My Toni Is Mr Anthony
TAP TAP TAP
"PERMISI... PERMISI.... " Suara terburu - buru dan terdengar mendesak sudah terdengar dari jarak kurang lebih lima meter di belakang Eliana.
Ups! Eliana buru - buru menyingkir. Dia berdiri menempel tembok, memberi jalan para perawat pria dan petugas medis yang mendorong brankar menuju UGD.
"MINGGIR... MINGGIR.... "
Wajah - wajah panik dan gugup berseliweran bersamaan dengan meluncurnya brankar menuju UGD. Siapa dia? Orang pentingkah? Eliana bertanya - tanya, matanya mengikuti brankar yang melintas cepat dihadapannya.
Seorang pasien berambut kecokelatan nampak terbaring di brankar yang sedang di dorong oleh petugas medis, wajahnya begitu pucat seperti orang yang telah meninggal.
PLUK!!
Sebuah tas kumal terjatuh dari brankar yang terus berjalan cepat tanpa sempat berhenti. Pintu UGD terbuka dan langsung tertutup begitu pasien masuk ke dalam ruangan itu. Bersamaan dengan pekikan tertahan orang - orang yang ada di dekat Eliana.
"Iiissh."
"Ouch."
"Yuck."
"Iiiih... menjijikkan."
Sorot mata meremehkan ditujukan pada seonggok tas yang tak berdosa itu. Tak seorang pun berniat mengambil tas itu, mereka memilih bergeser dan pura - pura tak melihat benda itu.
"STOP! STOP! Tunggu sebentar." panggil Eliana.
Dia berjalan cepat, menyambar tas itu dan buru - buru menyusul brankar yang sudah masuk ke dalam ruang UGD.
"Jangan dekat - dekat! Dia disuntik obat bius karena selalu berontak." kata salah seorang perawat yang tadi ikut mendorong brankar. Matanya melirik kearah tas yang dipegang Eliana.
"Buang saja benda itu ke tempat sampah." Petugas itu menunjuk tas tadi dengan dagunya, hidungnya mengernyit seperti mencium bau busuk, kemudian dia kembali larut dalam kesibukannya.
Eliana tak merespons. Dia terpaku di tempatnya, mengamati situasi UGD yang tak biasanya. Semua orang nampak begitu serius. Tak pernah sebelumnya suasana begini tegang hanya karena kedatangan seorang pasien. Eliana paham, kalau mereka dituntut untuk bekerja cepat dan cermat. Tapi tidak pernah tercipta kepanikan seperti ini.
"Katanya dia penjahat."
"Aaaa... No, it scared me."
"Hey, semua rumah sakit menolaknya. Kenapa Dokter Nathan menerimanya?"
"Kecelakaankah?"
"Amnesia. Rujukan dari rumah sakit daerah."
"Tanpa identitas."
"WHAT? Nggak punya ID?"
"Yeah, bisa saja dia buronan."
"Aku tak mau berurusan dengannya."
Dari tempatnya Eliana menatap pasien itu. Tak nampak tanda - tanda orang itu adalah seorang penjahat. Seraut wajah dengan alis mata yang indah seperti dilukis, rahang yang kokoh dan lengannya yang kekar menampakkan kesan manly.
Kalau saja dia membuka mata, mandi dan berganti pakaian sudah pasti dia akan tampan dan terlihat lebih menyenangkan.
Ehm, tapi memang benar kata para perawat dan dokter tadi. Pasien itu nampak begitu dekil dan kotor. Rambutnya yang coklat sedikit panjang terlihat lepek dan menyatu satu sama lain. Belum lagi celananya yang robek di lutut.
Oh, ya ampun. Petugas yang mendekat juga mengernyitkan hidungnya, mungkin saja karena aroma tak sedap yang keluar dari tubuhnya.
"Dokter Nathan, pasien ini ditaruh di kamar mana?" tanya seorang Dokter jaga pada Dokter Nathan yang tumben - tumbenan mampir ke UGD.
"Bawa saja ke kamar nomor nol. Biarkan Fianni yang merawatnya." jawab Dokter Nathan cepat.
Hah? Fianni membelalak, tangannya gemetar.
"Tapi aku takut, Dok. Katanya dia suka berontak dan kasar." keluh Fianny, seorang perawat yang baru lulus. Dia hampir menangis.
Eliana terkesiap, rasa iba semakin menyelusup masuk ke dalam rongga hatinya yang paling dalam. Bukan hanya karena mendengar penolakan Fianny tapi juga mengenai kamar nomor nol.
Yang benar saja, bagaimana mungkin Dokter Nathan setega itu. Kamar itu memang sengaja dipersiapkan oleh rumah sakit untuk penjahat dan gelandangan.
"Mau bagaimana lagi? Dia nggak ada identitas dan hilang ingatan." gumam seorang Suster.
"Tapi biasanya pasien yang masuk sana tak akan sembuh." sahut lainnya.
"Hu-um, tapi dia hanya diberi tempat tidur dan dibiarkan tanpa perawatan memadai."
"Yah, terpaksa karena identitasnya masih belum ketauan."
Ya Tuhan! Bisik - bisik itu kembali terdengar dan semakin mengusik sisi kemanusiaan yang ada di dalam hati Eliana. Hatinya terpanggil untuk menjalankan tugasnya sebagai perawat. Tak perlu upah atau jabatan apa pun. Merawat seseorang hingga sembuh selalu menjadi kebanggaan tersendiri baginya.
"Dokter Nathan." sapa Eliana kepada kepala rumah sakit itu.
"Ya?" Tanya Dokter Nathan ramah.
Namun sesaat berikutnya, alisnya berkerut.
"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu tidak sedang bertugas di UGD kan?" tanyanya dengan sorot mata tajam.
"Eh... ehm... Saya tadi kebetulan lewat dan melihat tas pasien yang terjatuh. Saya cuma bermaksud mengantarkannya kesini." Tangan Eliana terangkat, menunjukkan tas yang warnanya entah coklat, hitam atau mungkin saja abu tua.
Euh! Dokter Nathan mengerutkan hidungnya, jijik.
"Dokter, saya ada permintaan." kata Eliana cepat - cepat sebelum Dokter Nathan meninggalkan ruangan itu.
"Ya?" jawab Dokter Nathan, nada suaranya lebih rendah.
"Biarkan saya yang merawat pasien itu. Bolehkah?" ucap Eliana sambil memasang senyum termanisnya. Berharap Dokter paruh baya itu akan mengabulkan permintaannya.
Dokter Nathan menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, tangannya masuk ke dalam kantong snelli yang dipakainya.
"Kamu mengenalnya?"
Eliana terdiam. Boro - boro mengenalnya, melihatnya saja baru pertama kali ini.
Eliana menggeleng.
"Atas dasar apa kamu mau merawatnya? Dia pasien kamar nomer nol. Kamu nggak akan mendapat prestasi apa pun dengan merawatnya." Tanya Dokter Nathan. Pandangannya lekat menatap perawat cantik di hadapannya.
Tak bisa dipungkiri, dalam pekerjaan apa pun selalu ada jabatan yang akan diperebutkan. Namun suster cantik di hadapannya ini seperti tak menyadari potensinya untuk menjadi kepala perawat di rumah sakit ini.
"Kemanusiaan, Dok." jawab Eliana yakin.
Dia membalas tatapan Dokter Nathan dengan tatapan tak tergoyahkan.
Sebenarnya dari awal bertemu, Dokter Nathan sudah menyadari kalau Suster di hadapannya tak hanya cerdas dan cekatan tapi juga berhati malaikat. Bukan saja terkenal keramahannya tapi keahliannya dalam mengatasi pasien - pasien sulit patut diacungi jempol. Salah satu suster kesayangan para pasien dan favorite para dokter.
"Hey, Eliana. Kamu jangan sembarangan." tegur salah seorang Dokter muda yang ada disitu.
"Yup. Biarkan perawat baru yang merawatnya, tugasmu lebih banyak dan penting." sahut seorang perawat lainnya.
"Bagaimana Dokter?" tanya Eliana lagi. Wajahnya penuh harap, dia tak mempedulikan tatapan aneh orang - orang di sekitarnya.
"Tapi kamar itu seharusnya dipegang oleh perawat yang baru lulus." jawab Dokter Nathan.
"Tapi Dokter, tak seorang pun berani merawatnya. Apa dokter mau membiarkannya mati disini? Apa kata media kalau tau RS St Paul yang terkenal ini menelantarkan pasien? Dokter mau mempertaruhkan reputasi rumah sakit ini?"
Dokter Nathan berpikir sejenak. Eliana benar, saat ini setiap berita negatif bisa menyebar cepat dalam hitungan detik melalui medsos. Dia bisa saja menolak pasien itu seperti yang dilakukan oleh rumah sakit lain. Tapi visi dan misi rumah sakit St. Paul adalah melayani. Lagipula, hati nuraninya setuju dengan Eliana.
"Baiklah."
Mata Eliana berbinar. "Terima kasih, Dokter. Saya berjanji tak akan lalai dengan tugas utama saya."
"Selamat melayani." Dokter Nathan menepuk pelan bahu Eliana dan berlalu.
Bersambung ya....
Note :
Snelli \= jas dokter
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Tini Laesabtini
Ini novel ke 2 yg aku baca setelah I love you sis
Aku udh klik profilemu, novel2mu udh aku taro difavorite yg on going semoga sampe tamat jg ya....
2023-02-09
1
Emhaali
akuh mampir author...
2022-11-04
1
Nanda Lelo
cus mulai 🙂😁
2022-11-02
1