Suamiku, Ayah Anak Didik ku
Namanya Nadia, dia adalah guru TK di sebuah sekolah ternama. Namanya sekolah ternama pastinya biaya masuk dan biaya sekolahnya pasti mahal. pastinya juga yang bersekolah di situ orang tuanya rata-rata menengah ke atas. Nadia begitu senang mengajar di TK. Karena dapat bersua dengan murid yang lucu-lucu dan menggemaskan. Berbagai ragam sikap dan sifat mereka yang sungguh menggemaskan membuat Nadia betah berlama-lama di sana. Apalagi jika mengahadapi murid yang agak tengil, tapi pinter Nadia sungguh menyukainya. Ada salah seorang anak perempuan yang begitu mencuri perhatiannya. Anak perempuan cantik, menggemaskan, pintar, dan suka berbagi dengan orang lain. Pastinya orang tua yang mendidiknya di rumah orang tua yang baik. Namanya Aysila Husna. Biasa dipanggil dengan sebutan Ay. Ay juga suka berpangku pada Nadia, suka bermanja-manja membuat Nadia gemas sendiri. Iseng-iseng Nadia bertanya pada Ay.
"Nak, Ayahnya ganteng atau jelek?" tanya Nadia bercanda pada Ay.
"Ganteng lah bu, namanya laki-laki pasti ganteng ibu," ucap Ay dengan celotehannya yang begitu menggemaskan membuat Nadia tertawa.
"Hmmm... Gitu yah?" ucap Nadia menjawil pipi Ay.
Saat anak-anak sudah berada di arena bermain. Pelajaran sudah usai. Ay dijemput seorang pria jangkung memakai masker. Nadia bertanya pada salah seorang guru.
"Ini siapanya Ay?" tanya Nadia.
"Oh...ini ayahnya Ay," ucap guru tersebut, ibu Mala sambil tersenyum.
Entah keberanian dari mana Nadia berceloteh,"Iya, tadi saya tanya sama Ay, ayah Ay ganteng atau jelek? Dia jawab ganteng lah ibu, namanya laki-laki pasti ganteng lah."
Nadia melirik ke arah ayah Ay yang nampak terkejut, namun segera menetralkan diri nya yang sepertinya tersenyum di balik maskernya karena matanya kelihatan menyipit.
"Iyalah, bijak kali si Ay ini memang yah," ucap Mala tersenyum. Nadia pun tersenyum dan mengangguk mengiyakan yang dikatakan Mala.
"Dah... Ay sayang," ucap Nadia dan Mala. Mereka berlalu dari hadapan mereka dengan septor sambil melambaikan tangan.
***
Sudut pandang Doni.
Doni tengah berada di sebuah Sekolah SMP ternama di kota itu. Doni menjabat sebagai kepala sekolah di sana. Doni melirik ke arah jam tangannya. Jam tangannya menunjukkan pukul 11.00. Waktunya Doni menjemput putri kecil semata wayangnya. Doni sengaja memakai septor agar tidak terjebak macet. Tepat pukul 11 lewat 20 menit Doni sampai di sekolah putrinya Ay. Di sana sudah ada beberapa guru dan orang tua murid.
"Ini siapanya Ay?" tanya salah seorang guru.
"Oh...ini ayahnya Ay," jawab guru yang lain. Doni hanya tersenyum menanggapi di balik maskernya.
"Iya, tadi saya tanya sama Ay, ayah Ay ganteng atau jelek? Dijawab Ay, ganteng lah ibu namanya laki-laki pasti ganteng lah," ucap guru yang bertanya tadi.
Doni terkejut dan merasa baper, namun tersenyum menatap senyum manis ibu guru Ay itu yang melirik ke arah nya.
"Iyalah, bijak kali si Ay ini memang yah," sambung guru yang lain. Doni semakin tersenyum di balik maskernya.
Mereka mengucapkan salam dan berdada ria pada Ay. Pandangan Doni tak ingin lepas dari ibu guru yang mengatakan ganteng tersebut walau pandangan ibu guru itu fokus ke Ay yang terlihat sangat menyukai Ay.
Doni memarkirkan septornya ke kawasan rumah elit. Doni membawa Ay ke dalam dan disambut oleh eyangnya. Orang tua Doni. Sementara ibu Ay, tidak memperdulikan Ay sama sekali. Dia sibuk dengan dunia modelling nya membuat Doni merasa muak dan sudah menceraikannya. Dia sama sekali tidak memperhatikan suami dan anaknya. Doni merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan sudah melepas maskernya. Saat memejamkan mata, sekelebat senyum guru Ay membayang diingatan nya, membuat dirinya bangkit dan tanpa dia sadari ikut tersenyum juga.
Manis juga, namanya siapa yah? Batin Doni. Wanita seperti itu yang pantas untuk Ay. Ramah dan penuh kasih sayang. Apalagi dia bilang aku ganteng. Batin Doni dengan senyum sumringahnya. Merasa baper sendiri.
Sementara itu Nadia merasa uring-uringan kenapa dia kelepasan ngomong gitu sama orang tua murid. Sama suami orang lagi. Aduh... Nggak... Nggak... Nadia merasa malu dan uring-uringan. Terbayang sekelebat sosok ayah Ay yang jangkung. Ay cantik dan imut pasti mirip ayahnya. Batin Nadia. Ya Allah, kenapa aku jadi mikirin suami orang gini. Nadia segera menggubris pikiran itu jauh-jauh dari ingatannya.
Keesokan harinya Doni bercermin cukup lama memperhatikan penampilannya. Dengan rambut yang klimis, kemeja lengan panjang, serta celana kerja yang pas membuat Doni kelihatan tampan dan mempesona. Aura maskulin terpancar dari wajahnya.
"Ayah...ayo kita sekolah," ucap Ay mendatangi kamar ayahnya.
"Iya sayang, ayo kita sekolah. Bekalnya sudah kan?" tanya Doni.
"Sudah ayah, sudah disiapin eyang tadi," ucap Ay tersenyum.
Hujan cukup deras di luar sana. Doni memutuskan membawa mobil agar putri kecilnya tidak kehujanan. Tak lupa mereka berpamitan dengan eyang Ay.
"Hati-hati di jalan yah cucu eyang," ucap eyang Ay, mencium puncak kepala Ay.
"Doni pamit Ma," ucap Doni menyalami ibunya.
"Iya Nak, hati-hati," ucap eyang Ay.
Doni terjebak macet, beberapa kali dia melihat jam tangannya. Duh... Ay terlambat. Batin Doni.
Sementara di TK semua sudah berbaris dan senam di pagi hari, serta sudah membacakan do'a di pagi hari. Saat Nadia ingin masuk ke kelas untuk minum, Nadia melihat mobil berhenti di pagar. Mungkin salah satu murid. Fikir Nadia. Nadia membuka gerbang dan hujan sudah rintik-rintik. Keluarlah sosok jangkung dari arah pintu kemudi memakai masker. Dia membukakan pintu di sebelahnya. Ntah kenapa Nadia merasa berdebar. Ternyata itu adalah Ay dan ayahnya.
"Maaf yah ibu Ay nya terlambat," ucap ayah Ay.
"Iya Pak, gak papa," ucap Nadia.
"Salam ibunya Nak," ucap Doni.
Nadia pun tersenyum menyambut tangan mungil Ay.
"Assalamu'alaikum cantik, sayang ibu," ucap Nadia.
Doni terpesona sesaat menatap Nadia yang setengah menunduk ke Ay dan menerima tas Ay.
"Ayah pergi dulu yah, nanti ayah jemput lagi," ucap Doni. Ay mengangguk.
"Terima kasih yah Ibu," ucap Doni.
"Iya ayah," ucap Nadia polos menuju ke dalam membawa Ay membelakangi Doni. Doni terpaku di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang.
Apa katanya tadi, ayah? Doni tersenyum melihat keduanya dan segera berlalu karena tugasnya sedang menunggu.
Nadia merasa malu, kenapa aku tadi sebut dia ayah. Ya Allah... jadi baper sendiri kan aku? Malunya. Apa tanggapan ayah Ay nanti. Batin Nadia.
Saat jam pelajaran berlangsung Ay menangis kencang. Nadia panik dan melihat tangan kiri Ay tergores.
"Ay kenapa?" tanya Nadia.
"Sakit Ibu," ucap Ay menunjukkan tangannya.
Nadia segera mengobati luka di tangan Ay dan meniupnya agar Ay tidak menangis. Ay pun menjadi tenang.
"Nanti kasih tau ayah Ay yah Ibu, biar diobati," ucap Ay.
"Iya sayang, nanti Ibu kasih tau sama ayah yah, udah jangan nangis lagi yah sayang," ucap Nadia memeluk dan mencium Ay dengan gemas.
Nadia menyuapi Ay makan, namun Ay tidak berselera. Moodnya lagi tidak baik saat ini. Nadia hanya bisa menghela nafas. Nadia pun memberikan roti dan susu yang dibawa dari rumahnya. Ay memakan rotinya sedikit namun menghabiskan susunya. Nadia memberikan air putih pada Ay agar tidak haus.
Suasana hujan masih deras di luar. Bu Mala tidak hadir hari ini karena terjebak banjir. Jadi Nadia berinisiatif agar anak-anak tidak bosan Nadia bercerita kepada anak-anak. Anak-anak merasa senang mendengar cerita Nadia hingga hujan pun reda dan Nadia membolehkan anak-anak bermain di luar.
Anak-anak satu per satu dijemput orang tuanya. Ay sendiri dijemput oleh tantenya.
"Ibu, ini tadi tangan Ay tergores sedikit," ucap Nadia.
"Karena asyik bermain yah Ibu?" tanya tantenya.
"Iya ibu," ucap Nadia tersenyum. "Oh iya ibu, tadi Ay gak mau makan."
"Oh iya, kenapa gitu Ay?" tanya tantenya.
"Tapi susunya habis ibu," ucap Nadia.
"Oh...iya Ibu. Makasih yah ibu," ucap tantenya.
"Iya ibu. Dah sayang," ucap Nadia.
Tak lama setelah kepergian mereka, ayah Ay datang menggunakan septor.
"Ay nya sudah dijemput tadi Pak," ucap Nadia.
"Oh...iya ibu sama siapa?" tanya ayah Ay.
"Tantenya Pak," ucap Nadia tersenyum.
"Oh...iya ibu. Makasih yah ibu," ucap Doni.
"Iya Pak," ucap Nadia.
Keduanya merasa berdebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments