Part 5

Doni tampaknya bersungguh-sungguh mengatakannya, dan Masha juga sebenarnya butuh bantuan agar bisa pergi jauh dari wilayah itu, agar tidak ditemukan ayahnya kalau sampai ayahnya sudah menyadari, Masha yang melarikan diri dari rumah itu.

"Apa kamu baik-baik saja? Kamu mau pergi kemana?" tanya Doni.

"Kerumah temanku," jawab Masha asal.

"Kamu mau aku antarkan?" tanya Doni.

Masha terdiam untuk beberapa saat.

"Aku tidak akan mencelakaimu..." kata Doni pelan.

"Kalau aku memang berniat mencelakakan kamu, aku sudah melakukannya saat ini juga, mumpung disini sedang sepi," lanjut Doni.

Masha melihat kesana kemari.

Memang disitu terlihat sepi, dan hanya ada satu atau dua kendaraan bermotor, yang melintas di persimpangan yang masih cukup jauh, dari tempat Masha dan Doni berdiri.

"Mau?" tanya Doni.

"Iya," jawab Masha.

Doni lalu melepaskan pegangannya dari tas ransel Masha dan mengambil motornya, yang terparkir agak jauh dibelakang Masha.

"Aku tidak membawa helm cadangan. Kamu pakai yang ini saja," kata Doni seraya menyodorkan helm ditangannya kepada Masha.

"Tidak perlu. Kamu saja yang pakai!" kata Masha.

Doni lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan memakai helm yang ditolak Masha.

"Ayo naik!" ajak Doni.

Meski masih ada sedikit rasa ragu, Masha akhirnya naik membonceng di belakang Doni.

Doni kemudian menjalankan sepeda motornya, dengan kecepatan sedang, menjauh dari daerah itu.

"Dimana rumah temanmu?" tanya Doni.

Masha terdiam.

Kalau Masha pergi kerumah Rina atau Yudha, ayahnya pasti dengan mudah menemukan keberadaan Masha.

"Antarkan aku ke terminal bus saja," jawab Masha.

"Terminal bus? Sudah jam segini? Kamu akan sendirian disana!" kata Doni.

"Apa tidak ada tempat lain yang kamu tahu, bisa menjadi tempat untukmu bersembunyi?" tanya Doni.

Doni tahu kalau Masha sedang ingin bersembunyi?

Bagaimana bisa?

Apa Doni mencurigai sesuatu?

"Bagaimana kamu bisa mengira, kalau aku ingin bersembunyi?" tanya Masha.

Doni lalu memelankan laju sepeda motornya, sampai akhirnya berhenti dipinggir jalan.

"Kamu terluka. Aku rasa, kemungkinan ayahmu yang memukulmu sampai bisa seperti itu keadaanmu...

Dan kamu pasti sekarang sedang melarikan diri dari rumah, lalu mencari tempat yang aman, agar ayahmu tidak menemukanmu," kata Doni.

"Benar, tidak?" tanya Doni.

Masha terdiam.

"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu untuk beristirahat malam ini. Tempatnya tidak mewah, tapi tidak juga terlalu buruk," kata Doni.

"Bagaimana? Kamu mau? Atau tetap mau pergi ke terminal bus?" tanya Doni lagi.

"Aku mau..." jawab Masha, setelah sempat berpikir untuk beberapa saat.

"Kemana? Ke tempat yang kubilang?" tanya Doni.

"Iya," jawab Masha singkat.

"Oke! Pegangan!" kata Doni.

Doni kemudian menjalankan sepeda motornya lagi, dan membawa Masha ke sebuah rumah kecil, yang berdiri diantara tumpukan kotak-kotak besi, peti kemas didekat pelabuhan.

Jaraknya cukup jauh dari perumahan tempat tinggal keluarga ayah Masha, dan tampaknya tempat itu akan jadi tempat yang cukup aman, untuk menghindar dari ayahnya.

Doni memarkirkan sepeda motornya disamping rumah itu, dan mengajak Masha ikut masuk dengannya kedalam rumah.

"Ayo masuk! Jangan berlama-lama diluar, agar tidak menjadi perhatian orang-orang di sekitar," kata Doni, sambil membukakan pintu rumah itu, dan tetap menahan pintu agar tetap terbuka, sampai Masha melewatinya.

"Tempat ini milik temanku. Aku sesekali datang kesini, kalau ada pengiriman barang, atau ada barang yang datang," kata Doni, sambil menutup pintu depan.

Didalam bangunan itu mirip kantor yang berantakan.

Kertas-kertas menumpuk tinggi di atas meja, satu set komputer, dan lengkap dengan kursi kerja yang menjadi pasangan meja kerja itu.

Beberapa buah lemari arsip, sebuah sofa yang bisa untuk dua orang duduk, dan selebihnya hanya ruang kosong tanpa ada barang lain disana.

"Kamu bisa istirahat didalam sini," kata Doni, sambil membawa Masha ke salah satu ruangan, yang ada didalam situ.

Sebuah kamar kecil dengan lemari kecil, kasur berukuran kecil, lengkap bantal, guling, dan selimut.

Kipas angin yang bergantung diatas langit-langit kamar, dinyalakan Doni, kemudian mengibas-ngibaskan sebisanya bagian atas kasur dikamar itu.

"Toiletnya ada diluar," kata Doni, menunjuk kesalah satu arah, sembari menyapu sekadarnya lantai kamar, yang agak berdebu.

Masha terbatuk-batuk karena debu yang beterbangan, membuat tenggorokan Masha terasa kering dan gatal.

"Maaf... Tapi, aku memang jarang tidur disini. Aku lebih sering tidur diperumahan. Kalau aku sedang bekerja saja, aku bisa tidur disini," kata Doni.

Mungkin dirasa Doni lantai itu sudah cukup bersih, Doni menggelar selembar karpet didekat kasur.

"Masuk! Untuk apa kamu berdiam saja disitu?" ujar Doni.

Masha yang sejak tadi hanya berdiri didekat pintu kamar, kemudian berjalan masuk kedalam situ.

Doni mengambil tas ransel dari punggung Masha, dan meletakkannya didalam lemari kecil, yang ada didalam kamar itu.

"Coba kamu buka jaketmu!" kata Doni.

Masha membesarkan matanya, dan menatap Doni lekat-lekat.

"Untuk apa?" tanya Masha ketus.

"Aku hanya mau melihat luka ditanganmu," kata Doni, lalu mengeluarkan kotak p3k yang ada diatas lemari.

"Biar aku sendiri saja yang mengobati lukaku," kata Masha.

"Hmmm... Kamu keras kepala. Memangnya, apa yang salah kalau aku membantumu mengoleskan obat dilukamu?" tanya Doni.

Akhirnya, setelah terdiam untuk beberapa saat, Masha kemudian membuka jaketnya.

Kali ini, Doni tampak terpaku kearah tangan Masha.

Pemuda itu, seolah-olah sedang melamun, sambil menatap tangan Masha, hingga hampir tidak berkedip.

Alis pemuda itu mengerut, dan tampak seperti sedang mengeraskan rahangnya.

Masha melihat kedua tangannya sendiri.

Memang bekas cambukan ikat pinggang ayahnya tadi, terlihat buruk dihampir sepanjang kulit tangannya, yang tidak tertutup lengan baju kaus oblongnya.

Berwarna biru keunguan, bercampur sedikit darah kering, dari bagian kulitnya yang terkelupas.

Orang yang melihat bekas luka-luka itu, pasti bergidik ngeri, bercampur dengan rasa ngilu.

Tapi, Masha sudah tidak merasakan sakitnya lagi, seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi di kulit tangannya itu.

Perlahan Doni menarik naik lengan kaus Masha, sambil tetap memasang ekspresi tegang, dan rahangnya yang mengencang.

Suara nafas Doni terdengar cepat memburu, seolah-olah dia sedang merasa sangat marah, ketika dia melihat dibalik lengan kaus Masha.

Tanpa meminta izin lagi kepada Masha, Doni berpindah kebagian belakang Masha dan menarik naik kaus Masha hingga punggung Masha terbuka.

"Brengsek!" ujar Doni.

Suara pemuda itu terdengar bergetar, sambil tangannya yang tetap memegang kaus Masha.

Masha menarik turun kausnya yang dipegang Doni, hingga kembali menutup bagian belakang tubuhnya lagi.

"Kenapa kamu mengangkat kaus ku tanpa izin?" kata Masha.

"Maafkan aku... Tapi, kenapa ayahmu bisa memukul mu sampai separah ini?" tanya Doni.

Sebelum Masha menjawab pertanyaan Doni, pemuda itu memegang tangan Masha, pelan, dan dengan sedikit menarik Masha, agar duduk dilantai.

Doni lalu berjalan keluar dari kamar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!