Gadis itu melotot dengan ekspresi kaget diluar nalar. Begitu terkejut ketika menemukan sumber suara itu berada tak jauh dari tempat ia berteduh, di depan cafe namun sedikit menjorok ke bagian kanan. Seekor kucing kecil berwarna putih tengah meringkuk kedinginan di pinggir jalan. Mengeluarkan suara khas nya untuk memberitahu keberadaannya pada orang lain.

Begini, gadis itu begitu menyukai hewan yang punya suara khas andalannya "meong meong". Melihat didepan mata, jelas dengan intensitas jarak dekat, tidak perlu dipikirkan begitu matang kembali. Kecepatannya tinggi, berlari menghampiri kucing tanpa perlindungan payung atau jas hujan.

Gadis itu membawa kucing berbulu halus itu ke dalam pelukannya, lantas berlari kembali menuju cafe tempat singgahnya saat ini.

Ia berjongkok, memangku kucing putih itu dikedua pahanya, sembari mengelus-elus bulu-bulunya yang basah terkena tetesan air hujan.

Mengarahkan wajah kucing itu menghadapnya. "Pasti kedinginan sekali yah?" tanyanya pada kucing putih. "Maaf, aku tak punya sesuatu yang bisa menghangatkan dirimu." suaranya sedikit menipis, merasa bersalah dan juga kasihan.

"Oh, aku punya sesuatu." Nada suaranya cukup membuat kucing itu terkejut, ia sedikit terperanjat sesaat. Bola matanya melotot ke arah gadis itu. "Maaf membuatmu terkejut kucing manis." lanjutnya dengan nada lebih halus.

"Sebentar." Kedua tangannya mengambil tas ransel di belakang punggungnya. Meletakkannya di samping, membukanya lalu mengambil sebuah handuk kecil berwarna abu-abu. Setelah itu, menutupnya kembali dan mengembalikan tas miliknya ke posisi semula.

"Tadi aku habis berolahraga dengan temanku, jadi aku membawa handuk kecil dari rumah. Sudah pasti terkena keringatku, tapi tak apa, kan? Kau masih mau menerimanya?"

Inginnya dibalas, jadi gadis itu menggerakkan bagian belakang kepala kucing yang secara tak langsung membuatnya mengangguk terpaksa.

"Padahal bau keringat. Tapi kau malah mau." Iya, ia masih waras kok. Tahu juga. Jelas sekali tahu. Kucing tak akan bisa menjawab pertanyaan darinya, meskipun sama-sama makhluk hidup, namun manusia dengan hewan ada perbandingan besar dari perbedaannya. Ia pun tahu betul untuk itu, tapi karena teramat sukanya dengan kucing, untuk alasan mengobrol dengannya, gadis itu anggap tak apa. Lagipula, bukankah kita juga harus memperhatikan hewan juga? Sesekali mengajaknya mengobrol selayaknya dengan manusia itu tidak jadi masalah. Meskipun tak dapat menjawabnya, tapi hewan itu tahu sekali apa yang kita ucapkan padanya.

Dengan pelan gadis itu mengusap-usapkan seluruh bagian tubuh kucing dengan kedua tangannya yang terlapisi dengan handuk abu-abu yang sedikit masih basah sisa-sisa keringatnya tadi. Sedikit demi sedikit sudah lebih kering, cukup untuk menetralkan tubuh yang baru saja terkena banyaknya guyuran air hujan.

Setelah merasa cukup, gadis itu membungkus tubuh kucing dengan handuk abu-abu miliknya. Memang basah, tapi ia pikir itu tidak akan menjadi perkara tragis bagi si kucing. Kucing akan lebih hangat, dari pada tidak sama sekali ditutupi apapun.

"Kucing, rumahmu dimana?" Gadis itu mengajak kucing mengobrol lagi. Hitung-hitung agar tidak terlalu sepi. Karena hujan, jalanan jadi tidak ramai. Lenggang mencekam, untuk itu mengobrol dengan kucing pilihan terbaik.

"Kau tak punya rumah?" Ia sempat tidak percaya. "Jadi, kau tidur dimana?" Dengan datar kucing itu menatap kedua mata gadis cantik itu.

Gadis itu menghela nafas. "Ah ... kalau saja ibuku mengijinkanku memelihara kucing, pasti aku akan membawamu pulang bersamaku." Mimik wajahnya menjadi sedikit kesal. "Aku pernah membawa kucing ke rumah, kau tahu saat ibuku melihatnya ia langsung marah. Benar-benar yang marah sekali." Ia hembuskan nafas kasar. "Menyebalkan sekali, kan?"

"Hei, kucing lihat aku." Ia mengarahkan kepala si kucing menghadap ke arahnya kembali. Sedikit kesal sebab selama gadis itu bicara kucingnya hanya memandangi hujan, bukan menatap padanya. "Kalau sedang ada yang berbicara denganmu itu di tatap orangnya, jangan melihat yang lain, itu sakit, rasanya seperti tidak dihargai omongannya. Kau mengerti?" Lalu gadis itu menganggukkan kepala si kucing. Lantas ketika mengangguk keterpaksaan, ia tersenyum.

"Ku beri nama pipi untukmu. Suka tidak?" Ia menunduk, menyetarakan pandangannya pada si kucing. Kucingnya jadi tidak perlu menengadah ke atas, ini posisi nyaman, meskipun gadis itu yang sedikit tidak nyaman karena terus-terusan menunduk ke bawah.

Kucingnya bersuara meong meong.

Gadis itu tersenyum manis. "Pipi. Sekarang namamu pipi. Pipimu itu gemas sekali, gembul. Jadi, ku beri nama pipi untukmu." kedua tangannya mencubit pipi si kucing. Ia meraung kesal tak suka, gadis itu pun segera berhenti.

Sekarang ia menyadarinya, bahwa hujan telah berhenti sepenuhnya. Ia menghilang pergi ke tempat lain. Gadis itu bersyukur, bernafas lega. Akhirnya bisa pulang. Tapi, tak berapa lama ia pun kembali sadar, jika dirinya pergi maka akan kehilangan kucing ini. Tidak akan bertemu lagi dengannya, bisa saja besok atau lusa atau kapanpun itu bertemu, tapi kan tidak menjamin dengan pasti.

Lemas, seolah akan kehilangan kekasih yang teramat dicintainya, padahal ini hanyalah sekedar kucing yang baru ia temui satu jam yang lalu. Oh, beginilah. Tidak memandang bulu, mau itu dengan manusia atau hewan, kalau sudah cinta memang tak bisa di toleransi lagi. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Kapasitas level kesukaan sudah tingkat tinggi, jadi ya begini. Sangat berlebihan.

Gadis itu menunduk "Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu lagi." si kucing manis memandangi gadis itu dengan serius, mungkin tahu kalau gadis berhati malaikat itu tengah berbicara tentang perpisahan, jadi kucingnya menatap dengan mimik sedikit menekuk. "Jaga dirimu baik-baik, kalau hujan berteduh, jangan biarkan dirimu kedinginan. Nanti kau bisa sakit." Gadis itu mengelus pucuk kepala si pipi---nama kucingnya. Rasanya seperti sedang memberikan nasihat pada anaknya sendiri. Terlalu banyak menonton drama korea begini.

Untuk yang terakhir, gadis itu mengecup kening si pipi. Lalu, berdiri sambil membopong kucingnya. Setelah itu, ia letakan kucingnya di samping pintu masuk cafe. Samar-samar ia melihat kucing itu sedikit menampilkan raut wajah kecewa, pipi murung. Mungkin tahu kalau seseorang yang telah menemani dirinya akan pergi, dan dia sedih. Kalau begini terus gadis itu jadi tidak tega melihatnya. Tidak boleh. Ia harus segera pulang sekarang, sebelum ibu nya akan menyerangnya di telefon.

Gadis itu pergi, berjalan meninggalkan kucing yang sedang meringkuk kedinginan.

Selepasnya pergi, pemuda itu menurunkan ponselnya lalu berlabuh memandangi gadis yang berjalan cepat meninggalkan tempat ia berteduh sedari tadi. Dia tidak bisa menahan lagi, sudut bibirnya tertarik ke atas. Lalu bersuara. "Menarik."

02. 9-TEEN part 2 : pertama di januari

Hari senin di awal bulan Januari. Dua minggu telah usai, menikmati waktu kosong entah untuk hal yang berguna maupun tidak, itu sudah berakhir dari hari ini. Bersenang-senang, bersantai-santai dengan perasaan tenang tak lagi ada. Kini, sudah saatnya menjalankan rutinitas yang melelahkan kembali. Otak akan terus memutar, pikiran akan bekerja giat, tubuh harus kuat, tidak boleh lemah meski akan menyita seluruh raganya dari pagi hingga menjelang sore.

Langit cerah namun tidak berawan, kalau cuacanya seperti ini jadi inginnya bersantai di rumah, dengan berbagai cemilan sebagai pelengkapnya, lalu tak lupa televisi dan ponsel harus menyala aktif. Membayangkan bisa melakukan hal itu sekarang, sangatlah mustahil. Bisa saja terjadi, tapi kecil kemungkinan. Mungkin, dengan mengingat ini hari pertama masuk sekolah lagi, bisa saja pulang lebih awal, kalau itu besar kemungkinan akan terjadi. Tapi, mau akan pulang lebih awal atau tidak pun Naina takkan bisa melakukan kegiatan yang di inginkan di rumah. Naina berbeda dengan yang lain.

Gerbang utama sekolah terpampang dengan teramat megahnya. Mewah tak terkalahkan. Menjunjung tinggi kasta pendidikan tingkat atas. Unsur artistik di buat sedemikian cantik, bangunannya menjulang ke atas seperti gedung-gedung perusahaan terkenal dunia. Halaman yang luas akan sampai ke koridor mampu menyita waktu sedikit lama, apalagi kalau harus menuju ruang kelas, sudah seperti sedang berjalan dari Jeju menuju Seoul, lamanya minta ampun.

Kira-kira dua puluh langkah kaki lagi dengan gerakan sedikit cepat akan bisa sampai di gerbang sekolah. Namun, kali ini hanya ada langkah kaki pelan dengan tempo lambat penuh yakin. Berjalan beriringan dalam diam. Ada dua jawaban dari pertanyaan itu. Pertama, diam karena tidak ada obrolan yang bisa menjadi topik pembicaraan seru, yang kedua hanya ingin diam saja. Dan, pikiran Naina tertuju pada jawaban nomor satu dan dua.

Diam itu mencekam, kata kerja yang menyebalkan bagi Naina. Menurutnya, diam itu sebuah ke-tidakharusan yang ada di dalam kosa kata kamus. Diam, sebuah kata yang menuntut seseorang untuk tidak berbicara sepatah kata pun, menjadi memendam keinginan untuk mengungkapkan cerita.

Naina tak suka dalam keadaan membosankan, jadi ia menarik bibir, membukanya dengan pelan, “sebentar." Hanya sebait kata, tapi mampu mengalihkan keseriusan dua gadis yang tengah berjalan bersamanya.

Naina berhenti, dan itu juga menjadi sengaja membuat mereka ikut berhenti berjalan.

Ekspresinya sama, terukir jelas meminta kejelasan dari sebuah kalimat yang baru saja Naina katakan untuk mereka. Mimik wajahnya mengalir sebuah rasa penasaran yang teramat besar. Seolah dari raut wajahnya itu sedang berkata. “Apa?"

"Cyra dimana? Aku baru sadar dia tidak bersama kita." kata Naina dengan nada santai, ekspresi datar tak berdosa.

Licia—gadis berambut panjang itu terdengar menghela nafas. "Astaga, ku kira tadi penting jadi aku berhenti, tapi malah hanya ingin bertanya keberadaan anak itu dimana, tahu begitu aku lanjut berjalan saja." Tapi, anehnya setelah berkata seperti itu, ia tetap masih diam ditempat, tidak bergerak melanjutkan perjalanannya seperti barusan ia katakan.

"Dasar, mengagetkan saja." timpal Jiya—gadis berambut panjang se-pantat. Sungguh, rambutnya panjang sekali sampai Naina kalah sendiri. Tidak pernah di potong pendek, sekalinya dipotong pun hanya satu jengkal jari saja. Dia suka sekali dengan rambut yang panjang.

Naina tersenyum tipis. “Maaf." Menjeda sebentar. "Kau tidak dengan Cyra seperti biasanya?" lanjutnya sembari menyenggol siku Licia yang berada di sisi kirinya.

Jadi, mereka bertiga bertemu dalam satu waktu baru saat pertigaan jalan menuju kawasan sekolah. Selebihnya, berjalan sendiri-sendiri. Tidak bersama. Dan, Licia rumahnya lumayan dekat dengan Cyra, dibanding Naina dan Jiya. Ia juga yang rumahnya melewati rumah Cyra, searah. Tidak seperti Naina dan Jiya yang beda arah dengan mereka berdua.

Licia menatap ke depan. "Tidak." Lalu, ia kembali menatap Naina, “tadi aku lupa tidak kerumahnya dulu."

Jiya mulai menginstruksi untuk berjalan kembali, seolah jadi ketua pemandunya, membuat Naina dan Licia sebagai siswi penurutnya. Mereka akhirnya mulai melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi akan sampai.

Tidak seperti yang awal, diam penuh rasa bosan di ujung tanduk, untuk perjalanan kali ini diisi dengan topik obrolan yang sebenarnya tidak perlu dibahas serius, tapi ini lebih baik, formalitas menghilangkan kediaman. Dari pada tidak sama sekali berbicara, menjadikan Cyra sebagai topik pembahasan itu seru.

"Naina….” Jiya memanggil, dengan sigap Naina menoleh ke arahnya. "Kau tak perlu cemas memikirkan Cyra dimana, palingan juga anak itu masih tidur nyenyak di dalam dunia mimpi khayalannya." Kemudian, ia melirik jam yang bertengger manis di pergelangan tangan kirinya. "Jam enam lebih dua puluh, yakin seratus persen anak itu sedang bermimpi hidup bahagia dengan Dareen kesayangannya itu." Dari penuturannya, Jiya seakan tahu betul kebiasaan Cyra sejak dulu yang masih belum berubah sampai saat ini.

Licia terkekeh. "Tapi kasihan, kehidupan nyatanya tidak bahagia dengan Dareen.” Sebetulnya kalimat itu sensitif, lebih tepat jika dengan raut wajah yang memelas betul, tapi Idira santai dengan cengengesan gembira.

Sembari merapikan poninya yang tersibak angin, Jiya kembali bersuara, “mau bahagia bagaimana kalau setiap bertemu pasti selalu bertengkar, entah karena kesalahan apa, pokoknya pasti ada saja yang jadi bahan pertengkaran." Ia menjeda sebentar. "Aku sampai lelah kalau dengar mereka sedang berdebat." Jiya memegangi kepalanya, bereaksi seakan ia begitu pusing, padahal tidak sama sekali.

"Tapi anehnya, mereka itu tidak pernah putus sekalipun bertengkar setiap hari. Aku benar-benar heran, biasanya kan salah satu pihak minta putus karena sudah tidak tahan bertengkar terus, ini yang terjadi baik-baik saja." Licia menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda ia tidak percaya dengan kisah cinta Cyra dan Dareen. Teman mereka.

"Itu karena mereka sudah nyaman dengan keadaan seperti itu. Maksudku, karena selalu bertengkar mereka jadi tahu bagaimana keluar dari permasalahannya dengan baik, tidak perlu dengan kalimat berpisah... mereka tetap mampu mempertahankannya sebab mereka sudah sering melalui banyak masalah dan selalu berakhir dengan baikan lagi." Ia hembuskan nafasnya pelan. "Orang-orang seperti mereka itu malah tidak suka kalau tidak ada masalah, pasti membosankan baginya. Kalau jalannya mulus terus, tidak pernah ada masalah, tidak pernah bertengkar itu terasa tidak ada menantangnya sama sekali dalam hubungannya."

Jiya bertepuk tangan sambil menggeleng-geleng kan kepalanya. "Wah, Naina. Kau memang pintar." Diakhir kalimat ia mengacungkan ibu jarinya di depan wajah Naina, membuat pribadi itu sedikit tersanjung, lantas tersenyum tipis.

Naina kira pembahasan ini sudah berakhir, tapi ternyata Jiya masih ingin berbicara, menuntaskan segalanya sampai akar. "Tapi yah, dari yang kutangkap, Dareen itu sebenarnya sudah seperti ingin putus dengan Cyra, hanya saja dia yang masih takut bilangnya. Ya, kalian tahu sendiri se-menakutkan apa Cyra kalau sudah marah."

Naina menahan tawa. "Dareen minta putus, Cyra langsung menendang selakangan Dareen sampai tidak bisa berjalan berminggu-minggu."

Kemudian, mereka bertiga tertawa begitu kencang. Lepas tak tersisa. Melupakan kalau waktu mulai berjalan cepat, mereka masih diam di tempat dengan tawa meledak hanya karena satu pembahasan.

Seolah ada suara petir menyambar ketika sedang bermain ponsel. Diam tak bergerak sama sekali. Tawa meledak langsung menghilang di telan bumi.

Mereka bertiga kaget bukan main. Teriakannya benar-benar membuat telinga menjadi sakit. Mereka tahu, pemilik suara ini siapa. Kemudian, mereka bertiga kompak berbalik badan, menyempurnakan intuisi dengan sebuah hasil yang benar seratus persen.

Gadis itu berlari menghampiri yang menjadi penyebab telinga panas karena sudah pasti sedang dibicarakan lama-lama. Ketiganya langsung menghembuskan nafas lelahnya bersama.

Benar, pemilik suara cempreng menggelegar itu berasal dari gadis berambut pendek bernama Yelena Cyra Lovisa.

Cyra sudah berada di hadapan mereka bertiga. Yang jelas wajahnya sudah tertangkap penuh amarah, kedua tangannya bertolak pinggang. Siap-siap detik selanjutnya Naina, Idira dan Jiya akan kena amuk darinya.

"Kalian benar-benar!!!" Seperti dugaan Naina. Cyra sudah memulai aksi marahnya. "Sumpah yah, gila. Aku ditinggal sendirian. Sahabat macam apa kalian hah?!!" Ia bersulut kesal.

Naina sudah melongo, akan mulai bersuara, tapi malah Cyra kembali berbicara lagi. Ia tutup mulut rapat-rapat.

Jari telunjuknya mengarah pada Licia. “Kau—" Lalu, ia menurunkan jari telunjuknya kembali kebawah. “kenapa tidak ke rumahku seperti biasanya. Aku menunggumu berjam-jam di teras rumah." Naina menyadari, Cyra baru saja menyebut Licia dengan bukan namanya, tapi dengan sebutan "kau" saja. Apa ia sebegitu kesalnya?

Licia menelan ludah samar. "Itu, aku lupa. Sorry. hehe." Diakhir kalimatnya ia masih sempat-sempatnya menyengir tenang.

Cyra tidak menjawab, ia diam. Tapi, kemudian ia menabok pantat Licia berkali-kali. Tentu saja, Licia meringis kesakitan. Naina yang berada di sebelah Licia was-was, takut nanti juga akan kena tamparannya. Jiya pun begitu yang terlihat dari kacamata Naina, ekspresi wajahnya seperti ia ingin lari tapi tak bisa.

Insting Naina benar lagi. Setelah puas menampar Licia, ia kembali melanjutkan misinya dengan sempurna. Pertama menabok Jiya, terhitung sampai empat kali. Dan keduanya, ia menampar pantat Naina, kanan dua kali, kiri dua kali, dan paha satu kali.

Ini seriusan, tamparannya keras. Luar biasa sakitnya. Pantat dan paha merasakan nyeri hebat.

Naina tertawa kecil, itu karena Cyra lucu. Sehabis menabok pantat kami bertiga. Ia terlihat mengibas-ibas-kan tangannya di udara, bergerak ke sana kemari, Naina yakin telapak tangannya sudah merah menyeluruh dengan kobaran sakit tak terbendung.

Ingat satu hal di dunia ini. Manusia itu suka dengan kejahatan yang dibalas dengan kejahatan. Suka sekali melakukan balas dendam dengan apa yang menurutnya itu tidak bisa di diamkan begitu saja. Seperti dalam pepatah "mata ganti mata, gigi ganti gigi''. Kalau sudah sakit sekali, balas dendam adalah cara terbaik sebagai pembalasannya.

Licia memaksimalkan apa yang akan ia lakukan. Jadi, kedua tangannya ia gesek-gesekan berbarengan, lalu ia tiup-tiup dengan keras. Setelah itu, tanpa memikirkan bagaimana Cyra akan marah, Licia langsung menampar pantat, paha Cyra berulang kali dengan sangat keras.

Melihat Licia berani mengambil langkah balas dendam, Jiya tak mau kalah, ia juga harus melangkah berani. Resiko Cyra akan marah itu urusan belakang, yang terpenting sekarang ia harus melakukannya dulu, membuat Cyra merasakan sakit seperti yang Jiya rasakan. Jiya menampar pantat Cyra berkali-kali.

Pembalasan dendam terlampau singkat itu berakhir. Singkat namun tak dapat disimpulkan juga dengan kurung waktu secepat itu tidak merasakan apa-apa. Sakitnya terasa sekali. Meski begitu, baik pihak yang tersakiti maupun yang disakiti sama-sama serasi berbaikan kembali.

Jika pembalasan dendam sudah berakhir, maka berganti menjadi persahabatan dimulai kembali dengan perasaan baik-baik saja tak ada masalah apapun.

"Kau tidak menabokku juga, hmm?" ucap Cyra pada Naina.

"Tidak, untuk apa. Aku memang sakit, tapi aku tidak ingin kau sakit." Naina menatap Cyra yang sedang merangkul pundaknya.

"Ah, Naina Ashaliya memang terbaik." Cyra semakin mempererat rangkulannya, kemudian ia tersenyum bangga pada Naina.

"Kau terlalu baik, Na.” ucap Jiyeon

Licia bersuara. "Aku kira setelah liburan kau menjadi berbeda, ternyata masih sama."

Naina bingung. Ia menyerngit tak paham. "Maksudmu?"

Licia menghela nafas lelah. "Baik itu bagus, tapi terlalu baik itu tidak bagus. Dan kau itu yang terlalu baik."

Naina diam, tidak menjawab lagi. Ia jadi teringat semuanya, tentang orang-orang yang selalu mengatakan kalimat itu padanya. Bukan kali ini saja, tapi sudah sering Naina mendengar kalimat seperti itu untuk dirinya.

Apa benar yang Licia katakan barusan,

Kalau terlalu baik itu tidak bagus.

Naina melamun. Ia jadi berfikir, apakah kepribadiannya yang terlalu baik itu memang harus ia hilangkan?

Jadi, sekarang Naina hanya harus baik saja jangan terlalu baik. Begitu kah?

03. 9-TEEN part 3 : kedatangannya

📚................♡✿

Bagai pangeran yang baru saja turun dari istana di langitnya, ia singgah ke bumi untuk mencari sebuah kisah hidup berbeda. Dengan karisma yang sempurna, ia berhasil menyihir semua orang tunduk serius padanya. Tak ada satupun orang yang tak menatap ke arahnya.

Berjalan dengan pelan namun tetap indah di pandang, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya dengan gaya cool, pandangan mata yang tajam serius menatap ke depan, auranya terpancar dengan tegas, tegap penuh kewibawaan, serta ketidakwarasannya ia begitu lihai menghancurkan relung hati dengan mengacak-acakan rambut hitam tebalnya itu dengan santai di hadapan para kaum hawa yang melihatnya.

Halaman luas jadi sempit ketika pemuda itu benar-benar nyata masuk ke dalam tempat penuh dengan pelajar yang sedang menuntut ilmu. Mereka enggan melewatkan sepersen momen untuk berkerumun memandangi yang tampan rupawan itu pun dengan kamera ponsel yang tak lupa mereka keluarkan dengan sigap mengambil daya fokus ke arahnya.

Menjadi sebuah kejadian tak masuk akal, ingin berfikir logis namun masih jadi aneh. Tak dapat di pungkiri sekiranya mereka masih belum percaya seratus persen dengan adanya pemuda itu yang masuk tiba-tiba di tengah jam istirahat sekolah, dengan lebih diluar nalar ia memakai seragam sekolah SMA Hanguk.

"Astaga, dia tampan sekali."

"Bukankah dia model tampan Akira Pramudya?"

"Benar, dia Akira Pramudya, si anime hidup itu.”

"Astaga, apa dia manusia?"

"Lihat, dia tampan sekali. Aku jadi ingin menjadi kekasihnya."

"Ya Tuhan, sekolah kita akan viral sebentar lagi. Masuk berita televisi, berbagai media sosial pasti sedang ramai membicarakan Akira yang sudah pasti langsung jadi trending topik twitter. Akhirnya, sekolahku jadi terkenal dan populer."

"Pasti habis ini akan banyak wartawan yang datang kesini. Oke, sekarang aku harus bersiap-siap diri untuk selalu tampil cantik di setiap detiknya. Oh, astaga ... Aku akan jadi orang yang sibuk sekali."

Begitulah segelintir orang berparas cantik menyodorkan kepuasannya tentang apa yang mereka lihat saat ini. Perwujudannya yang teramat sempurna, menjadi masuk akal bila semua orang memuji-mujinya dengan kalimat berlebihan.

"Ini pasti arti dari mimpiku semalam." ucap Cyra berada di salah satu baris kaum hawa yang tengah berjejer rapi di pinggir jalan.

Jiya menoleh ke samping kanan. "Memangnya kau bermimpi apa?" Nadanya terdengar sangat tidak ingin merespon, tapi bibirnya seakan ingin berucap.

Cyra tersenyum. “Bertemu pangeran." Semangatnya berapi-api ketika menceritakannya.

Dengan malas Jiya merespon kembali. "Dan Akira Pramudya itu pangerannya." Dagunya menunjuk pada si tampan yang tengah berjalan menuju koridor sekolah.

Cyra kembali bersulut riang, gembira bukan main tentang mimpinya tadi malam yang seolah terjadi hari ini. "Ya, kau benar. Dan aku itu ...."

"Dan kau upik abu nya Akira Pramudya." ucap Licia memotong ucapan Cyra.

Tentu saja ia tak terima dengan perkataan yang di lontarkan Licia. Cyra marah. "Ya! Licia! Kau ini benar-benar. Aku ini putri mahkota, pasangan pangeran itu." Cyra menghentakkan kakinya begitu keras ke lantai. "Enak saja kau bilang upik abu."

"Baik, putri mahkota."

Untuk memaksimalkan apa yang ia inginkan, Cyra menghela nafas panjangnya. Lalu, kedua tangannya bergerak menutupi kedua samping bibirnya. "3 B1. Masuk kelas itu, aku akan menunggumu tampan." Cyra berteriak keras sembari kakinya berjinjit, meloncat-loncat bagaikan ia sedang berada di sebuah kelab yang ramai orang dan harus berjuang diri agar suaranya terdengar jelas, tidak kalah dengan suara-suara orang lain. Padahal, suasananya berbeda jauh, yang terjadi sekarang ia sedang meneriaki orang yang tengah berjalan santai di depannya, tidak ada suara bising menganggu, tubuhnya pun sama rata dengannya, agaknya aneh dengan cara ia melampiaskan kegirangannya itu.

Jari telunjuknya mendorong dahi Cyra ke belakang. "Ingat Dareen-mu itu." Jiya menatap sebal.

Cyra menepuk pundak Jiya dengan ramah. "Tenang, aku ingat kok. Tapi dia kan tidak tahu, jadi tak apa kalau aku ingin Akira." Alisnya terangkat naik, kemudian tersenyum licik.

Jiya melongo kaget. Tidak percaya dengan semua yang dikatakan Cyra barusan. Terlalu gila. "Dasar, playgirl."

"Iya, playgirl kelas kakap." Licia membeo.

📚...............♡✿

Naina berdiri tegap, satu tangannya memeluk dua buku tebal yang baru saja ia ambil dari perpustakaan, berniat untuk membacanya di rumah nanti. Kini, Naina tersenyum ramah pada wanita yang tengah duduk di depannya. "Halo, bu Yoona. Bagaimana kabarnya?"

Wanita yang memiliki nama Yoona itu tengah membolak-balikkan catatan nilai. "Baik." Kemudian, ia menutup buku catatan itu dan menaikkan pandangannya untuk bertatap muka dengan Naina. "Kau sendiri bagai ...." Ia kaget, lalu menatap Naina dari atas sampai bawah dengan gelengan kepala berkali-kali heran. "Kenapa kau jadi sekurus ini?" Sembari kedua tangannya sibuk memegangi tubuh Naina sampai goyang beberapa kali karena terlalu kencang.

"Sekarang diet itu penting, bu guru." Nainatersenyum kikuk.

Kini, Yoona tertawa kecil. "Ada-ada saja kau ini." Jari telunjuknya terangkat ke atas, berada di depan wajah Naina. “Tapi ingat, jangan berlebihan. Kesehatanmu itu yang paling penting."

Naina mengangguk disertai senyum tipis. "Baik, aku akan mengingatnya.”

"Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu.” Naina membungkukkan badannya sopan. Lalu, ia berjalan keluar dari ruangan itu.

Akrab dengan guru itu penting. Tak masalah jika banyak orang yang mengatakan itu hanya sebuah pencari perhatian belakang. Mungkin, mereka memang tidak cukup pandai bersosialisasi dengan para guru. Jadi, pilihan terbaik hanya memberi sebuah kritikan pedas.

Jadikan guru itu sebagai orang tua keduamu. Teman dekat untuk mengobrol keluh kesah tentang hidup. Bukan sebagai musuh yang harus kau benci dengan berlebih.

Melangkahkan kaki dengan langkah pasti, menghitung setiap langkahnya pada setiap satu kotak lantai yang dilaluinya menjadi salah satu kebiasaan Naina Ashaliya. Ia suka menghitung langkah kakinya sendiri ketika berjalan. Tidak butuh alasan di setiap apa yang kita lakukan, bukan? Setiap manusia memiliki kebiasaan yang aneh-aneh. Dan itu wajar dimiliki.

Karena terlalu tenggelam dalam menghitung langkah kakinya, Naina tak sengaja menabrak orang di depannya.

Bruk bruk

Dua buku tebal yang berada di pelukan Naina pun jatuh, mengenai kaki orang itu.

"Argh...." Ia meringis kesakitan. Lalu, menendang buku-buku itu jauh dari kakinya.

Dengan cepat, Naina langsung mengambil dua buku miliknya yang tengah tertidur di atas lantai bersih itu. Naina menatap pemuda itu sebentar, kemudian menunduk dan berkata, “maaf, aku tak sengaja." Lalu, ia diam. Menunggu responnya.

Pandangannya tertuju pada nam tag yang terletak di sebelah kanan.

Naina Ashaliya

Pemuda itu mengangguk samar, lalu kembali menatap Naina dengan serius.

Naina semakin merasa serba salah, mungkinkah dia sedang menatapnya begitu lama supaya bisa mengingat wajahnya agar nanti bisa di laporkan atas perbuatan tak sengaja menabraknya? Tapi, apa itu tidak berlebihan. Maksudnya, menabrak seseorang itu kan hal yang wajar. Agaknya cukup aneh bila mana pria itu ingin berbuat balas dendam padanya suatu saat nanti tentang kejadian barusan.

Cukup berfikir yang tidak-tidak. Naina menunduk sekali lagi. Ia bersuara pelan, “maaf sekali lagi." Kemudian, ia pergi.

Ketika Naina sudah benar-benar menghilang. Pemuda itu menoleh sedikit wajahnya ke samping. Dengan datarnya ia berkata lirih. "Aneh."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!