TOXIC : Story of Masha
'Plakkk!'
Tamparan keras diwajahnya, membuat mata Masha berkunang-kunang, dan hampir jatuh pingsan.
Masha sama sekali tidak menduga kalau dia akan dipukul, tanpa penjelasan tentang apa kesalahannya, benar-benar tidak siap saat itu, dan cukup membuatnya linglung untuk beberapa saat lamanya.
Sebisanya, tangannya meraba-raba dinding, agar bisa menjadi tempatnya berpegangan agar tidak terjatuh kelantai.
Sebungkus rokok dan sebuah korek api, yang dibeli Masha karena disuruh ayahnya itu, hanya terjatuh dan berhamburan dilantai, tanpa sempat disodorkannya kepada ayahnya.
"Kamu mempermalukan saya!" teriakan dengan suara berat yang meninggi, menggema di telinga Masha.
Sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya, Masha dengan tetap menundukkan kepalanya, tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membantah ucapan ayahnya itu.
"Untuk apa kamu berteman dengan pengguna narkotika seperti Doni? Kamu ikut memakai obat-obatan itu? Anak sial!" Bentakan keras ayahnya makin menjadi-jadi, dengan suaranya yang bergetar penuh amarah.
Doni.
Doni?
Masha tidak berteman dengan pemuda itu.
Secara kebetulan saja, Doni memarkirkan motornya didepan pagar rumah, saat Masha sedang duduk sambil memainkan gitar diteras rumahnya.
Tuduhan apa lagi ini?
Terdengar langkah kaki yang menjauh dari tempat Masha berdiri.
Ayahnya sudah pergi meninggalkan Masha berdiri sendiri, diruang keluarga dirumah itu.
Sakit?
Tentu saja.
Masha merasa tamparan itu sangat menyakitkan.
Tapi, Masha sudah terbiasa, sehingga meski setetes air mata pun, tidak akan mengalir lagi diwajahnya, berkaca-kaca pun, tidak.
Masha berjalan pelan masuk kedalam kamarnya, tanpa mau menyentuh barang yang dibelikan untuk ayahnya tadi, dan hanya melangkahkan kakinya, melewati barang-barang itu begitu saja.
Pintu kamarnya ditutup Masha, dan dikunci rapat-rapat.
Kali ini, bukanlah kali pertama Masha dipukul ayahnya.
Sayangnya, semua tamparan, pukulan diwajah maupun ditubuhnya, bukan karena kesalahan Masha.
Tuduhan asal bicara ibu tirinya, tanpa alasan yang jelas, selalu saja membuat Masha dijadikan sebagai samsak tinju, oleh ayah kandungnya, yang kadung percaya dengan perkataan istri mudanya itu.
Masha tidak mau melihat cermin.
Meskipun, dia tidak melihat pantulan wajahnya disana, dari rasa anyir di mulutnya saja, Masha sudah tahu kalau bibirnya pasti sobek kali ini.
Semenjak hampir tiga tahun yang lalu, ketika Masha ikut tinggal dengan ayah dan keluarga barunya, hampir setiap hari Masha akan dipukul, dengan alasan mendidik Masha, agar bisa berperilaku lebih baik.
Lucunya, setiap kali Masha menerima 'didikan' yang tidak sepantasnya dia dapatkan, untuk beberapa waktu kemudian, ayahnya lalu meminta maaf kepada Masha.
Lucu?
Iya.
Masha menertawakan hal itu seperti orang gila.
Tangisan yang sudah terlalu sering dia keluarkan, berganti dengan kekerasan hati, dan menganggap kalau orang-orang dalam keluarga itu adalah kumpulan pelawak.
Bagaimana tidak.
Ayahnya meminta maaf seolah-olah bersungguh-sungguh menyesali perbuatan kasarnya, tapi paling lama bertahan selama dua hari, perbuatan kasarnya di ulanginya lagi.
Begitu juga ibu tiri Masha, yang menangis seperti orang bodoh, saat mengakui kalau dia telah salah mendengar gosip tetangga atau bisikan Kinan, dan melaporkan hal itu kepada Sugiono Harto, ayah Masha.
Kinan, kakak tiri Masha, tidak kalah lucu saat melawak, dengan berkata yang tidak-tidak tentang Masha kepada ibu kesayangannya.
Masih kurang?
Sugiono Harto yang konon katanya orang terpandang atau terkenal dikompleks perumahan itu, memiliki tetangga yang buruk.
Buruk bagi Masha, tapi tidak bagi ibu tirinya.
Ibu tirinya senang berteman dengan tetangga-tetangga yang di kesehariannya, lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergosip tentang tetangga yang lain.
Masha bukan hanya asal tuduh.
Masha pernah beberapa kali menangkap basah, saat beberapa ibu-ibu kompleks sedang mengobrol dengan ibu tirinya, baik menceritakan tentang tetangga lain, atau menduga-duga kalau Masha melakukan hal yang buruk diluar rumah.
Mungkin kalau saja tidak ada rasa segan terhadap orang yang lebih tua, Masha akan membentak ibu-ibu itu, saat itu juga.
Segan bukan berarti Masha menghormati sikap buruk ibu-ibu itu, termasuk ibu tirinya, melainkan karena didikan lama yang sudah tertanam didalam kepalanya.
Masha yang sebelumnya tinggal dengan kakek dan neneknya, memang selama itu selalu diajarkan, bahkan bisa dibilang kalau didoktrin, bahwa orang tua selalu benar.
Masha harus tunduk kepada orang tua, dan tidak boleh membantah, apalagi berani melawan kehendak mereka.
Katanya, orang tua lebih tahu apa yang baik ataupun yang buruk, dan katanya lagi, mereka bisa bertanggung jawab atas semua yang mereka lakukan atau katakan.
Masha menatap buku catatan harian didepannya yang masih kosong.
Diary, itu pemberian teman dekat Masha, waktu kelulusan sekolah menengah pertama dikota tempat Masha menghabiskan masa kecilnya, dengan kakek dan neneknya, dan dijadikan kenang-kenangan perpisahan bagi Masha, yang harus pindah kekota ini.
Selama hampir tiga tahun ini benda itu ada ditangannya, belum ada sedikitpun coretan didalamnya.
"Tuliskan semua kenangan indahmu didalam situ! Kalau-kalau kamu kembali kesini, aku ingin mengetahui apa saja yang kamu lakukan disana, tanpa ada aku menemanimu."
Pesan terakhir teman Masha, sambil berpelukan dengannya, terbayang-bayang dalam ingatan Masha.
Sayangnya...
Belum ada satupun kejadian yang bisa dituliskan Masha di catatan harian itu.
Masha mengambil diary itu dan menyimpannya diantara buku-buku lain, yang ada di rak meja belajarnya.
Sebenarnya, Masha memiliki tugas harian sekolah yang harus dikerjakan, tapi Masha sedang tidak berminat untuk membuat otaknya semakin lelah dengan tugas matematika itu.
Buku tulis tua yang masih ada lembaran kosongnya, menjadi tempat Masha mencorat-coret sesuka hatinya.
Entah apa yang di gambar Masha didalam situ.
Coretan-coretan asal-asalan, tidak berbentuk apa-apa, dan hanya sekedar garis-garis acak-acakan.
Beberapa lembar kertas, sudah penuh dengan coretan didalamnya, Masha akhirnya berhenti mencoretnya lagi.
Sebaiknya, Masha mengerjakan tugas matematikanya, kalau tidak mau mengacaukan nilai sekolah, dan Masha akan menerima lebih banyak pukulan di setiap bagian tubuhnya.
Bukan tugas yang sulit bagi Masha, matematika, fisika, kimia, dan semua mata pelajaran sekolah yang dianggap sulit oleh teman-teman sekelasnya, tidak bagi Masha.
Semua pelajaran itu hanya isapan jempol baginya.
Apanya yang sulit?
Semua sudah ada caranya, baik rumus, maupun penjelasannya, tinggal dihitung atau ditulis jawabannya begitu saja.
Yang sulit bagi Masha justru sesuatu yang memaksanya menerka-nerka.
Seperti besok nanti, kira-kira akan ada masalah apa lagi, yang bisa membuat bibirnya berdarah, atau lebam dilehernya, atau mungkin kaki yang hampir pincang, lengkap dengan lebam di bagian betisnya.
Belum lagi, Masha harus memikirkan alasannya tentang semua bekas luka itu, saat ada teman sekelasnya bertanya.
'Jatuh saat memanjat pohon.'
'Terpeleset dikamar mandi.'
'Menabrak pintu kamar.'
'Disengat lebah.'
Berbagai macam alasan sudah pernah diutarakan Masha, dan sebagian besar dari alasan-alasan itu, tampaknya tidak dipercaya oleh rekan-rekan sekelasnya.
Tidak masalah.
Mereka percaya atau tidak, bukan masalah bagi Masha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments