TAP TAP TAP
"PERMISI... PERMISI.... " Suara terburu - buru dan terdengar mendesak sudah terdengar dari jarak kurang lebih lima meter di belakang Eliana.
Ups! Eliana buru - buru menyingkir. Dia berdiri menempel tembok, memberi jalan para perawat pria dan petugas medis yang mendorong brankar menuju UGD.
"MINGGIR... MINGGIR.... "
Wajah - wajah panik dan gugup berseliweran bersamaan dengan meluncurnya brankar menuju UGD. Siapa dia? Orang pentingkah? Eliana bertanya - tanya, matanya mengikuti brankar yang melintas cepat dihadapannya.
Seorang pasien berambut kecokelatan nampak terbaring di brankar yang sedang di dorong oleh petugas medis, wajahnya begitu pucat seperti orang yang telah meninggal.
PLUK!!
Sebuah tas kumal terjatuh dari brankar yang terus berjalan cepat tanpa sempat berhenti. Pintu UGD terbuka dan langsung tertutup begitu pasien masuk ke dalam ruangan itu. Bersamaan dengan pekikan tertahan orang - orang yang ada di dekat Eliana.
"Iiissh."
"Ouch."
"Yuck."
"Iiiih... menjijikkan."
Sorot mata meremehkan ditujukan pada seonggok tas yang tak berdosa itu. Tak seorang pun berniat mengambil tas itu, mereka memilih bergeser dan pura - pura tak melihat benda itu.
"STOP! STOP! Tunggu sebentar." panggil Eliana.
Dia berjalan cepat, menyambar tas itu dan buru - buru menyusul brankar yang sudah masuk ke dalam ruang UGD.
"Jangan dekat - dekat! Dia disuntik obat bius karena selalu berontak." kata salah seorang perawat yang tadi ikut mendorong brankar. Matanya melirik kearah tas yang dipegang Eliana.
"Buang saja benda itu ke tempat sampah." Petugas itu menunjuk tas tadi dengan dagunya, hidungnya mengernyit seperti mencium bau busuk, kemudian dia kembali larut dalam kesibukannya.
Eliana tak merespons. Dia terpaku di tempatnya, mengamati situasi UGD yang tak biasanya. Semua orang nampak begitu serius. Tak pernah sebelumnya suasana begini tegang hanya karena kedatangan seorang pasien. Eliana paham, kalau mereka dituntut untuk bekerja cepat dan cermat. Tapi tidak pernah tercipta kepanikan seperti ini.
"Katanya dia penjahat."
"Aaaa... No, it scared me."
"Hey, semua rumah sakit menolaknya. Kenapa Dokter Nathan menerimanya?"
"Kecelakaankah?"
"Amnesia. Rujukan dari rumah sakit daerah."
"Tanpa identitas."
"WHAT? Nggak punya ID?"
"Yeah, bisa saja dia buronan."
"Aku tak mau berurusan dengannya."
Dari tempatnya Eliana menatap pasien itu. Tak nampak tanda - tanda orang itu adalah seorang penjahat. Seraut wajah dengan alis mata yang indah seperti dilukis, rahang yang kokoh dan lengannya yang kekar menampakkan kesan manly.
Kalau saja dia membuka mata, mandi dan berganti pakaian sudah pasti dia akan tampan dan terlihat lebih menyenangkan.
Ehm, tapi memang benar kata para perawat dan dokter tadi. Pasien itu nampak begitu dekil dan kotor. Rambutnya yang coklat sedikit panjang terlihat lepek dan menyatu satu sama lain. Belum lagi celananya yang robek di lutut.
Oh, ya ampun. Petugas yang mendekat juga mengernyitkan hidungnya, mungkin saja karena aroma tak sedap yang keluar dari tubuhnya.
"Dokter Nathan, pasien ini ditaruh di kamar mana?" tanya seorang Dokter jaga pada Dokter Nathan yang tumben - tumbenan mampir ke UGD.
"Bawa saja ke kamar nomor nol. Biarkan Fianni yang merawatnya." jawab Dokter Nathan cepat.
Hah? Fianni membelalak, tangannya gemetar.
"Tapi aku takut, Dok. Katanya dia suka berontak dan kasar." keluh Fianny, seorang perawat yang baru lulus. Dia hampir menangis.
Eliana terkesiap, rasa iba semakin menyelusup masuk ke dalam rongga hatinya yang paling dalam. Bukan hanya karena mendengar penolakan Fianny tapi juga mengenai kamar nomor nol.
Yang benar saja, bagaimana mungkin Dokter Nathan setega itu. Kamar itu memang sengaja dipersiapkan oleh rumah sakit untuk penjahat dan gelandangan.
"Mau bagaimana lagi? Dia nggak ada identitas dan hilang ingatan." gumam seorang Suster.
"Tapi biasanya pasien yang masuk sana tak akan sembuh." sahut lainnya.
"Hu-um, tapi dia hanya diberi tempat tidur dan dibiarkan tanpa perawatan memadai."
"Yah, terpaksa karena identitasnya masih belum ketauan."
Ya Tuhan! Bisik - bisik itu kembali terdengar dan semakin mengusik sisi kemanusiaan yang ada di dalam hati Eliana. Hatinya terpanggil untuk menjalankan tugasnya sebagai perawat. Tak perlu upah atau jabatan apa pun. Merawat seseorang hingga sembuh selalu menjadi kebanggaan tersendiri baginya.
"Dokter Nathan." sapa Eliana kepada kepala rumah sakit itu.
"Ya?" Tanya Dokter Nathan ramah.
Namun sesaat berikutnya, alisnya berkerut.
"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu tidak sedang bertugas di UGD kan?" tanyanya dengan sorot mata tajam.
"Eh... ehm... Saya tadi kebetulan lewat dan melihat tas pasien yang terjatuh. Saya cuma bermaksud mengantarkannya kesini." Tangan Eliana terangkat, menunjukkan tas yang warnanya entah coklat, hitam atau mungkin saja abu tua.
Euh! Dokter Nathan mengerutkan hidungnya, jijik.
"Dokter, saya ada permintaan." kata Eliana cepat - cepat sebelum Dokter Nathan meninggalkan ruangan itu.
"Ya?" jawab Dokter Nathan, nada suaranya lebih rendah.
"Biarkan saya yang merawat pasien itu. Bolehkah?" ucap Eliana sambil memasang senyum termanisnya. Berharap Dokter paruh baya itu akan mengabulkan permintaannya.
Dokter Nathan menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, tangannya masuk ke dalam kantong snelli yang dipakainya.
"Kamu mengenalnya?"
Eliana terdiam. Boro - boro mengenalnya, melihatnya saja baru pertama kali ini.
Eliana menggeleng.
"Atas dasar apa kamu mau merawatnya? Dia pasien kamar nomer nol. Kamu nggak akan mendapat prestasi apa pun dengan merawatnya." Tanya Dokter Nathan. Pandangannya lekat menatap perawat cantik di hadapannya.
Tak bisa dipungkiri, dalam pekerjaan apa pun selalu ada jabatan yang akan diperebutkan. Namun suster cantik di hadapannya ini seperti tak menyadari potensinya untuk menjadi kepala perawat di rumah sakit ini.
"Kemanusiaan, Dok." jawab Eliana yakin.
Dia membalas tatapan Dokter Nathan dengan tatapan tak tergoyahkan.
Sebenarnya dari awal bertemu, Dokter Nathan sudah menyadari kalau Suster di hadapannya tak hanya cerdas dan cekatan tapi juga berhati malaikat. Bukan saja terkenal keramahannya tapi keahliannya dalam mengatasi pasien - pasien sulit patut diacungi jempol. Salah satu suster kesayangan para pasien dan favorite para dokter.
"Hey, Eliana. Kamu jangan sembarangan." tegur salah seorang Dokter muda yang ada disitu.
"Yup. Biarkan perawat baru yang merawatnya, tugasmu lebih banyak dan penting." sahut seorang perawat lainnya.
"Bagaimana Dokter?" tanya Eliana lagi. Wajahnya penuh harap, dia tak mempedulikan tatapan aneh orang - orang di sekitarnya.
"Tapi kamar itu seharusnya dipegang oleh perawat yang baru lulus." jawab Dokter Nathan.
"Tapi Dokter, tak seorang pun berani merawatnya. Apa dokter mau membiarkannya mati disini? Apa kata media kalau tau RS St Paul yang terkenal ini menelantarkan pasien? Dokter mau mempertaruhkan reputasi rumah sakit ini?"
Dokter Nathan berpikir sejenak. Eliana benar, saat ini setiap berita negatif bisa menyebar cepat dalam hitungan detik melalui medsos. Dia bisa saja menolak pasien itu seperti yang dilakukan oleh rumah sakit lain. Tapi visi dan misi rumah sakit St. Paul adalah melayani. Lagipula, hati nuraninya setuju dengan Eliana.
"Baiklah."
Mata Eliana berbinar. "Terima kasih, Dokter. Saya berjanji tak akan lalai dengan tugas utama saya."
"Selamat melayani." Dokter Nathan menepuk pelan bahu Eliana dan berlalu.
Bersambung ya....
Note :
Snelli \= jas dokter
Hari ini seluruh rumah sakit, lebih tepatnya ruang perawat dan dokter, dipenuhi desas desus tentang pria amnesia di kamar nomer nol. Tapi semuanya tak ada yang menceritakan hal - hal baik mengenai pria itu.
"Aku dengar pasien itu berasal dari Green Land."
"Katanya meloncat dari sebuah mobil yang meledak."
"Kabarnya di dalam mobil yang ditumpanginya ada narkoba."
"Iiih, kok bisa ada di rumah sakit ini?"
"Dia sempat menyebut-nyebut Green Land dalam igauannya."
"Di Green Land dia tak dirawat dengan baik."
"Yah, tapi siapa juga yang mau merawat narapidana?"
Sepanjang hari itu pula, Eliana berusaha menulikan telinganya. Apa boleh buat, tak ada apa pun yang bisa dilakukan oleh Eliana untuk menepis kabar miring tentang pasien amnesia itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah merawatnya dengan baik.
***
Bau kamar yang pengap dan berjamur menyergap masuk ke indera penciuman Eliana saat pertama kali dia masuk ke kamar nomer nol. Pelan - pelan dia melangkahkan kakinya ke dalam.
Pemandangan yang menyesakkan hadir di hadapannya. Sebuah tempat tidur disudut ruangan, sprei yang menguning dan jendela yang tak bisa dibuka. Lampu yang menyala pun bukanlah lampu putih terang seperti yang digunakan di kamar yang lain.
Pria itu terbaring, wajahnya sudah tak sepucat saat tadi pertama kali dia datang. Tapi tetap saja dimata Eliana, pria itu terlihat seperti barang yang digeletakkan begitu saja. Tersia - sia.
Eliana menghela napas. Ternyata ada kamar seburuk ini di sebuah rumah sakit sebesar dan terkenal seperti St Paul, tempatnya bekerja.
Melihat selang infus yang belum juga terpasang, Eliana menyadari kalau pasien ini dibiarkan begitu saja oleh mereka.
"Hmm... Tuan, siapa pun kamu, aku akan memastikan dirimu terawat dengan baik." bisiknya lembut di dekat telinga pasien itu.
Kemudian Eliana membalikkan tubuhnya dan segera pergi ke ruang obat, ruang perlengkapan, dan juga dapur rumah sakit.
Tak lama, dengan senyum sumringah Eliana membawa sprei yang baru dicuci, selimut yang masih baru dan pakaian pasien. Dia meletakkan semuanya di trolley bersama dengan obat cair, vitamin, buah -buahan, air putih dan jus. Tak lupa pula dia meletakkan handuk dan baskom berisi air hangat di trolley bagian paling bawah. Setidaknya, kebutuhan dasar pria itu terpenuhi.
KREK!
"Permisi, Tuan!" ucap Eliana pelan.Berdasarkan perhitungannya, efek bius seharusnya sudah habis dan pasien itu seharusnya sudah siuman.
Benar saja.
Pria itu sedang duduk di atas tempat tidur dan saat ini menoleh kepadanya dengan tatapan penuh tanya.
"Selamat siang, Tuan. Apa yang anda rasakan saat ini?" Eliana menyapanya dengan ramah, dan memberikan senyum terbaiknya.
Pria itu tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat seorang wanita muda berseragam perawat masuk ke ruangan tempatnya terbaring.
Dia tak terkejut karena menyadari kalau dirinya ada di rumah sakit. Dia menyadari kalau sudah beberapa kali dioper dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.
Namun yang mengejutkannya adalah senyum tulus dan tatapan lembut wanita cantik di hadapannya, perlakuan yang tak pernah didapatnya belakangan ini.
"Sampah!"
"Kotor sekali dia."
"Melihatnya saja tak sudi, jangan suruh aku merawatnya."
"Kirim dia ke St Paul, mereka punya fasilitas untuk orang tak jelas seperti dia."
"Sebaiknya jangan berurusan dengan orang yang tak jelas."
Suara itu berputar - putar ditelinganya seiring dengan gerakan Eliana yang berjalan perlahan mendekat sambil mendorong trolleynya. Senyum tak lepas dari wajah wanita muda itu.
"Siapa kamu?" Tanyanya dingin.
"O'ya. Namaku Eliana." kata Eliana.
Tanpa ragu, dia memperkenalkan diri dan tangannya terulur mengajak pria itu bersalaman.
Pria itu tertegun, matanya menatap ragu telapak tangan dihadapannya. Putih dan bersih. Diliriknya telapak tangannya sendiri yang kotor dan hitam, kuku - kukunya pun sudah panjang dan tak beraturan.
"Kamu tak jijik padaku?" tanya pria itu heran.
Setelah beberapa hari terakhir ini, di saat semua orang terkesan jijik padanya, seorang wanita muda dengan ramah mengajaknya bersalaman.
"Ahahaha... jijik sih jijik, Tuan. Tapi kan bisa cuci tangan. Habis Tuan kotor sekali." kata Eliana sambil tertawa.
Anehnya tawa itu tak terdengar menghina di telinganya. Tawa Eliana terasa renyah dan merdu di telinga pria amnesia itu. Pria itu melengos, diam-diam dia malu dan risih dengan dirinya sendiri. Dia tak berani menyambut uluran tangan Eliana.
"Kelihatannya aku tak disukai di rumah sakit ini." kata pria itu terus terang.
"Ha? Siapa bilang? Semua pasien diperlakukan sama disini." ucap Eliana sambil mengelap meja kayu yang berdebu dan meletakkan juice, air dan buah disana.
"Jangan berpikir yang macam - macam." lanjut Eliana kemudian.
"Menurutku, kamu terlalu baik padaku." lirih pria itu. Kepalanya menunduk.
"Tuan... "
"Kamu tau kan? Kalau aku sudah berkali - kali dipindah dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya karena aku tak punya identitas dan keluarga."
"Tuan, kalau badan sehat pasti ingatan Tuan akan segera pulih. Sebaiknya Tuan fokus untuk sembuh dulu." sahut Eliana.
Suara Eliana terdengar menggebu - gebu, ada terselip harapan supaya pria dihadapannya juga ikut bersemangat.
"Suster, sebaiknya jangan dekat - dekat pasien yang dibuang oleh rumah sakit." Pria itu diam sesaat. "Walau pun aku mati di kamar ini, jangan pedulikan aku."
Trenyuh, itulah perasaan Eliana saat menangkap sinyal putus asa yang tersirat dari kata - kata yang diucapkannya. Hatinya seperti diremas oleh tangan kasat mata.
"Tuan, apa kamu ingin tau siapa namamu?"
Eh?
"Namaku?"
"Ya." Eliana mengangguk mantap.
Tangannya merogoh ke kantong seragamnya, dan mengeluarkan sepotong kertas kumal. Seperti sebuah sobekan berupa kertas dengan tulisan emas dan background putih tulang atau mungkin juga cream. Lagi - lagi warnanya tak jelas karena kotor.
"Lihat! Namamu Thony."
"Ha?" Wajah pria itu nampak tak mengerti, menatap sobekan kertas itu.
"Well, aku menemukan potongan kertas ini di ranselmu. Sepertinya ini potongan pemberitahuan atau entahlah." Eliana mengangkat bahunya.
"Disitu tertulis Thony, jadi aku akan memanggilmu Toni. Deal?" ucap Eliana lagi.
Wajahnya penuh kemenangan seakan berhasil menemukan sebuah penemuan hebat yang berguna untuk hajat hidup orang banyak.
"Terserahlah." jawab Toni sambil memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyum tipis yang hampir terukir. Setidaknya, hari ini dia cukup terhibur dengan kedatangan perawat cantik nan ceria ini.
"Jadi?" tanya Eliana kemudian.
HA? Toni menoleh dengan pandangan bertanya. Eliana mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar.
"Jadi mulai sekarang, Toni dan Eliana berteman. Bagaimana menurutmu?" Mata Eliana terlihat berbinar, tangannya kembali terulur.
Tak bisa tidak, ada yang meleleh di hati Toni. Pertahanannya roboh, sudut bibirnya melengkung keatas. Tangan dekilnya terulur menyambut salam sayang dari Eliana, hangatnya menelusup hingga ke lubuk hati Toni.
You and me are friends. That sounds good, Eliana.
Bersambung ya....
Note :
Tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun, saya menyatakan kalau nama tempat dan kota semua murni karangan Author ya.
Kejadian yang terjadi murni imajinasi demi menghadirkan cerita yang menarik.
Contoh :
St. Paul (rumah sakit)
Rock town (kota)
Green land (kota)
Lake wood (kota)
Thank you
EYN
"Maaf, Toni. Aku tak bisa menemanimu lebih lama karena harus visit ke banyak pasien dan ada tugas lainnya. Tapi aku janji akan menemanimu sebelum dan setelah pulang kerja sampai kamu sembuh." kata Eliana sambil memasang wajah penuh penyesalan. "Apa kamu menginginkan sesuatu?" tanya Eliana kemudian.
Tangan Eliana menyisir rambut Toni ke belakang supaya rapi. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan mencuci rambutnya di kamar mandi pasien. Tadi Eliana sudah menawarkan pada Toni untuk menyeka tubuhnya di kamar saja, tapi Toni menolak. Toni merasa masih sanggup mengerjakan semuanya sendiri, meski harus pelan dan hati - hati.
"Tidak, terima kasih." jawab Toni singkat. Dia tak mau menatap Eliana, ada rasa tak rela saat tau wanita itu hendak meninggalkannya.
Eliana tersenyum - senyum sambil memandangi wajah Toni.
"Eh, kenapa?" Tanya Toni saat merasakan tatapan Eliana padanya.
"Aku tak pernah salah menilai. Kamu memang tampan." ucap Eliana spontan, sorot matanya memancarkan rasa kagum.
Heh?! Apa - apaan Suster cantik ini.
Toni melengos, dia tak siap menerima pujian mendadak dan blak - blakan dari Eliana. Hatinya berdebar. Mungkin beginilah rasanya dipuji oleh wanita cantik, membuat orang jadi salah tingkah.
"Baiklah. Aku akan kembali bertugas." Eliana berpamitan sambil merapikan barang - barangnya.
Kemudian dia memandang berkeliling, memastikan tidak ada sesuatu lagi yang terlewat dan belum dikerjakannya. Sprei sudah diganti, lantai dan meja juga setidaknya sudah disapu meski tidak sempat mengepelnya. Makanan dan vitamin Toni pun sudah ada di meja. Sepertinya tugas merawat Toni beres.
"O'ya. Ransel dan pakaianmu aku kembalikan besok, aku akan mencucinya terlebih dahulu. Jangan lupa minum obat dan vitaminnya." pesan Eliana sebelum meninggalkan ruangan.
Toni diam saja, matanya memandang ke arah jendela yang masih tetap tak bisa dibuka. Sepeninggal Eliana, diam - diam Toni merasakan sepi merayap masuk kedalam hatinya.
***
Keesokan harinya
Setelah jam kerjanya usai, Eliana datang untuk mengunjungi dan mengobrol dengan Toni. Hari ini waktu untuk menemani Toni akan lebih panjang karena dia sudah bebas tugas.
"Permisi, Toni. Aku masuk ya?" sapa Eliana ramah. Tangannya mengetuk pintu.
Tak ada jawaban.
Eliana memutuskan masuk ke dalam. Seketika matanya terbelalak. Ruangan di hadapannya kosong dan bersih. Selimut pun sudah terlipat rapi di ujung tempat tidur. Tak ada siapa - siapa disana, nampak seperti ruangan yang tak pernah digunakan.
Perasaan tak enak mulai menyergap, kemudian Eliana buru - buru keluar ruangan. Dia berniat mencari Toni. Bisa saja Toni ada di taman mencari udara segar atau berjalan - jalan di lorong untuk melatih fisiknya supaya makin cepat pulih.
"Oh, Suster Eliana?" sapa seorang Suster kepala saat Eliana keluar dari ruangan itu.
"Selamat sore, Suster." Eliana mengucapkan salam dan sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Tugas jaga malam?"
"Shift saya sudah selesai, Suster. Sebelum pulang, saya mau menengok teman terlebih dulu." jawab Eliana sopan.
"Maksudmu pasien kamar nomer nol?" tanya Suster itu dengan nada sinis, matanya melirik ke arah pintu dari mana Eliana keluar.
Desas desus bahwa Eliana meminta Dokter Nathan untuk mengijinkannya merawat pasien 'buronan' itu sudah tersebar di kalangan perawat dan dokter.
"Pasien itu sudah tidak apa - apa, jadi tak perlu dirawat lagi disini." lanjut Suster Kepala.
Ha?
"Aku dengar siang ini dia meninggalkan rumah sakit."
Apa? Bukannya tadi pagi mereka masih bertemu dan Toni tidak mengatakan apa - apa. Dia bahkan masih sempat mengembalikan ransel dan baju Toni pagi tadi.
"Tapi, dia tak punya siapa - siapa dan tak ingat apa pun." kata Eliana.
"Memangnya apa rencanamu?"
"Aku akan mencarinya." jawab Eliana yakin.
"Lalu?"
"Aku akan membawanya kemari."
"Tidak perlu. Kalau ketemu, jangan bawa dia kembali."
"Tapi daya ingatnya belum pulih."
"Aku tak mau tahu, bawa saja ke rumah sakit lain. Lagian, kamu punya tugas yang lebih bermanfaat dari pada merawat seorang penjahat. Sampah masyarakat."
Kata - kata itu terasa tajam menusuk di hati. Dada Eliana terasa nyeri mendengar setiap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Suster Kepala kepadanya. Eliana hanya diam dan menunduk saat suster kepala berjalan meninggalkannya.
"Aku tak memandang apa dan siapa. Setiap orang berhak untuk dicintai." ~ Eliana ~
Eliana melirik ke arloji yang ada ditangannya, sepertinya Toni belum terlalu lama meninggalkan rumah sakit ini. Dengan ingatan seperti itu dan tanpa uang sepeser pun, Elian yakin kalau dia belum pergi jauh.
Bergegas Eliana mengganti seragam dinasnya dan segera mencari Toni. Tempat pertama yang dikunjunginya adalah taman di rumah sakit, tapi tak ada. Baik di taman sebelah utara maupun timur rumah sakit.
Eliana terus berjalan cepat, menyusuri jalanan kota Lake Wood. Matanya berkeliaran kemana - mana mencari sosok Toni.
Kemana? Kemana kamu akan pergi kalau tak ada seorang pun yang kamu kenal? Kalau tak ada sepeser pun uang di tangan, baju pun hanya ada satu yang menempel di tubuh.
Kemana biasanya orang kesepian dan putus asa akan pergi? Bagaimana rasanya terbuang dan ditolak oleh semua orang? Kalau aku, mungkin saja ingin bunuh diri.
Bunuh diri?
Eliana tersentak. Segera dia membalikkan tubuh dan berlari sekuat tenaga kembali ke Rumah Sakit, menuju lantai ke tujuh. Ya. Di sekitar sini tak ada tempat yang lebih tinggi dari pada RS St Paul.
"Argh... " seru Eliana kesal.
Lift yang akan digunakan sedang dalam perbaikan. Tak ada waktu lagi. Eliana melesat pergi ke tangga darurat, dari situ akan lebih cepat sampai ke lantai tujuh. Dipacunya kakinya kuat - kuat agar bisa segera sampai di tempat yang ditujunya.
Kakinya kebas, dadanya terasa mau meledak. Eliana tak peduli, dia berlari dan berlari. Kemudian berhenti di ambang pintu rooftop. Napasnya sudah tersengal - sengal saat mencapai roof top. Tapi dia tak boleh berhenti. Dengan sisa - sisa tenaga, dia mendorong pintu kayu di hadapannya.
BRAK!!
Deru angin kencang menyambutnya begitu pintu terbuka, rambutnya berkelebat terkena hembusan angin. Matanya memindai roof top di hadapannya.
Ah. Itu dia! Pria itu sedang berdiri tegap di tepian rooftop, matanya memandang kosong bangunan - bangunan dibawahnya.
"TONI! TONI!!!" teriak Eliana sambil berlari dan menubruk Toni.
Toni menoleh terkejut.
"Aku mencarimu kemana - mana." teriak Eliana sambil menangis. Eliana memeluk erat punggung Toni dari belakang
Toni membalikkan badanya dan melepaskan pelukan Eliana.
"Wanita aneh, kenapa menangisi orang yang tak dikenal? Tak usah pedulikan aku. Aku tak ingin merepotkanmu yang tidak ada hubungan apa - apa denganku."
"Tak ada hubungannya bagaimana? Kamu pasienku, dan aku menyayangimu." bantah Eliana.
"Kamu bahkan tak tahu nama, alamat dan pekerjaanku, bagaimana bisa kamu menyayangiku? Lagipula aku ini gelandangan atau orang jahat."
"Aku bisa merasakan kamu tak seperti yang mereka bilang." kali ini Eliana mengucapkannya sambil tersenyum tulus.
Toni memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa haru yang merebak di dada.
"Ijinkanlah aku merawatmu, setidaknya hingga ingatanmu pulih. Dengan demikian, aku tak akan dihinggapi rasa bersalah karena perlakuan mereka terhadapmu. Pulanglah bersamaku"
Pulang bersamaku?
Sekali lagi Toni terkejut, tak pernah menyangka ada orang sebaik wanita di hadapannya.
Eliana mengulurkan telapak tangannya, menghadap keatas bersiap menyambut tangan Toni. "Aku sebatang kara dan tak punya siapa pun. Kamu bisa menjadi saudaraku atau kakakku." kata Eliana dengan lembut.
Oh, Eliana....
Bersambung ya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!