MISTERI HUTAN RARANGAN
Suasana pagi di sebuah perkampungan kecil di tengah hutan lindung, yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan. Hutan lindung itu bernama hutan rarangan. Jaraknya dari kecamatan sekitar tiga puluh kilo. Desa terdekat dengan kawasan itu kurang lebih dua puluh lima kilo.
Jalan menuju ke hutan adalah jalan berkrikil sisa jalan aspal yang dibangun zaman penjajahan dulu. Kendaraan yang lewatpun hanya satu dua. Hanya mobil patroli dinas kehutanan dan penjaga hutan yang sering terlihat sesekali lalu lalang.
Belakangan para pemuda yang sudah menyelesaikan kuliahnya di kota mulai sadar untuk kembali membangun hutan. Satu persatu dari mereka kembali pulang setelah mereka menyelesaikan pendidikan mereka. Mereka membentuk kelompok yang tujuannya, ingin menjadikan lahan-lahan potensi wisata agar bisa jadi mata pencaharian baru untuk masyarakat. Itu juga agar hutan lindung di kawasan itu tetap terjaga.
Ada sekitar sepuluh rumah yang letaknya saling berjauhan satu sama lain. Satu bangunan berupa mushalla kecil sengaja dibangunkan pemerintah di tengah-tengah kampung. Sebelumnya, tempat itu adalah tempat yang tak berpenghuni. Tapi untuk kemudahan pendataan program-program dari pemerintah serta pencatatan kependudukan, maka Pemerintah desa setempat akhirnya mengumpulkan para peladang yang berpencar di dalam hutan untuk tinggal di pemukiman itu.
Tapi hanya sepuluh keluarga yang bersedia tinggal, yang lain masih enggan dengan alasan jarak ladang yang jauh dari pemukiman baru. Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan memang diperbolehkan untuk bercocok tanam di Kawasan hutan dengan status hak garap. Masyarakat yang bercocok tanam juga harus ikut serta menjaga pohon-pohon yang ditanam di ladang mereka oleh Dinas Kehutanan.
Tapi seringkali terjadi cekcok antara pemerintah dengan para peladang setiap kali musim hujan tiba. Bahkan pernah pemerintah mengutus satu truk TNI bersenjata lengkap untuk mengawasi buruh yang ditugaskan untuk menanam pohon di Kawasan hutan. Para peladang bersikukuh menolak ladang mereka ditanami pohon sebab akan menghalangi pertumbuhan tanaman mereka. Di sisi lain Dinas Kehutanan tetap bersikukuh untuk menanam karna lahan-lahan tempat bertanam mereka adalah masuk dalam kawasan hutan yang dilindungi pemerintah. Beberapa dari mereka banyak yang ditangkap dan dipenjara. Beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan pun tak jarang melakukan aksi demo membela hak-hak para peladang.
Belakangan sudah terjalin komunikasi yang baik antara masyarakat peladang dengan pemerintah, dalam hal ini dinas kehutanan dalam mengelola hutan tanpa harus menghalangi tanaman petani. Baik jarak tanam dan jenis pohon yang ditanam. Pemerintah juga memberikan biaya agar masyarakat bersemangat ikut berpartisipasi menghijaukan hutan rarangan.
Pagi ini udara berhembus begitu dingin. Kabut tebal masih terlihat seperti selimut putih yang menelingkupi kanopi hutan. Beberapa penduduk perkampungan mulai terlihat keluar menuju ladang masing-masing. Sebagian lagi terlihat sedang menghangatkan diri di perapian pinggir jalan. Di sebelahnya, beberapa perempuan dan gadis kecil sibuk memetik biji pohon singon yang tumbuh berjejer di sisi jalan.
Dua orang paruh baya terlihat mengobrol asik di sebuah bangku panjang, di sebuah warung kopi tepi jalan. Dua cangkir kopi yang ada di hadapan mereka sudah mulai dingin. Asap rokok yang mengepul dari mulut mereka, terbang dan menyatu bersama kabut.
Dua minggu yang lalu salah seorang gadis di kampung itu, dilaporkan hilang oleh ibunya. Namanya Mayni. Dia salah satu gadis cantik di kampung itu. Banyak pemuda-pemuda yang beradu fisik karna memperebutkan gadis itu. Tapi sayang, perangai gadis itu tak sesuai wajahnya yang menawan. Walaupun ia lahir di kawasan hutan yang sangat jauh dari kota, tapi ia termasuk yang paling liar. Dia sudah sering meninggalkan rumah dengan laki-laki kota yang acapkali datang menjemputnya. Jadi menghilangnya dia dari kampung,bukan hal yang mengagetkan warga walaupun ini yang terlama.
"Sudah ada kabar dari si Mayni itu," kata salah seorang berambut keriting sambil memiringkan mulutnya ke arah gubuk milik ibu Mayni. Setelah itu bergantian ia menyeruput kopi dinginnya dengan hisapan rokok yang panjang. Sesekali di keluarkannya asap rokok yang ia kumpulkan di dalam mulutnya lalu mengeluarkannya dalam berbagai bentuk. Laki-laki yang satunya nampak tidak begitu senang saat asap rokok yang disemburkan teman ngobrolnya membuatnya sulit bernafas. Ia terlihat menahan nafas agar asap rokok tak masuk ke dalam hidungnya.
"Gadis seperti dia itu tak perlu dicemaskan. Paling saat ini ia sedang bersenang-senang dengan bule di penginapan sebelah. Ibunya saja yang terlalu panik. Kalau saya yang jadi ayahnya sudah kubuang dia. Hanya merepotkan dan mempermalukan orang tua saja," katanya sambil menghalau asap rokok yang mendekat ke wajahnya.
Lelaki di depannya mengangguk setuju. Bungkusan hitam tempat menyimpan tembakau keringnya ia masukan dalam gulungan sarung yang dipakainya. Ia bangkit. Selembar kertas dua ribuan ia keluarkan dari saku bajunya dan menyelipkan dibawah gelas.
"Aku pergi dulu. Kalau gak cepat-cepat di jaga, monyet-monyet itu akan menghabisi bibit kelapa yang kemarin aku tanam,"
"Pergilah dulu, Aku mau menunggu seseorang mengantarkanku pupuk dari desa," kata pria yang satunya sambil menghisap rokoknya. Tetap pada posisi duduknya.
Suasana di kampung itu terlihat sunyi. Sebagian besar penghuninya sudah pergi ke ladang masing-masing. Hanya sesekali terlihat sepeda motor para pemancing melaju di jalan berbatu.
Kabut masih terlihat tebal. Sesekali kilau matahari menembus kepadatan kabut. Pepohonan seperti terlihat beku dalam kedinginannya.
Seorang laki-laki terlihat keluar dari salah satu gubuk yang letaknya menyendiri dan tersembunyi dari gubuk-gubuk yang lain. Langkahnya terlihat pincang. Melihatnya lebih dekat, orang yang baru menyaksikannya tentu akan kaget dan takut dengan laki-laki yang perkiraan umurnya sekitar dua puluh lima tahunan itu. Bagaimana tidak, di sekujur tubuhnya terlihat benjolan-benjolan hitam mengeriput, seperti pohon anggur Brazil ketika berbuah. Di wajahnya bahkan lebih banyak lagi. Dia terlihat pemalu. Berkali-kali ia menunduk dan memalingkan wajahnya jika ada orang yang kebetulan lewat di depannya. Tapi walaupun begitu, orang-orang di kampungnya sangat menyukainya. Dia memang tidak pernah berbaur jika ada kegiatan yang diadakan di kampung itu. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tidak ingin orang-orang akan merasa jijik ketika melihatnya. Sebagai gantinya, ia selalu menitipkan sejumlah uang sebagai pengganti ketidakhadirannya di berbagai kegiatan kampung.
Penyakit yang ia sebut sendiri sebagai kutukan itu awalnya hanya berupa satu bintik kecil hitam di wajahnya, tapi seiring dengan waktu, benjolan-benjolan itu sudah menyebar ke seluruh kulitnya. Pernah ia mendengar dari seorang pemancing yang kebetulan rehat di warung kopi bu Sarmi, bahwa penyakit yang dideritanya itu adalah kanker kulit. Dia juga menyarankan pemilik warung untuk memberitahukannya bahwa ia harus pergi ke dokter spesialis untuk memeriksa penyakitnya. Tapi ia tidak punya apa-apa untuk berobat ke kota. Sebagian dari hasil ladangnya akan ia bayar hutang untuk modalnya bertanam. Sisanya lagi untuk memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari. Ia hanya sebatang kara. Tak ada yang bisa ia andalkan untuk membantunya keluar dari masalahnya. Dan iapun pasrah jika harus membawa penyakit itu sampai mati.
Laki-laki itu mengambil jaket hitam lusuh yang tergantung di pagar rumahnya. Tak lupa ia memasang penutup kepala yang terbuat dari anyaman daun lontar. Sabit panjang yang tertancap di sela-sela pagar ia cabut dan selipkan di balik bajunya. Seluruh tubuhnya harus tertutup ketika melewati tempat yang ada orangnya. Ia tidak ingin orang memperhatikannya atau merasa kasihan kepadanya. Itu yang paling ia benci.
Ladang yang ditanami almarhum ayahnya terletak di balik bukit, kira-kira dua puluh kilo dari perkampungan. Jarak yang sangat jauh. Jalannya sedikit menanjak dan harus menuruni anak bukit untuk menemukan ladangnya. Lahan garapnya tidak begitu luas. Dibandingkan lahan milik penduduk yang lain, lahan miliknya termasuk yang paling sedikit. Hanya tiga puluh are. Kata orang-orang, dulu lahan yang dimiliki almarhum ayahnya luasnya sekitar lima hektar, tapi pak Jumerinlah yang telah mengambilnya.
Pak Jumerin adalah salah satu yang ditakuti di wilayah hutan rarangan. Koneksinya dengan para pejabat di kota sangat banyak. Ia bisa dengan mudah memanipulasi data tanah dan penggunaan hak garap. Karna itulah ia menjadi sosok yang amat berkuasa di tempat itu. Ia punya kelompok tani yang ia bentuk bersama orang-orang kepercayaannya. Tapi kelompok yang ia bentuk tidak lebih dari sebuah wadah untuk perbuatan-perbuatannya yang curang.
Semasa hidupnya, ia juga adalah sosok yang paling dibenci masyarakat di kawasan hutan. Tapi para penduduk takut karna pak Jumerin merupakan sosok yang bengis, yang tak segan-segan membunuh orang yang menentangnya. Pak Jumerin hanya takut pada pak Marwi, ketua kampung sebelah. Dan masyarakat bersorak riang ketika mengetahui pak Jumerin tewas tertimpa pohon. Kematian yang mengenaskan.
Setelah ayahnya meninggal, ia hanya sebatang kara. Pak Jumerin dengan teganya mengambil sebagian besar tanahnya dengan alasan dia yang akan mengurusnya. Kelak, jika dia sudah besar, pak Jumerin janji akan mengembalikannya.
Tapi dikemudian hari pak Jumarin mengingkari janjinya. Ketika pak Marwi menyuruhnya untuk meminta haknya pada pak Jumerin, pak Jumerin menolak. Pak Marwi waktu itu sangat marah dan meminta pak Jumerin segera mengembalikan tanah yang diambilnya kepada Fadli. Pak Marwi yang saat itu termasuk salah satu sosok yang disegani di wilayah kehutanan itu membuat pak Jumerin sedikit takut. Di hadapan pak Marwi, ia berjanji akan memberikan Fadli semua haknya.
Tapi belakangan diketahui pak Jumerin hanya memberikan tiga puluh are pada Fadli. Pak Jumerin berdalih almarhum ayah Fadli punya hutang banyak kepadanya. Hutang yang sangat besar yang tidak bisa dibayar oleh seluruh tanah miliknya. Pak Jumerin juga mengatakan, ia memberikan tanah seluas tiga puluh are itu pada Fadli karna ia kasihan kepada Fadli sebagai seorang yatim piatu.
Sebelumnya pak Marwi selalu mewanti-wanti kepada Fadli untuk menolak apapun alasan pak Jumerin terkait tanah itu. Pak Marwi sudah paham betul akal bulus pak Jumerin. Ia selalu menggunakan alasan hutang untuk memuluskan rencananya. Dan dia selalu menyodorkan nama-nama orang yang sudah meninggal sebagai saksinya.
Pak Marwi berjanji akan terus membantu Fadli mendapatkan haknya. Tapi sayang, pak Marwi mengalami pristiwa sangat mengerikan dalam hidupnya. Ia tewas digantung dan rumahnya dibakar. Anaknya Farhan yang merupakan teman kecil Fadli mungkin ikut terbakar dalam pristiwa itu.
Sejak saat itu Fadli merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Pak Marwi yang sudah dianggapnya ayah sendiri sudah meninggal. Orang yang benar-benar memperhatikan segala kebutuhannya. Semasa hidupnya, Ia selalu menyisihkan sedikit rizkinya setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap bertemu dengannya, pak Marwi selalu mengatakan, jika nanti ia berhasil menjual tanah warisan ayahnya, ia akan membangunkan Fadli sebuah rumah yang dekat dengan rumahnya.
"Agar bapak bisa mengetahui keadaanmu nak," kata pak Marwi yang selalu ia ingat sampai saat ini.
Terkadang ia harus menginap berminggu-minggu di ladangnya jika tanaman strawbery yang ditanamnya sudah mulai berbuah. Ia juga harus menjaga pohon mangga dan Alpukadnya jika sudah mulai berbuah. Bahkan ia merasa lebih nyaman menghabiskan waktunya di ladang. Tidak ada hiruk pikuk dan tidak ada orang yang akan memperhatikannya. Ia lebih bisa menenangkan diri di tempat itu. Ia hanya akan pulang untuk membeli obat dan keperluan dapurnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments