NovelToon NovelToon

TOXIC : Story of Masha

Part 1

'Plakkk!'

Tamparan keras diwajahnya, membuat mata Masha berkunang-kunang, dan hampir jatuh pingsan.

Masha sama sekali tidak menduga kalau dia akan dipukul, tanpa penjelasan tentang apa kesalahannya, benar-benar tidak siap saat itu, dan cukup membuatnya linglung untuk beberapa saat lamanya.

Sebisanya, tangannya meraba-raba dinding, agar bisa menjadi tempatnya berpegangan agar tidak terjatuh kelantai.

Sebungkus rokok dan sebuah korek api, yang dibeli Masha karena disuruh ayahnya itu, hanya terjatuh dan berhamburan dilantai, tanpa sempat disodorkannya kepada ayahnya.

"Kamu mempermalukan saya!" teriakan dengan suara berat yang meninggi, menggema di telinga Masha.

Sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya, Masha dengan tetap menundukkan kepalanya, tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membantah ucapan ayahnya itu.

"Untuk apa kamu berteman dengan pengguna narkotika seperti Doni? Kamu ikut memakai obat-obatan itu? Anak sial!" Bentakan keras ayahnya makin menjadi-jadi, dengan suaranya yang bergetar penuh amarah.

Doni.

Doni?

Masha tidak berteman dengan pemuda itu.

Secara kebetulan saja, Doni memarkirkan motornya didepan pagar rumah, saat Masha sedang duduk sambil memainkan gitar diteras rumahnya.

Tuduhan apa lagi ini?

Terdengar langkah kaki yang menjauh dari tempat Masha berdiri.

Ayahnya sudah pergi meninggalkan Masha berdiri sendiri, diruang keluarga dirumah itu.

Sakit?

Tentu saja.

Masha merasa tamparan itu sangat menyakitkan.

Tapi, Masha sudah terbiasa, sehingga meski setetes air mata pun, tidak akan mengalir lagi diwajahnya, berkaca-kaca pun, tidak.

Masha berjalan pelan masuk kedalam kamarnya, tanpa mau menyentuh barang yang dibelikan untuk ayahnya tadi, dan hanya melangkahkan kakinya, melewati barang-barang itu begitu saja.

Pintu kamarnya ditutup Masha, dan dikunci rapat-rapat.

Kali ini, bukanlah kali pertama Masha dipukul ayahnya.

Sayangnya, semua tamparan, pukulan diwajah maupun ditubuhnya, bukan karena kesalahan Masha.

Tuduhan asal bicara ibu tirinya, tanpa alasan yang jelas, selalu saja membuat Masha dijadikan sebagai samsak tinju, oleh ayah kandungnya, yang kadung percaya dengan perkataan istri mudanya itu.

Masha tidak mau melihat cermin.

Meskipun, dia tidak melihat pantulan wajahnya disana, dari rasa anyir di mulutnya saja, Masha sudah tahu kalau bibirnya pasti sobek kali ini.

Semenjak hampir tiga tahun yang lalu, ketika Masha ikut tinggal dengan ayah dan keluarga barunya, hampir setiap hari Masha akan dipukul, dengan alasan mendidik Masha, agar bisa berperilaku lebih baik.

Lucunya, setiap kali Masha menerima 'didikan' yang tidak sepantasnya dia dapatkan, untuk beberapa waktu kemudian, ayahnya lalu meminta maaf kepada Masha.

Lucu?

Iya.

Masha menertawakan hal itu seperti orang gila.

Tangisan yang sudah terlalu sering dia keluarkan, berganti dengan kekerasan hati, dan menganggap kalau orang-orang dalam keluarga itu adalah kumpulan pelawak.

Bagaimana tidak.

Ayahnya meminta maaf seolah-olah bersungguh-sungguh menyesali perbuatan kasarnya, tapi paling lama bertahan selama dua hari, perbuatan kasarnya di ulanginya lagi.

Begitu juga ibu tiri Masha, yang menangis seperti orang bodoh, saat mengakui kalau dia telah salah mendengar gosip tetangga atau bisikan Kinan, dan melaporkan hal itu kepada Sugiono Harto, ayah Masha.

Kinan, kakak tiri Masha, tidak kalah lucu saat melawak, dengan berkata yang tidak-tidak tentang Masha kepada ibu kesayangannya.

Masih kurang?

Sugiono Harto yang konon katanya orang terpandang atau terkenal dikompleks perumahan itu, memiliki tetangga yang buruk.

Buruk bagi Masha, tapi tidak bagi ibu tirinya.

Ibu tirinya senang berteman dengan tetangga-tetangga yang di kesehariannya, lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergosip tentang tetangga yang lain.

Masha bukan hanya asal tuduh.

Masha pernah beberapa kali menangkap basah, saat beberapa ibu-ibu kompleks sedang mengobrol dengan ibu tirinya, baik menceritakan tentang tetangga lain, atau menduga-duga kalau Masha melakukan hal yang buruk diluar rumah.

Mungkin kalau saja tidak ada rasa segan terhadap orang yang lebih tua, Masha akan membentak ibu-ibu itu, saat itu juga.

Segan bukan berarti Masha menghormati sikap buruk ibu-ibu itu, termasuk ibu tirinya, melainkan karena didikan lama yang sudah tertanam didalam kepalanya.

Masha yang sebelumnya tinggal dengan kakek dan neneknya, memang selama itu selalu diajarkan, bahkan bisa dibilang kalau didoktrin, bahwa orang tua selalu benar.

Masha harus tunduk kepada orang tua, dan tidak boleh membantah, apalagi berani melawan kehendak mereka.

Katanya, orang tua lebih tahu apa yang baik ataupun yang buruk, dan katanya lagi, mereka bisa bertanggung jawab atas semua yang mereka lakukan atau katakan.

Masha menatap buku catatan harian didepannya yang masih kosong.

Diary, itu pemberian teman dekat Masha, waktu kelulusan sekolah menengah pertama dikota tempat Masha menghabiskan masa kecilnya, dengan kakek dan neneknya, dan dijadikan kenang-kenangan perpisahan bagi Masha, yang harus pindah kekota ini.

Selama hampir tiga tahun ini benda itu ada ditangannya, belum ada sedikitpun coretan didalamnya.

"Tuliskan semua kenangan indahmu didalam situ! Kalau-kalau kamu kembali kesini, aku ingin mengetahui apa saja yang kamu lakukan disana, tanpa ada aku menemanimu."

Pesan terakhir teman Masha, sambil berpelukan dengannya, terbayang-bayang dalam ingatan Masha.

Sayangnya...

Belum ada satupun kejadian yang bisa dituliskan Masha di catatan harian itu.

Masha mengambil diary itu dan menyimpannya diantara buku-buku lain, yang ada di rak meja belajarnya.

Sebenarnya, Masha memiliki tugas harian sekolah yang harus dikerjakan, tapi Masha sedang tidak berminat untuk membuat otaknya semakin lelah dengan tugas matematika itu.

Buku tulis tua yang masih ada lembaran kosongnya, menjadi tempat Masha mencorat-coret sesuka hatinya.

Entah apa yang di gambar Masha didalam situ.

Coretan-coretan asal-asalan, tidak berbentuk apa-apa, dan hanya sekedar garis-garis acak-acakan.

Beberapa lembar kertas, sudah penuh dengan coretan didalamnya, Masha akhirnya berhenti mencoretnya lagi.

Sebaiknya, Masha mengerjakan tugas matematikanya, kalau tidak mau mengacaukan nilai sekolah, dan Masha akan menerima lebih banyak pukulan di setiap bagian tubuhnya.

Bukan tugas yang sulit bagi Masha, matematika, fisika, kimia, dan semua mata pelajaran sekolah yang dianggap sulit oleh teman-teman sekelasnya, tidak bagi Masha.

Semua pelajaran itu hanya isapan jempol baginya.

Apanya yang sulit?

Semua sudah ada caranya, baik rumus, maupun penjelasannya, tinggal dihitung atau ditulis jawabannya begitu saja.

Yang sulit bagi Masha justru sesuatu yang memaksanya menerka-nerka.

Seperti besok nanti, kira-kira akan ada masalah apa lagi, yang bisa membuat bibirnya berdarah, atau lebam dilehernya, atau mungkin kaki yang hampir pincang, lengkap dengan lebam di bagian betisnya.

Belum lagi, Masha harus memikirkan alasannya tentang semua bekas luka itu, saat ada teman sekelasnya bertanya.

'Jatuh saat memanjat pohon.'

'Terpeleset dikamar mandi.'

'Menabrak pintu kamar.'

'Disengat lebah.'

Berbagai macam alasan sudah pernah diutarakan Masha, dan sebagian besar dari alasan-alasan itu, tampaknya tidak dipercaya oleh rekan-rekan sekelasnya.

Tidak masalah.

Mereka percaya atau tidak, bukan masalah bagi Masha.

Part 2

Pagi itu dengan berjalan kaki, Masha berangkat sekolah tanpa mengisi perutnya dengan apapun juga sebagai sarapan.

Bukannya Masha tidak mau sarapan, tapi apa yang bisa dimakan?

Ibu tirinya yang terlalu baik, membungkus semua sisa makanan yang bisa jadi sarapan, kedalam kotak bekal makan siang Kinan.

Biasa saja, tidak ada yang mengherankan.

Ayah Masha sejak semalam, sudah pergi keluar kota secara tiba-tiba, untuk urusan pekerjaan, dan Masha tertinggal bersama dua orang wanita, yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengannya.

Lalu apa yang akan Masha harapkan?

Masha bisa menahan laparnya sampai jam pulang sekolah nanti, karena ibu tirinya juga selalu lupa untuk memberikan Masha uang saku.

Mungkin karena Masha tidak pernah mengeluh, ayahnya juga tidak pernah menanyakan tentang lambung Masha.

Apalagi, Masha memang tidak mau ada keributan sia-sia, dan tidak ada gunanya sama sekali.

Bayangkan saja, kalau dua suara melawan satu, saat Masha mencoba-coba mengeluh.

Kira-kira perkataan Masha akan dipercaya ayahnya begitu saja, kalau ibu tiri dan kakak tirinya lebih nyaring berbicara?

Yang ayahnya tahu, Masha harus selalu ranking disekolah, dan ayahnya bisa membanggakan nilai-nilai bagus dalam raport Masha kepada orang tua siswa yang lain, ataupun kepada sesama rekan kerjanya.

Kinan sudah sejak tadi pergi ke sekolah, dengan mengendarai sepeda motor.

Wajar saja.

Kecuali ayah Masha sedang berada dirumah, maka Kinan akan mengajak Masha berangkat bersama-sama ke sekolah dengannya.

Tapi, hari ini 'kan ayah Masha sedang bekerja, jadi untuk apa Kinan membonceng Masha ke sekolah?!

"Punya kaki itu dipakai!"

Daripada dibentak Kinan seperti itu, lebih baik Masha berjalan kaki saja.

Jarak sekolah yang cukup jauh, membuat masha harus bergerak cepat, melangkahkan kakinya kalau tidak mau terlambat.

Seperti biasa, Masha akan memasang senyum terbaiknya, saat berhadapan dengan orang-orang yang tidak tahu kondisi didalam rumah Masha.

Masha dikenal sebagai siswa perempuan biasa yang ceria, pintar, sekaligus menonjol dalam kemampuannya bermain gitar.

Gelar sebagai Gitaris wanita terbaik, pernah disabet Masha dalam pentas seni antar beberapa sekolah.

Memang tidak sesuai dengan wajah Masha yang cantik dan feminim.

Tapi, Masha lebih memilih gitar daripada piano atau alat musik yang lain.

Aliran musik yang disukai Masha pun, aliran musik Hard Rock yang keras dan sangar.

Untuk menghabiskan masa luangnya, karena salah satu guru mata pelajaran yang semestinya mengajar pagi itu tidak hadir untuk mengisi jadwalnya, Masha memainkan gitar properti sekolah yang baru saja dipinjamnya dari ruang kesenian.

Saat memainkan gitarnya secara solo, seakan-akan Masha bisa membelah bumi dengan getarannya.

Masha larut dalam nada permainan gitarnya sendiri, saat teman-teman sekelasnya yang lain, sedang sibuk menghabiskan uang jajan mereka di kantin sekolah.

Beberapa hari belakangan, jadwal belajar kelas Masha memang tidak terlalu ketat seperti biasanya.

Tinggal menghitung hari mereka akan melangsungkan ujian kelulusan sekolah menengah atas, dan memang lebih sering diberikan lebih banyak kelonggaran dari guru-gurunya, agar bisa lebih santai dalam menghadapi ujian nanti.

Tak lama berselang, beberapa teman Masha kembali ke kelas, dan menonton Masha yang masih saja memainkan gitarnya disana.

"Tidak ada lagu yang lebih santai?" tanya Yudha tiba-tiba menyela permainan gitar Masha.

"Mau bernyanyi lagu apa?" tanya Masha.

"Pemuja Rahasia!" jawab Rina.

Lagu Sheila on seven itu, memang lagu favorit Rina, dan hampir setiap ada kesempatan bagi Masha bermain gitar, Rina pasti akan meminta agar lagu itu bisa dia nyanyikan, sambil diiringi permainan gitar Masha.

"Apa tidak sebaiknya kamu katakan saja kepada orangnya kalau kamu suka dengannya? Daripada kamu hanya bernyanyi, tanpa disadari orang yang kamu taksir," kata Masha, mengejek Rina.

"Helloww! Aku hanya suka dengan lagu itu, bukan berarti ada yang aku taksir, nona manis!" kata Rina, lalu tersenyum lebar.

Senyuman Rina, tiba-tiba menghilang ketika dia menatap wajah Masha lekat-lekat.

Masha tahu, pasti karena luka di bibirnya, tapi Masha berpura-pura seolah-olah tidak ada apa-apa, dan seolah-olah hanya karena Masha yang kikuk, hingga membuat bibirnya terluka.

Mencari kunci nada yang cocok dengan suara Rina, Masha kemudian memainkan lagu Pemuja Rahasia milik Sheila on Seven itu, dan akhirnya bisa membuat Rina berhenti menatap luka di bibir Masha, dan segera bernyanyi mengikuti irama.

Yudha mengetuk-ngetuk meja, seakan-akan itu adalah satu set drum, yang melengkapi suara gitar yang sedang dimainkan Masha.

Berhasil.

Masha selalu berhasil mengalihkan perhatian teman-temannya, dari luka-luka yang tidak wajar ditubuhnya.

Bel tanda istirahat pertama dimulai, lalu berbunyi nyaring, dan membuat keributan diluar kelas.

Gerombolan siswa dari kelas lain, yang berhamburan keluar dari ruangan mereka masing-masing, seakan-akan tidak cukup kalau hanya berjalan saja, tanpa mengeluarkan suara riuh dari mulut mereka.

Masha lalu berhenti memainkan gitarnya.

"Kenapa berhenti?" tanya Rina.

"Aku mau menonton permainan basket dilapangan," kata Masha, lalu menyerahkan gitar kepada Yudha.

"Kamu saja yang memainkannya," kata Masha, lalu berjalan keluar, tanpa memperdulikan tatapan kecewa teman-temannya itu.

Masha memang berkata jujur.

Masha senang menonton permainan basket yang diadakan hampir tiap hari dilapangan terbuka, yang berada ditengah-tengah sekolah.

Sebenarnya, Masha bisa ikut bermain, tapi Masha masih merasa malu, kalau dengan tubuhnya yang hanya memiliki tinggi rata-rata, lalu bergabung dengan pemain basket sekolah yang kesemuanya berbadan tinggi, seperti tiang listrik.

Jadinya, Masha memilih untuk menontonnya saja.

Kapten tim basket sekolah selalu tampak menaruh perhatian lebih kepada Masha, yang selalu jadi penonton setia permainan santai mereka dilapangan sekolah itu.

Mungkin tidak ada perasaan apa-apa, hanya karena Masha sering bertepuk tangan menyoraki aksi para pemain dilapangan, kapten tim jadi sering duduk bersama Masha dibangku yang ada didekat lapangan.

"Sampai kita semua akan lulus dari sekolah ini, kamu tidak pernah datang ke pertandingan..." celetuk Jodi.

"Aku tidak bisa keluar rumah dengan bebas. Kalau sampai nilaiku menurun, nanti aku tidak bisa masuk universitas yang aku inginkan," kata Masha datar.

Tidak semua perkataan Masha itu bohong.

Masha memang mau agar dia bisa kuliah di universitas yang dia incar

Perkataan yang bohong hanyalah, kalau dia tidak bisa keluar bebas karena takut nilainya menurun.

Karena yang benarnya adalah dia tidak mau dilaporkan yang aneh-aneh oleh ibu tirinya, dan Kinan kepada ayahnya, yang bisa berakibat fatal bagi tubuhnya.

Pembicaraan dengan Jodi saat ini, membuat Masha jadi ingat dengan Kinan.

Pasti saat ini Kinan sedang melihat Masha dengan wajah merengut, karena Kinan tertarik dengan Jodi, dan sekarang pemuda itu sedang duduk bersebelahan dengan Masha.

Part 3

Benar saja dugaan Masha.

Sebelum bel tanda istirahat berakhir itu berbunyi, Kinan menghadang Masha, sambil berkacak pinggang.

"Heh! Pel*cur! Kamu sengaja menggoda Jodi lagi ya?" bentak Kinan, tanpa memperdulikan banyaknya mata yang memandangi mereka sekarang.

Masha hanya menarik nafasnya dalam-dalam, lalu berjalan melewati Kinan, memasuki ruang kelas Masha, tanpa mau menanggapi perkataan buruk Kinan tadi.

Untuk apa melayani orang tidak berakal budi seperti Kinan?

Tidak perlu Masha membuang-buang energinya untuk gadis itu.

Masha hanya menertawakan Kinan didalam hati.

Masha menganggap Kinan adalah gadis idiot.

Jelas kalau Kinan bukan level Masha.

Masha yang selalu menjadi ranking kelas, bahkan menjadi ranking umum untuk siswa seangkatan dengannya di sekolah itu, berbanding terbalik dengan Kinan yang bodoh.

Seharusnya sekarang Kinan sudah lulus.

Tapi karena otaknya yang bodoh, Kinan yang tertinggal kelas sekali saat disekolah dasar, lalu sekali lagi di sekolah menengah pertama, membuat Kinan sekarang masih menjadi satu angkatan dengan Masha.

Tidak lama lagi Masha akan lulus sekolah, dan berkuliah, maka Masha tidak perlu lagi melihat wajah tolol Kinan dalam hidupnya.

Masha akan pergi berkuliah dikota yang jauh, dan tidak akan tinggal serumah dengan dua wanita yang selalu berusaha menyakitinya.

Oh iya, dan satu lagi calon manusia yang sebentar lagi akan lahir, dan harus dipanggil adik oleh Masha.

Membayangkan saat dia bisa pergi, lalu tinggal di tempat lain, menguatkan Masha agar tetap bisa mempertahankan kewarasannya.

Masha memang bertekad untuk lepas dari ikatan orang tua yang tidak becus merawatnya itu.

Ibu kandung Masha?

Kurang lebih sama saja.

Sama brengseknya.

Wanita itu lebih menyayangi suami baru, serta anak-anaknya yang dia lahirkan dari suami barunya itu.

Senyum Masha mengembang lebar, ketika tugas matematika yang dia kerjakan kemarin sore, mendapat nilai sempurna.

"Sekali-sekali bagi otakmu sedikit," celetuk Rina, yang duduk bersebelahan dengan Masha.

"Boleh! Silahkan diambil!" kata Masha dengan santainya.

Kalau Rina mau mengambil sisi gelap Masha juga akan lebih baik.

Masha tertawa terbahak-bahak, saat melihat Rina yang sekarang sedang merengut karena candaan Masha.

Jangan salah.

Bukan karena Rina terlihat lucu, ataupun candaannya yang lucu, tapi Masha menertawakan pikiran gila yang sempat terlintas dibenaknya tadi.

Pelajaran matematika yang diajarkan guru wanita dengan kacamata melorot dihidungnya, sambil mengetuk-ngetuk papan tulis dengan penggaris besar, menyadarkan Masha dari kegila'annya.

"Masha! Apa ada yang lucu?" tanya guru matematika, yang sekarang menatap Masha lekat-lekat.

"Maaf, Bu!" jawab Masha, sambil menundukkan wajahnya.

Guru wanita itu kemudian melanjutkan penjelasannya, di papan tulis.

Masha mengangkat wajahnya lagi, dan menaruh perhatian pada apa yang diajarkan gurunya didepan kelas itu.

Sampai semua jam mata pelajaran berakhir, Masha selalu berusaha terlihat santai, seolah-olah hidupnya tiada beban.

Dan semua orang tampaknya percaya, dengan kepalsuan yang ditampakkan Masha, karena Masha selalu mendapat nilai tertinggi dikelasnya.

Siapa yang mengira, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, saat dia bisa mengerjakan semua tugas sekolah dengan mudahnya.

Jam pulang sekolah adalah saat yang paling membahagiakan bagi teman-teman Masha.

Bagi Masha justru sebaliknya.

Kembali ke neraka kecil yang disebut rumah, adalah perjalanan hidupnya yang paling berat, dan kakinya bahkan hampir tidak bisa dia gerakkan lagi, untuk berjalan pulang ketempat tinggalnya itu.

Saat Masha sedang berjalan pelan, sambil menundukkan kepalanya, tiba-tiba dari sampingnya, berhenti sebuah kendaraan bermotor beroda dua.

"Masha! Mau aku antarkan kamu pulang?" suara bertanya seorang pemuda, yang serak dan dalam, membuat Masha mengangkat wajahnya, dan menoleh kesamping.

Doni.

"Tidak perlu. Sebaiknya, jangan pernah lagi kamu mencoba mendekat, dan menjaga jarak seratus meter dariku," kata Masha datar.

Pemuda itu mengerutkan keningnya, lalu mengerucutkan bibir, dan digerakkannya kesalah satu sisi wajahnya.

"Apa ada yang salah?" tanya Doni.

"Aku hanya menawarkan tumpangan," lanjut pemuda itu lagi.

"Tidak ada yang salah. Hanya saja, aku masih punya kaki untuk berjalan, dan tidak membutuhkan tumpangan," jawab Masha, lalu berjalan pergi meninggalkan Doni, yang mungkin sekarang sedang kebingungan.

Masha diantarkan Doni pulang?

Masha berarti sedang mengajak malaikat maut, untuk bercanda dengannya.

Tinggal beberapa hari.

Masha harus bertahan beberapa hari saja, dan dia tidak mau mengacaukan semuanya, hanya karena kakinya lelah berjalan.

Sebenarnya, Masha tidak pernah melihat ada keanehan dengan Doni.

Selain karena setahu Masha kalau pemuda itu pengangguran, tidak ada gelagat aneh yang ditampakkan pemuda itu, selama Masha mengetahui kalau dia bernama Doni.

Tapi, karena pemuda itu yang tidak bekerja, lalu tiba-tiba bisa memiliki sepeda motor, gosip yang berkembang diantara tetangga Masha, kalau Doni adalah pengedar narkotika.

Luar biasa kekuatan mulut yang bergosip, dan menghancurkan reputasi seseorang.

Tapi kembali lagi, memangnya Masha bisa apa, untuk membuktikan bahwa Doni bukan seorang pengedar narkotika seperti yang jadi bahan perbincangan ibu-ibu kurang kerjaan.

Apalagi, Masha memang tidak mengenal pemuda itu dengan baik.

Masha benar-benar hanya tahu namanya, dan gosip yang beredar tentang pemuda itu, hingga Kinan dan ibu tirinya juga sempat menggosipkan tentang hal itu didalam rumah.

Mungkin ibu tirinya tidak mengenal yang namanya karma buruk.

Sedang hamil tua, lalu asyik membicarakan keburukan orang lain, yang belum tentu kalau itu memang suatu kebenaran.

Masha mengucapkan salam, saat memasuki rumah itu, meskipun biar sekali belum pernah Masha mendapat balasan dari salam yang dia ucapkan.

Bertingkah masa bodoh, Masha masuk kedalam kamarnya, lalu berganti pakaian.

Masha sudah sangat lapar, dan dia sudah tahu kalau tidak akan ada apa-apa, yang tersedia didalam dapur untuk dia makan.

Buru-buru Masha berjalan ke dapur dan memasak bubur dari sedikit beras, yang ditambahkan garam dan kaldu bubuk untuk penyedap rasa.

Terkadang, ada rasa penasaran didalam hati Masha.

Kalau ayahnya sedang tidak ada dirumah, didalam lemari es yang ada didapur, pasti tidak akan berisi apa-apa, meski hanya sebutir telur.

Entah dimana semua bahan makanan itu disimpan.

Lalu, ibu tirinya dan Kinan, selalu makan di warung makan saat mereka merasa lapar, tanpa mengajak Masha, ataupun membelikan meski sedikit makanan untuknya, saat mereka pulang ke rumah.

Setega itu dengan sesamanya manusia.

Kalau mereka membenci Masha, masih bisa dimaklumi.

Tapi kalau sampai ke urusan perut, Masha sampai-sampai tidak diberi makan?

Sedangkan uang pemberian dari ayah Masha yang mereka pakai, itu masih ada hak Masha didalamnya.

Mungkin mereka lupa.

Sudahlah...

Percuma memikirkan hal-hal yang tidak berarti apa-apa, dan tidak bisa membuat perut Masha menjadi kenyang.

Lebih baik, berfokus pada bubur yang dia masak agar tidak gosong.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!