Diluar hujan deras, disertai angin dan petir yang sedari tadi siang belum kunjung berhenti. Sejak berjam jam lalu, pemadaman listrik telah dilakukan, pencahayaan hanya menyisakan lampu kemuning yang menyala diruang tengah.
Rain tengah merebahkan badannya diatas kasur empuknya, menarik selimut melindunginya dari dinginnya hawa dimalam hari, matanya masih belum kunjung mengantuk. Kini dia merasa begitu kesepian disaat suara Abim tak lagi terdengar.
Cowok itu pun beranjak dari tidurnya, duduk diatas sofa dengan menatap keluar jendela yang sengaja ia buka selambunya, hingga ia bisa melihat derasnya hujan dan pantulan cahaya kilat dari kejauhan.
Disaat saat seperti ini, tiba tiba ingatannya kembali merindukan sosok ayah yang sudah 5 tahun lamanya tiada, Rain merasa begitu kosong, dia benar benar merindukan almarhum ayah, ayah tak bisa dipeluk lagi.
Mengingat kenangannya bersama ayah dikala sore, langit mulai berwarna jingga, ayah selalu duduk di teras rumah dengan segelas kopi buatan bunda, mengobrol bersama Rain dan terkadang dengan anak anaknya yang lain.
Dan mengingat waktu itu, disaat dirinya masih berumur 3 tahun, Rain merasa kurang kasih sayang. Sebab, bunda dan ayah lebih sering menghabiskan waktu bersama Audrey kecil, dan disaat si kembar lahir, musuhnya bertambah lagi. Dia lebih sering menghabiskan waktunya bersama kakak kakaknya, tapi ia lebih malas jika bersama Abim, cowok itu selalu membullynya.
Rain masih terus mengingat suara tawa ayah, senyum ayah, dan belaian lembut tangan ayah yang selalu membelai rambutnya dan anak anak ayah lainnya.
FLASHBACK ON
"Kalo Rain udah besar, Rain mau jadi apa?" tanya ayah, diumur Rain yang ke 4 tahun.
"Mau jadi tentara. Biar bisa nembak mas Abim, soalnya dia jahat banget sama aku yah" geram Rain dengan kelakuan kakaknya yang setiap hari selalu membullynya.
Ayah menggeleng, "sesama saudara harus saling menjaga dan saling menyayangi Rain."
Rain geming.
"Ayah doain semoga suatu saat nanti kamu bisa jadi tentara. Tapi kalau kamu ga bisa jadi tentara, gapapa Rain... kamu bisa jadi orang hebat dengan caramu sendiri"
FLASHBACK OFF
Ingatan itu membuat Rain ingin menangis, nyatanya cita citanya dulu tak seperti cita citanya sekarang, ia tak ingin menjadi tentara, ia ingin sukses dengan caranya sendiri. Bayang bayang itu hanya memenuhi kepalanya tanpa hasil apa apa, tak membuat ayahnya kembali juga, itu akan semakin membuatnya bersedih.
Lalu, Rain pun beranjak kembali ke kasur, bukan kasurnya melainkan kasur sebelah milik Abim, dan sesuai dugaannya, Abim yang perasa membuatnya terbangun sekaligus marah marah.
"Ngapain sih lo!! balik ke kasur lo sendiri!!"
Rain geming. Tetapi dia malah melilitkan tangannya di pinggang kakaknya itu tanpa peduli apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Raiiiiiiin!!! jijik goblok! lo apa apaan sih, emang gue cowok apaan, seenaknya lo kelonin" teriak Abim, langsung terbangun dari tidurnya.
"Gue ga bisa tidur" gumam Rain dengan muka tak bersalah.
"Gue mau tidur"
"Suara petirnya serem"
"Terus? balik nggak lo?!!"
Ali alih beranjak, Rain malah membalikkan badannya, masih ditempatnya, ia memutuskan untuk memunggungi Abim yang heboh memukuli bokongnya.
"Bang.." panggil Rain.
"Apa sih! gue bilang balik ke kasur lo sekarang!"
Tiba tiba, air matanya jatuh membasahi bantal Abim tanpa pemiliknya ketahui.
"Gue kangen ayah" gumamnya. Dan tiba tiba, Abim berhenti memukuli bokongnya, ia juga tidak lagi mengomel seperti tadi, Rain mendengar jelas helaan nafas kakaknya.
Rain mulai bisa menangis puas, dia merasakan kebaikan Abim yang tiba tiba menyelimutinya, Rain juga tak habis pikir ternyata kakaknya itu bisa merasa iba dengan kegalauan adiknya.
"Bang?"
Padahal, baru saja Abim memiringkan tubuhnya menatap tembok, namun suara menjengkelkan Rain kembali terdengar, walau merasa sangat kesal, tetapi ia masih sanggup menyahutinya.
"Kira kira, ayah kecewa nggak ya punya anak kayak gue?"
"Enggak"
"Beneran?"
"Heem"
"Kok bisa?"
"RAIIIN BISA DIEM NGGAK SIH! TIDUR ATAU GUE TENDANG LO SAMPE KE PLUTO?!" teriakan yang akhirnya membuat Rain terdiam dan menutup matanya.
Sementara Abim, kembali menghadap tembok dan memejamkan matanya.
****
Sedangkan, dikamar sebelah tepatnya kamar Reza, cowok itu masih terjaga dipukul 12 malam, sama seperti Rain yang tak bisa tertidur akibat suara petir yang terus menyambar nyambar.
Tetapi yang ia bisa lakukan hanya berbaring, menatap awang awang, yang diisi kepalanya hanya berisi Tania, Tania dan Tania. Cewek berusia seumuran dengan adik perempuan pertamanya itu telah menjadi tambatan hatinya selama kurang lebih 5 tahun, dia bekerja sebagai perawat.
Lantas, langsung membuatnya mengambil handphone yang ia taruh dinakas sebelah kasurnya, lalu menghubungi nomor yang telah ia sematkan dipaling teratas. Dan kabar baiknya, panggilan tersebut tersambung, padahal awalnya Reza berfikir mungkin Tania sudah tidur, hingga suara lembut cewek itu mengukir senyuman dibibir Reza.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, sayang. Kok belum tidur? udah jam 12 malam loh"
"Aku ngga bisa tidur, denger ada suara telfon yaudah aku angkat, ternyata itu kamu"
"Hmm gitu"
Tania menghela nafas panjang.
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Barusan kamu tarik nafas panjang, ada masalah?"
Namun, Tania memilih diam untuk beberapa detik.
"Mas?"
"Barusan papa tanyain kamu"
"Beliau tanya apa?"
"Hmmm.... kapan mas Reza datang kerumah?"
Lalu Reza pun menegakkan punggungnya.
"Mas, kapan balik ke Bali lagi?"
"Lusa"
"Jadi, kita masih bisa ketemu?"
"Iya.... besok aku kerumah kamu"
"Ngapain?"
"Katanya papa nanyain aku, ya... Aku udah siap ngelamar kamu"
"Apa?!! beneran?"
"Kamu udah siap nggak dilamar?"
Tania geming. Reza beranjak dari kasurnya dan mengambil sebuah kotak dari lemarinya, didalamnya terdapat sebuah cincin dengan hiasan pilihan bunda kemarin. Cincin itu memang sudah disiapkan untuk Tania, tetapi Reza yang belum siap untuk menikah, padahal bunda dan adik adiknya sudah merestuinya.
"Kok diem?" tanya Reza.
"Aku ngebebanin kamu ya?"
"Kok gitu?"
"Kalo kamu masih banyak tanggungan, sekolahin adik adik kamu, gapapa kok, ntar dulu aja.... aku bisa jelasin ke papa"
Reza terkekeh.
"Kok ketawa mas?"
"Kamu pasti stress banget ya mikirin ini?"
"Iya, aku takut ini jadi beban buat kamu"
"Ya enggak lah, ini udah saatnya kita lanjut ke hubungan yang lebih serius, ga usah ditunda tunda lagi, kita udah jalanin hubungan selama 5 tahun"
"Syukur deh"
"Jadi, kamu mau nggak jadi istri mas?"
Sontak, Tania tertawa. "Harus banget ya dijawab?"
"Ya harus dong, menikah itu ga cuma dari satu pihak tapi harus dengan pihak lainnya juga"
"Iya iya"
"Iya apa?"
"Ihhh kamu ya... iya aku mau"
Keduanya tergelak, kemudian Reza menyimpan kembali cincin tersebut pada tempatnya, lalu kembali bersandar pada dipan dan menerawang wajah Tania yang akan ia temui besok.
"Mas"
"Eum?"
"Tapi... gimana tanggungan sekolah adik adik mas?"
"Ya ampun tania, ga usah dipikirin.... Uang mereka sama uang buat bunda udah ada jatahnya sendiri kok. Kalau buat kebutuhan sehari hari, Hellena yang tanggung, lagian ya... Rain sama Abim juga udah berpenghasilan dari konten konten musik mereka di channel YouTube"
"Oh iyaa, aku juga sering banget nonton konten konten mereka, suaranya bagus banget, mereka hebat sih"
"Iya"
"Aku kagum sama keluarga mas"
Reza tersenyum. Namun, perlahan senyum Reza memudar saat menatap bingkai foto ayah ditembok, hatinya bergetar merindukan ayah, menyelami wajah sayup ayah lebih dalam.
Itu adalah foto yang diambil saat perayaan ulangtahun si kembar, andai saja tau kalau ayah akan meninggal secepat itu, Reza akan lebih mempedulikan ayah dan tak akan menyia-nyiakan mengobrol berdua dengan ayah yang pastinya akan menjadi sejuta kenangan saat ini.
"Mas?"
Tidak ada jawaban, Tania tersenyum nanar saat mendengar suara Isak tangi Reza yang tertahan.
•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments