NovelToon NovelToon

MISTERI HUTAN RARANGAN

#01

Suasana pagi di sebuah perkampungan kecil di tengah hutan lindung, yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan. Hutan lindung itu bernama hutan rarangan. Jaraknya dari kecamatan sekitar tiga puluh kilo. Desa terdekat dengan kawasan itu kurang lebih dua puluh lima kilo.

Jalan menuju ke hutan adalah jalan berkrikil sisa jalan aspal yang dibangun zaman penjajahan dulu. Kendaraan yang lewatpun hanya satu dua. Hanya mobil patroli dinas kehutanan dan penjaga hutan yang sering terlihat sesekali lalu lalang.

Belakangan para pemuda yang sudah menyelesaikan kuliahnya di kota mulai sadar untuk kembali membangun hutan. Satu persatu dari mereka kembali pulang setelah mereka menyelesaikan pendidikan mereka. Mereka membentuk kelompok yang tujuannya, ingin menjadikan lahan-lahan potensi wisata agar bisa jadi mata pencaharian baru untuk masyarakat. Itu juga agar hutan lindung di kawasan itu tetap terjaga.

Ada sekitar sepuluh rumah yang letaknya saling berjauhan satu sama lain. Satu bangunan berupa mushalla kecil sengaja dibangunkan pemerintah di tengah-tengah kampung. Sebelumnya, tempat itu adalah tempat yang tak berpenghuni. Tapi untuk kemudahan pendataan program-program dari pemerintah serta pencatatan kependudukan, maka Pemerintah desa setempat akhirnya mengumpulkan para peladang yang berpencar di dalam hutan untuk tinggal di pemukiman itu.

Tapi hanya sepuluh keluarga yang bersedia tinggal, yang lain masih enggan dengan alasan jarak ladang yang jauh dari pemukiman baru. Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan memang diperbolehkan untuk bercocok tanam di Kawasan hutan dengan status hak garap. Masyarakat yang bercocok tanam juga harus ikut serta menjaga pohon-pohon yang ditanam di ladang mereka oleh Dinas Kehutanan.

Tapi seringkali terjadi cekcok antara pemerintah dengan para peladang setiap kali musim hujan tiba. Bahkan pernah pemerintah mengutus satu truk TNI bersenjata lengkap untuk mengawasi buruh yang ditugaskan untuk menanam pohon di Kawasan hutan. Para peladang bersikukuh menolak ladang mereka ditanami pohon sebab akan menghalangi pertumbuhan tanaman mereka. Di sisi lain Dinas Kehutanan tetap bersikukuh untuk menanam karna lahan-lahan tempat bertanam mereka adalah masuk dalam kawasan hutan yang dilindungi pemerintah. Beberapa dari mereka banyak yang ditangkap dan dipenjara. Beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan pun tak jarang melakukan aksi demo membela hak-hak para peladang.

Belakangan sudah terjalin komunikasi yang baik antara masyarakat peladang dengan pemerintah, dalam hal ini dinas kehutanan dalam mengelola hutan tanpa harus menghalangi tanaman petani. Baik jarak tanam dan jenis pohon yang ditanam. Pemerintah juga memberikan biaya agar masyarakat bersemangat ikut berpartisipasi menghijaukan hutan rarangan.

Pagi ini udara berhembus begitu dingin. Kabut tebal masih terlihat seperti selimut putih yang menelingkupi kanopi hutan. Beberapa penduduk perkampungan mulai terlihat keluar menuju ladang masing-masing. Sebagian lagi terlihat sedang menghangatkan diri di perapian pinggir jalan. Di sebelahnya, beberapa perempuan dan gadis kecil sibuk memetik biji pohon singon yang tumbuh berjejer di sisi jalan.

Dua orang paruh baya terlihat mengobrol asik di sebuah bangku panjang, di sebuah warung kopi tepi jalan. Dua cangkir kopi yang ada di hadapan mereka sudah mulai dingin. Asap rokok yang mengepul dari mulut mereka, terbang dan menyatu bersama kabut.

Dua minggu yang lalu salah seorang gadis di kampung itu, dilaporkan hilang oleh ibunya. Namanya Mayni. Dia salah satu gadis cantik di kampung itu. Banyak pemuda-pemuda yang beradu fisik karna memperebutkan gadis itu. Tapi sayang, perangai gadis itu tak sesuai wajahnya yang menawan. Walaupun ia lahir di kawasan hutan yang sangat jauh dari kota, tapi ia termasuk yang paling liar. Dia sudah sering meninggalkan rumah dengan laki-laki kota yang acapkali datang menjemputnya. Jadi menghilangnya dia dari kampung,bukan hal yang mengagetkan warga walaupun ini yang terlama.

"Sudah ada kabar dari si Mayni itu," kata salah seorang berambut keriting sambil memiringkan mulutnya ke arah gubuk milik ibu Mayni. Setelah itu bergantian ia menyeruput kopi dinginnya dengan hisapan rokok yang panjang. Sesekali di keluarkannya asap rokok yang ia kumpulkan di dalam mulutnya lalu mengeluarkannya dalam berbagai bentuk. Laki-laki yang satunya nampak tidak begitu senang saat asap rokok yang disemburkan teman ngobrolnya membuatnya sulit bernafas. Ia terlihat menahan nafas agar asap rokok tak masuk ke dalam hidungnya.

"Gadis seperti dia itu tak perlu dicemaskan. Paling saat ini ia sedang bersenang-senang dengan bule di penginapan sebelah. Ibunya saja yang terlalu panik. Kalau saya yang jadi ayahnya sudah kubuang dia. Hanya merepotkan dan mempermalukan orang tua saja," katanya sambil menghalau asap rokok yang mendekat ke wajahnya.

Lelaki di depannya mengangguk setuju. Bungkusan hitam tempat menyimpan tembakau keringnya ia masukan dalam gulungan sarung yang dipakainya. Ia bangkit. Selembar kertas dua ribuan ia keluarkan dari saku bajunya dan menyelipkan dibawah gelas.

"Aku pergi dulu. Kalau gak cepat-cepat di jaga, monyet-monyet itu akan menghabisi bibit kelapa yang kemarin aku tanam,"

"Pergilah dulu, Aku mau menunggu seseorang mengantarkanku pupuk dari desa," kata pria yang satunya sambil menghisap rokoknya. Tetap pada posisi duduknya.

Suasana di kampung itu terlihat sunyi. Sebagian besar penghuninya sudah pergi ke ladang masing-masing. Hanya sesekali terlihat sepeda motor para pemancing melaju di jalan berbatu.

Kabut masih terlihat tebal. Sesekali kilau matahari menembus kepadatan kabut. Pepohonan seperti terlihat beku dalam kedinginannya.

Seorang laki-laki terlihat keluar dari salah satu gubuk yang letaknya menyendiri dan tersembunyi dari gubuk-gubuk yang lain. Langkahnya terlihat pincang. Melihatnya lebih dekat, orang yang baru menyaksikannya tentu akan kaget dan takut dengan laki-laki yang perkiraan umurnya sekitar dua puluh lima tahunan itu. Bagaimana tidak, di sekujur tubuhnya terlihat benjolan-benjolan hitam mengeriput, seperti pohon anggur Brazil ketika berbuah. Di wajahnya bahkan lebih banyak lagi. Dia terlihat pemalu. Berkali-kali ia menunduk dan memalingkan wajahnya jika ada orang yang kebetulan lewat di depannya. Tapi walaupun begitu, orang-orang di kampungnya sangat menyukainya. Dia memang tidak pernah berbaur jika ada kegiatan yang diadakan di kampung itu. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tidak ingin orang-orang akan merasa jijik ketika melihatnya. Sebagai gantinya, ia selalu menitipkan sejumlah uang sebagai pengganti ketidakhadirannya di berbagai kegiatan kampung.

Penyakit yang ia sebut sendiri sebagai kutukan itu awalnya hanya berupa satu bintik kecil hitam di wajahnya, tapi seiring dengan waktu, benjolan-benjolan itu sudah menyebar ke seluruh kulitnya. Pernah ia mendengar dari seorang pemancing yang kebetulan rehat di warung kopi bu Sarmi, bahwa penyakit yang dideritanya itu adalah kanker kulit. Dia juga menyarankan pemilik warung untuk memberitahukannya bahwa ia harus pergi ke dokter spesialis untuk memeriksa penyakitnya. Tapi ia tidak punya apa-apa untuk berobat ke kota. Sebagian dari hasil ladangnya akan ia bayar hutang untuk modalnya bertanam. Sisanya lagi untuk memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari. Ia hanya sebatang kara. Tak ada yang bisa ia andalkan untuk membantunya keluar dari masalahnya. Dan iapun pasrah jika harus membawa penyakit itu sampai mati.

Laki-laki itu mengambil jaket hitam lusuh yang tergantung di pagar rumahnya. Tak lupa ia memasang penutup kepala yang terbuat dari anyaman daun lontar. Sabit panjang yang tertancap di sela-sela pagar ia cabut dan selipkan di balik bajunya. Seluruh tubuhnya harus tertutup ketika melewati tempat yang ada orangnya. Ia tidak ingin orang memperhatikannya atau merasa kasihan kepadanya. Itu yang paling ia benci.

Ladang yang ditanami almarhum ayahnya terletak di balik bukit, kira-kira dua puluh kilo dari perkampungan. Jarak yang sangat jauh. Jalannya sedikit menanjak dan harus menuruni anak bukit untuk menemukan ladangnya. Lahan garapnya tidak begitu luas. Dibandingkan lahan milik penduduk yang lain, lahan miliknya termasuk yang paling sedikit. Hanya tiga puluh are. Kata orang-orang, dulu lahan yang dimiliki almarhum ayahnya luasnya sekitar lima hektar, tapi pak Jumerinlah yang telah mengambilnya.

Pak Jumerin adalah salah satu yang ditakuti di wilayah hutan rarangan. Koneksinya dengan para pejabat di kota sangat banyak. Ia bisa dengan mudah memanipulasi data tanah dan penggunaan hak garap. Karna itulah ia menjadi sosok yang amat berkuasa di tempat itu. Ia punya kelompok tani yang ia bentuk bersama orang-orang kepercayaannya. Tapi kelompok yang ia bentuk tidak lebih dari sebuah wadah untuk perbuatan-perbuatannya yang curang.

Semasa hidupnya, ia juga adalah sosok yang paling dibenci masyarakat di kawasan hutan. Tapi para penduduk takut karna pak Jumerin merupakan sosok yang bengis, yang tak segan-segan membunuh orang yang menentangnya. Pak Jumerin hanya takut pada pak Marwi, ketua kampung sebelah. Dan masyarakat bersorak riang ketika mengetahui pak Jumerin tewas tertimpa pohon. Kematian yang mengenaskan.

Setelah ayahnya meninggal, ia hanya sebatang kara. Pak Jumerin dengan teganya mengambil sebagian besar tanahnya dengan alasan dia yang akan mengurusnya. Kelak, jika dia sudah besar, pak Jumerin janji akan mengembalikannya.

Tapi dikemudian hari pak Jumarin mengingkari janjinya. Ketika pak Marwi menyuruhnya untuk meminta haknya pada pak Jumerin, pak Jumerin menolak. Pak Marwi waktu itu sangat marah dan meminta pak Jumerin segera mengembalikan tanah yang diambilnya kepada Fadli. Pak Marwi yang saat itu termasuk salah satu sosok yang disegani di wilayah kehutanan itu membuat pak Jumerin sedikit takut. Di hadapan pak Marwi, ia berjanji akan memberikan Fadli semua haknya.

Tapi belakangan diketahui pak Jumerin hanya memberikan tiga puluh are pada Fadli. Pak Jumerin berdalih almarhum ayah Fadli punya hutang banyak kepadanya. Hutang yang sangat besar yang tidak bisa dibayar oleh seluruh tanah miliknya. Pak Jumerin juga mengatakan, ia memberikan tanah seluas tiga puluh are itu pada Fadli karna ia kasihan kepada Fadli sebagai seorang yatim piatu.

Sebelumnya pak Marwi selalu mewanti-wanti kepada Fadli untuk menolak apapun alasan pak Jumerin terkait tanah itu. Pak Marwi sudah paham betul akal bulus pak Jumerin. Ia selalu menggunakan alasan hutang untuk memuluskan rencananya. Dan dia selalu menyodorkan nama-nama orang yang sudah meninggal sebagai saksinya.

Pak Marwi berjanji akan terus membantu Fadli mendapatkan haknya. Tapi sayang, pak Marwi mengalami pristiwa sangat mengerikan dalam hidupnya. Ia tewas digantung dan rumahnya dibakar. Anaknya Farhan yang merupakan teman kecil Fadli mungkin ikut terbakar dalam pristiwa itu.

Sejak saat itu Fadli merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Pak Marwi yang sudah dianggapnya ayah sendiri sudah meninggal. Orang yang benar-benar memperhatikan segala kebutuhannya. Semasa hidupnya, Ia selalu menyisihkan sedikit rizkinya setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap bertemu dengannya, pak Marwi selalu mengatakan, jika nanti ia berhasil menjual tanah warisan ayahnya, ia akan membangunkan Fadli sebuah rumah yang dekat dengan rumahnya.

"Agar bapak bisa mengetahui keadaanmu nak," kata pak Marwi yang selalu ia ingat sampai saat ini.

Terkadang ia harus menginap berminggu-minggu di ladangnya jika tanaman strawbery yang ditanamnya sudah mulai berbuah. Ia juga harus menjaga pohon mangga dan Alpukadnya jika sudah mulai berbuah. Bahkan ia merasa lebih nyaman menghabiskan waktunya di ladang. Tidak ada hiruk pikuk dan tidak ada orang yang akan memperhatikannya. Ia lebih bisa menenangkan diri di tempat itu. Ia hanya akan pulang untuk membeli obat dan keperluan dapurnya.

#02

Seorang laki-laki berambut gondrong menghentikan laju sepeda motornya dan berhenti di sebuah warung kecil di sisi jalan. Ia terlihat mengamati suasana sekitarnya yang tampak sepi.

Sebelum turun dari motornya, terlebih dahulu ia menurunkan lipatan kedua lengan bajunya. Ia mencoba menutupi tato yang ada di lengan tangannya sebelah kiri. Tas ransel di pundaknya ia turunkan.Setelah melihat sebentar ke sekelilingnya yang sepi, ia kemudian turun dari motornya dan meletakkan ranselnya di atas meja di depan sebuah warung kecil.

Ia mencoba mencari pemilik warung. Tidak ada orang disana. Ia mencoba memanggil. Seorang perempuan tua terlihat berjalan ke arahnya dengan memikul beberapa ranting kayu kering. Melihat pemuda itu berdiri di depan warung, ia mempercepat langkahnya.

"Maaf nak, tadi ibu sedang mencari kayu bakar. Mau pesen kopi," kata perempuan tua itu. Ranting-ranting kayu yang dibawanya di lepaskannya di sisi perapian.

"Boleh Bu," kata laki-laki itu. Ia lalu duduk. Sebungkus rokok di dalam tas ransel diambilnya. Ia lalu meraih satu batang kemudian menyulutnya.

Secangkir kopi panas sudah tersaji di depannya. Perempuan tua itu sesekali terdiam memperhatikan tato yang sesekali menyembul dari balik lengan baju laki-laki itu. Laki-laki itu terlihat kedinginan. Beberapa kali ia terlihat menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menghalau dingin. Tatapannya kesana kemari memperhatikan suasana kampung yang sepi. Rokok di tangannya ia hisap dalam-dalam.

"Sudah ramai ya Bu di sini," kata laki-laki itu tanpa membalikkan tubuhnya . Ia terlihat asik mengarahkan matanya kesana kemari. Perempuan tua itu tidak langsung menjawab. Dia sibuk memindahkan air panas yang dimasaknya di sebuah panci kecil ke dalam sebuah termos usang. Laki-laki itu menoleh, ia menyangka perempuan tua itu tidak mendengar ucapannya. Ia mencoba menegur perempuan tua itu.

"Sudah sepuluh tahun Nak. Tapi yang mau pindah cuma sepuluh orang," jawab perempuan tua itu. Tangannya sibuk menghalau kepulan asap dari tungku api di depannya.

"Kamu sendiri mau kemana Nak," tanya perempuan tua.

"Aku mau ke gubuk sebelah. Kenal sama almarhum pak Marwi Bu," kata laki-laki itu setelah terdiam beberapa saat. Ia menatap wajah perempuan tua yang terlihat seperti hendak berbicara panjang. "Saya Farhan anaknya," sambung laki-laki yang memperkenalkan dirinya Farhan itu. Dia sengaja mendahului memberitahukan identitasnya kepada bu Sarmi, agar perempuan tua itu tidak bercerita yang tidak-tidak tentang ayahnya. Farhan melihat dengan seksama wajah perempuan tua itu. Tampak sekali perempuan tua itu sedikit kaget ketika ia memperkenalkan dirinya sebagai anak almarhum pak Marwi. Pelan-pelan Farhan mulai mengenali sosok perempuan tua itu.

"Dan Nenek adalah Nenek Sarmi bukan? kalau gak salah, dulu Nenek tinggal di dekat pos kehutanan. Dulu saya sering membelikan ayah rokok di warung Nenek." Farhan melihat ada perubahan yang jelas yang tampak dari wajah bu Sarmi.

Terlihat jelas ekspresi kekagetan dari wajah perempuan tua itu. Wajahnya seketika terlihat pucat. Mungkin ia menyangka bahwa anak laki-laki pak Marwi sudah tewas terbakar dalam kejadian dua puluh tahun yang lalu itu.

"Anaknya pak Marwi? bukankah anaknya pak Marwi sudah mati," tanya bu Sarmi keheranan. Ia belum percaya jika pemuda yang mengaku anak pak Marwi itu, memang benar-benar anaknya pak Marwi.

"Saya memang anaknya pak Marwi. Saya diselamatkan paman saya saat kejadian itu terjadi." Farhan terdiam. Tatapan nanarnya mengisyaratkan bahwa ingatannya sedang terbang jauh ke masa lalu.

"Masya Allah Nak, nenek kira kamu sudah meninggal," kata bu Sarmi dengan suara parau seperti menyimpan sebuah penyesalan. Ia mengusap-usap punggung Farhan. Farhan membiarkan saja tangan tua bu Sarmi mengusap punggungnya. Sesekali tangan tuanya meraba wajah dan rambut Farhan. Sekalipun ia mulai merasa muak, tapi ia biarkan saja tangan tua itu memegang wajahnya. Bagaimanapun juga, apa yang pernah dilakukan nenek Sarmi dua puluh tahun lalu kepada ayahnya sangat menyakitkan hatinya. Tapi melihatnya yang sudah tak berdaya dalam ketuaannya, ia berusaha memaafkannya.

"Setelah kejadian itu, paman Ahmad membawaku ke rumahnya. Ia takut orang-orang pada saat itu ikut melampiaskan kemarahan mereka kepadaku." Farhan berusaha tetap tenang. Ia mencoba menahan agar emosinya tetap terkendali. Pandangannya jauh menerawang menembus lebatnya hutan.

"Nenek sama sekali tidak tahu Nak. Pada saat itu nenek sedang ada di ladang. Begitu pulang, nenek sudah mendapatkan berita tentang rumahmu yang terbakar," kata bu Sarmi . Ia memperhatikan dengan seksama wajah pemuda di depannya. Seperti mencoba mencari tanda-tanda masa kecil pemuda di sampingnya. Ketika sesekali Farhan melirik ke arahnya, bu Sarmi cepat-cepat mengalihkan pandangannya jauh ke arah rerimbunan pohon.

Farhan mendesah dan tersenyum setengah mencibir.

"Sampai saat ini, saya belum tahu apa sebenarnya sebab sehingga rumah saya dibakar dan ayah saya digantung. Saya sama sekali tidak pernah melihat ayah saya melakukan ritual-ritual aneh, seperti yang mereka tuduhkan. Justru yang sering dilakukan ayah saya adalah membongkar kecurangan tetua-tetua yang seenaknya mengambil lahan orang. Itu yang sering saya dengar waktu kecil. Ayah sering mendapat aduan dari ahli waris tanah ketika ayah mereka meninggal. Sebagian tetua kampung mengambil lahan mereka dengan alasan almarhum ayah mereka hanya numpang tanam. Semua kita disini hanya punya hak garap, tapi sudah ada batas dan surat garap resmi dari pemerintah." Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yang lebih mengherankan saya, apa dasarnya sehingga mereka menuduh ayah saya sebagai tukang santet. Padahal ayah saya hanya seorang guru ngaji," sambung Farhan panjang lebar dan terdengar penuh kekesalan. Ia sepertinya sengaja menyindir bu Sarmi. Farhan tahu, bu Sarmi juga merupakan salah satu istri tetua kampung yang getol memprovokasi suaminya untuk mengusir ayahnya.

Bu Sarmi hanya terdiam. Dia tampak sungkan menatap Farhan.

"Makanya saya sekarang pulang untuk memenuhi pesan almarhumah ibu saya. Saya harus kembali dan mengisi kembali lahan saya," kata Farhan mencoba mempertegas.

"Tapi kayaknya tanah almarhum ayahmu sudah di garap seseorang," kata bu Sarmi. Farhan menoleh.

" Benar Nek, tapi orang itu adalah orang suruhan saya, namanya pak Sumarep. Surat tanahnya masih lengkap dan bukan termasuk lahan kehutanan. Jadi tidak ada batas hak untuk menggarapnya."

Farhan bangkit dan mengambil beberapa lembar uang kertas dari dalam saku celana levisnya. Ia menyerahkan satu lembar uang lima ribuan kepada bu Sarmi.

"Ambil semua Nek, gak usah kasih kembaliannya," kata Farhan. Ia lalu mengangkat tas ranselnya dan meletakkannya di pundak. Ia lalu menyalakan sepeda motornya.

"Saya pergi dulu Nek, kapan-kapan saya mampir lagi," kata Farhan berpamitan kepada bu Sarmi. Bu Sarmi hanya tersenyum. Masih dengan mata penuh selidik.

Dengan pelan Farhan mengarahkan sepeda motornya menghindari kerikil-kerikil yang berserakan di tengah jalan. Di belakangnya, bu Sarmi masih membuntutinya dengan tatapan penuh tanda tanya.

Farhan menghentikan sepeda motornya ketika sampai di sebuah jalan kecil setengah menanjak di sebelah kanannya.

Dia merasa tak banyak yang berubah dari tempat itu. Jalan menuju ladang dan rumahnya dulu masih seperti dahulu. Hanya tampak gerbang masuk yang terbuat dari batang kayu dan bambu. Selebihnya masih seperti dahulu.

Farhan membelokkan arah motornya dan mulai menyusuri jalan menanjak di depannya. Kurang lebih tiga ratus meter dari tempatnya berbelok, Farhan menghentikan sepeda motornya ketika sudah sampai di dekat sebuah bangunan kecil, yang keseluruhannya terbuat dari kayu jati. Melihat bentuk bangunan itu, ia langsung bisa mengenalinya. Bentuk bangunan itu sesuai gambar yang ia kirim ke penjaga ladangnya.

Seseorang berperawakan kurus dengan topi yang terbuat dari tanaman pandan nampak mendekat ke arahnya. Ia tersenyum. Itu pak Sumarep, orang yang ia suruh menjaga ladangnya. Pak Sumarep juga termasuk salah satu saksi kekejaman orang-orang saat pembakaran dan pembunuhan ayahnya. Ia juga yang menyembunyikannya saat orang-orang menggeruduk rumahnya sebelum dibawa oleh pamannya.

"Akhirnya pulang juga si ganteng. Saya sudah gak kerasan di sini, gak ada teman ngobrol," kata pak Sumarep. Farhan tersenyum. Ia mencium tangan Pak Sumarep kemudian memeluknya. Pak Sumarep kemudian mengajak Farhan masuk ke dalam gubuk.

Farhan melepas ransel di pundaknya dan meletakkannya di pundaknya sebagai sandaran.

Ia mendesah dan bangkit. Ia mulai mengawasi suasana sekelilingnya. Telaga kecil di ujung ladangnya terlihat sudah tertutup tanah sebagiannya. Di sana dulu ada pohon singon besar tempat ayahnya digantung. Tapi ia tidak melihatnya lagi. Mungkin sudah ambruk atau sudah ditebang.

"Oya Pak, Saya kok ingat dulu punya teman namanya Fadli. Apa sekarang dia masih hidup?" tanya Farhan sambil mendekat kembali ke tempat pak Sumarep masih duduk.

"Fadli? Fadli yang mana maksud Nak Farhan," kata pak Sumarep sambil mencoba mengingat-ingat.

"Itu lho Pak, yang anaknya pernah jatuh di telaga itu. Yang dulu sering dibawakan almarhum bapak makanan," jawab Farhan sambil mengarahkan pandangan pak Sumarep ke arah telaga.

Pak Sumarep mengernyitkan keningnya.

"Oh itu, si Fadli, bapak sampai lupa namanya. Bapak juga jarang melihatnya. Kalau gak salah, sekarang ia tinggal di kampung baru. Kamu pasti lewat sana tadi, yang ada warung kopi di pinggir jalan." Pak Sumarep menyulut sebatang rokok. Ia menawarkannya kepada Farhan, namun Farhan menolak.

"Ow itu, Tadi saya sempat minum kopi di sana. Kayaknya pemilik warung itu adalah nenek Sarmi,"

"Betul, itu memang nenek Sarmi. Setelah suaminya meninggal, ia hidup sebatang kara. Anaknya satu persatu pergi meninggalkan merantau ke Malaysia. Sekarang ia sudah jatuh miskin." Pak Sumarep terdiam sejenak. "Kalau bapak ingat nenek itu, ingin rasanya bapak menggantung lehernya di pohon. Dia lah yang memprovokasi warga untuk membunuh ayahmu," sambung pak Sumarep kesal. Rokok lintingan di tangannya yang sempat mati disulutnya kembali lalu dihisapnya dalam-dalam. Farhan hanya menunduk mendengar cerita pak Sumarep.

"Tapi Allah Maha Adil, Allah telah membalas perbuatan suaminya. Ia tewas tertimbun pohon singon di ladang yang ia serobot. Salah satu penasehatnya, pak Udin, juga tewas mengenaskan. Rumahnya dirampok dan potongan kepalanya ditemukan terpisah dengan badannya." Pak Sumarep mendesah panjang. Tatapannya masih mengisyaratkan kenangan pahit masa lalu.

"Sekarang yang masih tersisa dari gerombolan perampok tanah itu tinggal pak Sukar, Haji Maemun, dan pak Mistar," sambung pak Sumarep. Ia benar-benar masih ingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.

Farhan mendesah dan mengusap rambut yang menjuntai di wajahnya ke belakang. Ia menepuk-nepuk bahu pak Sumarep.

"Sudahlah Pak, mengungkit-ungkit masa lalu hanya akan membuat kita sedih. Ayah sudah tenang bersama ibu di alam sana," kata Farhan tegar. Pak Sumarep mengangguk.

"Oya Nak Farhan, sebentar lagi tanaman kol kita akan segera kita panen. Menurut saudagar yang akan membeli kol kita, insya Allah tiga hari lagi kita bisa memanennya. Adikmu Wati juga akan kesini untuk membantu kita," kata pak Sumarep. Ia berdiri dan mengajak Farhan berkeliling. Farhan mulai memeriksa tanaman kol yang tumbuh subur memenuhi ladang.

"Oya Pak, apa dik Wati sering kesini membantu Bapak," kata Farhan ketika teringat Wati, anaknya pak Sumarep yang juga teman bermainnya dulu waktu kecil.

"Sekali seminggu ia kesini jika pamanmu Rohimin pergi mancing ke laut. Dia malah gak mau pulang kalau sudah di sini. Rencana bapak, kami akan menjual tanah yang di desa dan pindah ke sini. Anak-anak kampung sebelah banyak yang belajar baca Qur'an sama bapak. Saya ajak adikmu Wati kesini biar ada yang bantu bapak mengajar."

Farhan mengangguk. Karna ia merasa lelah dan mulai mengantuk, ia berpamitan untuk istirahat sejenak di gubuk.

#03

Matahari telah tenggelam di balik lebatnya hutan. Kabut mulai tebal menyelimuti. Hawa dingin menusuk. Seluruh penghuni hutan bersembunyi di balik selimut dan perapian malam. Suara gagak sesekali terdengar memantul di batang-batang pohon. Pepohonan pinus seperti menara hantu dalam kegelapan. Sepi dan sunyi.

Dua orang pria yang tadi pagi menikmati kopi di warung kopi bu Sarmi, terlihat menyalakan api di sebuah perapian besar yang terbuat dari tanah liat, di depan tempat mereka duduk bersila. Salah seorang dari mereka menuangkan air panas ke dalam cangkir aluminium berukuran besar. Ia menggesernya sedikit ke dekat api yang menyala, berharap kopi yang diseduhnya tetap hangat.

Seorang lagi berdiri mengambil selimut lusuh motif garis-garis yang tergantung pada tali jemuran. Jaket hitam yang ia pakai sepertinya tak cukup hangat mengusir dingin tubuhnya. Sebelum duduk, ia melilitkan selimut itu di tubuhnya.

"Oya Nasir, tadi aku ngopi lagi di warungnya bu Sarmi. Dia bercerita kalau anaknya Almarhum pak Marwi tadi pagi sempat ngopi di warungnya".

Orang yang dipanggil Nasir itu mengernyitkan dahinya. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Beberapa ranting kecil dimasukkannya ke dalam tungku api. Nyala api di dalam perapian semakin membesar.

"Anaknya Almarhum Pak Marwi? Yang dulu dibakar rumahnya dan digantung di pohon?" Kata Nasir seperti tidak percaya. Temannya mengangguk. Nasir tersenyum. Kedua telapak tangannya dihadapkannya dekat ke perapian.

"Yang benar saja Badrol, bukankah anaknya Pak Marwi ikut juga terbakar di dalam rumah?" Kata Nasir kepada temannya yang ia panggil Badrol. Badrol terdiam sejenak.

"Kayaknya enggak. Kata para tetua, dia diselamatkan sama Pak Ahmad, pamannya."Kata Badrol mempertegas. Nasir memperhatikan wajah Badrol. Kali ini ia terdiam lama. Seperti mulai mempercayainya.

"Terlepas ia masih hidup atau tidak, yang jelas mereka tega sekali memperlakukan pak Marwi seperti itu. Sejahat-jahatnya orang, Aku tidak akan tega berbuat seperti itu," kata Nasir menyayangkan. Ia menyeruput kopi di tangannya. Ia nampak meringis sambil memejamkan matanya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah Badrol.

"Bangsat kamu, Badrol. Kenapa kopiku tidak kamu taruhkan gula," kata Nasir sambil mengeluarkan air kopi yang diminumnya dari mulutnya. Melihat itu Badrol tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.

"Maaf saudara, Aku lupa. Aku lebih dulu ingat cerita bu Sarmi daripada menaruhkanmu gula," kata Badrol sambil terus tertawa memegang perutnya.

"Untung kamu minum duluan, kalau tidak aku juga pasti akan meminum kopiku. Ni lihat, Aku juga belum kasih gula kopiku," sambung Badrol sambil memeperlihatkan cangkir aluminium di tangannya.

Untuk sesaat mereka berdua terdiam sambil menikmati kopi di tangan mereka.

"Ngomong-ngomong tentang pak Marwi, kok aku jadi merinding," kata Nasir.

"Ceritanya gimana sih kok sampai terjadi pristiwa itu. Waktu itu aku lagi di desa sedang mengurus KTP. Sampai saat ini aku masih kurang begitu jelas sebab musabab peristiwa itu," sambung Nasir penasaran.

Badrol menaikkan kedua pundaknya. Ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi perapian.

"Sama, Aku juga waktu itu sedang berada di ladang. Dua minggu aku di ladang menjaga buah strawberyku." Badrol mengeluarkan sebatang rokok dari dalam sebungkus rokok yang ada di sampingnya. Ia lalu menyulutnya. Ia menoleh ke arah Nasir.

"Kata pak Ahmad, suami bu Sarmi lah yang telah memprovokasi teman-temannya untuk melakukan pembakaran dan pembunuhan. Mereka berdalih bahwa pak Marwi adalah seorang dukun santet. Kebetulan waktu itu banyak peladang yang meninggal. Orang-orang menuduh pak Marwilah yang menyantetnya. Tapi ingat, Nasir. Ini gak boleh disebarkan. Kalau orang-orang pak Jumarin tahu, kita bisa ikut dibunuh juga."

Nasir mendengarkan dengan seksama cerita Badrol. Nasir menganggukkan kepala.

"Tuduhan sekelompok orang yang memprovokasi penduduk untuk membakar rumah dan membunuh pak Marwi, menurut pak Ahmad, hanyalah akal-akalan pak Jumarin, suaminya bu Sarmi. Mereka marah karna pak Marwi selalu menghalangi mereka untuk mendapatkan tambahan lahan. Mereka seenaknya mengambil dan menyewakan lahan milik orang lain. Dan aku lebih setuju dengan pendapat pak Ahmad. Suami bu Sarmi memang orangnya licik," kata Badrol, kali ini dengan setengah berbisik namun terdengar kesal.

Nasir hanya mengangguk.

"Dan bisa jadi kepulangan anaknya pak Marwi adalah untuk balas dendam. Jika memang benar itu anaknya pak Marwi," kata Nasir mencoba menebak setelah tadi hanya diam mendengarkan pendapat Badrol. Badrol mendesah panjang.

"Kalau aku jadi dia, Aku pasti akan balas dendam. Kasus itupun sampai saat ini tidak pernah diproses. Katanya sih, suami bu Sarmi dan kawan-kawannya mengeluarkan uang tiga ratus juta untuk menyogok polisi."

"Memangnya kamu berani melawan mereka?" tanya Nasir. Badrol menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum cengengesan.

"Gak tahu juga," jawabnya singkat. Nasir tersenyum mencemooh.

"Lima ratus juta saja mereka tidak akan kewalahan. Kasus tanah yang sudah mereka menangkan begitu banyak. Di luar sana, mereka benar-benar berkuasa memanfaatkan orang-orang bodoh dengan kepintaran dan uang mereka. Mereka buat surat tanah palsu, bahkan mengancam orang yang mau menuntut ke penjara. Kamu tahu sendirikan Pak Jumerin itu kenal semua pejabat-pejabat di kota," tambah Badrol dengan suara masih setengah berbisik. Sesekali ia menoleh ke arah pintu. Seperti ada orang lain yang akan mendengar pembicaraannya.

Badrol menguap panjang. Gelas kopinya ia singkirkan lebih jauh dan ia mulai menselonjorkan kakinya. Melihat itu, Nasir mengambil bantal yang ada di belakangnya dan ikut membaringkan tubuhnya.

* * *

Malam semakin larut. Dingin terasa lebih menusuk. Penghuni malam benar-benar seperti mumi hidup yang meringkuk di balik tebalnya selimut mereka.

Di saat penghuni malam pulas dalam tidur mereka, sesosok laki-laki misterius terlihat berdiri bersedekap di balik sebuah pohon besar. Sekitar sepuluh meter dari jalan umum. Tatapannya tajam tertuju ke arah gubuk kecil milik bu Sarmi. Suara nyamuk yang mengerubungi tubuhnya sama sekali tak dihiraukannya. Dia seperti penguasa malam di tengah keheningan hutan belantara. Tak ada rasa takut ketika sesekali suara-suara aneh dari binatang malam mengagetkan hening malam.

Laki-laki misterius itu membalikkan badannya. Dengan langkah pincang, ia melangkah tenang memasuki gelap hutan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!