Part 4

Beberapa minggu telah berlalu, ujian akhir untuk kelulusan masa-masa sekolah menengah atas Masha sudah berakhir, dan ijazahnya sekarang juga sudah ditangan Masha.

Universitas tempat Masha mengajukan aplikasi pendaftarannya juga sudah mengirimkan balasan, kalau Masha diterima disana dengan beasiswa.

Masha bisa bernafas lega, dan sudah bisa bersiap-siap untuk pergi dari rumah itu.

Suara tangisan dari kamar yang ada diseberang kamar Masha, sama sekali tidak mengganggu, apalagi menjadi halangan bagi Masha untuk mengemas barang-barangnya.

Kinan memang menangis terisak-isak selama beberapa hari belakangan.

Mungkin air matanya tidak bisa kering, meski suaranya kini terdengar serak, bercampur aduk dengan suara ibu kesayangannya, yang membujuk Kinan agar berhenti menangis.

Kinan tidak lulus sekolah menengah atas, dan harus mengulang sekolahnya lagi.

"Masha! Buka pintunya! Ayah mau bicara denganmu!" suara ayah Masha yang berbarengan dengan ketukan dipintu kamarnya, mengganggu proses berkemas Masha.

Masha menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan cepat dan kasar, lalu pergi membukakan pintu untuk ayahnya itu.

"Kita bicara didepan saja!" kata ayah Masha, sambil berjalan terlebih dahulu, dan Masha menyusul dari belakangnya.

Ayahnya mengambil tempat duduk disalah satu bagian sofa, dan Masha kemudian duduk disisi yang berseberangan.

"Kenapa kamu tidak mendaftar kuliah di universitas yang ada dikota ini?" tanya ayah Masha.

Pertanyaan ayah Masha itu, terdengar buruk ditelinga Masha, seolah-olah memang akan ada yang terjadi, diluar keinginan Masha.

Masha hanya terdiam, dan tidak berminat untuk memberikan alasan apa-apa.

"Masha! Kamu dengar pertanyaan ayah?" suara ayah Masha meninggi.

"Iya," jawab Masha singkat dan datar.

"Kalau begitu, jawab pertanyaan ayah! Kenapa kamu tidak mendaftar kuliah di kota ini saja?" tanya ayah Masha lagi.

Masha kembali terdiam.

Kalau Masha menjawab pertanyaan itu sejujurnya, maka akan terjadi peperangan didalam rumah itu, antara Masha dengan ayahnya.

"Masha! Kamu bisu?" bentak ayah Masha yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.

"Aku mau kuliah di universitas yang aku inginkan sejak dulu. Itu saja..." jawab Masha datar.

"Kamu beralasan supaya kamu bisa tinggal sendiri 'kan? Supaya kamu bebas melakukan semua yang kamu inginkan, meski itu akan mempermalukan aku?" bentakan keras ayah Masha menjadi-jadi.

Masha tidak tahu bagaimana caranya bicara dengan orang tua yang modelannya seperti ayahnya ini, dan akhirnya hanya memilih untuk berdiam diri dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Memang anak sial!"

Pllaaakk!

Bentakan keras, sama kerasnya tamparan yang mendarat di wajah Masha.

Masha berdiri dan mencoba menghindari ayahnya.

Tapi, gerakan Masha itu kelihatannya semakin memperburuk keadaan.

Ayah Masha menarik Masha, dan membantingnya ke lantai.

Ikat pinggang kulit, menjadi senjata ampuh untuk membuat Masha meringis kesakitan.

Tebasan demi tebasan dari ayunan ikat pinggang, menjadi cambuk yang menyentuh hampir semua bagian badan Masha yang bisa tercapai benda itu.

Brengsek, orang tua brengsek!

Masha hanya bisa memaki didalam hati, sambil menahan sakitnya cambukan, yang hampir tidak berhenti membuat kulitnya terkelupas.

Mungkin sudah puas memukuli Masha, cambukan itu kemudian berhenti.

"Kamu tidak akan berkuliah, kalau kamu tidak mau kuliah dikota ini," kata ayah Masha, lalu berjalan pergi, meninggalkan Masha yang masih terbaring dilantai.

Perihnya kulit yang menganga, membuat Masha hampir tidak bisa bernafas.

Bagian tangan dan kakinya mengalir darah segar, yang tidak kalah banyaknya dengan darah yang keluar dari mulut Masha.

Masha mengumpulkan kekuatannya, untuk berdiri dari lantai, perlahan-lahan.

Sambil berpegangan di dinding, Masha berjalan pelan menuju ke kamarnya.

Meskipun ayahnya melarangnya, Masha tetap bertekad untuk pergi dari rumah itu selamanya.

Ketika, Masha hampir mencapai pintu kamarnya, ayahnya terlihat melenggang keluar dari dalam kamar itu, sambil memegang beberapa lembar kertas, yang kemungkinan besar, adalah ijazah Masha.

"Aku akan mendaftarkanmu kuliah dikota ini!" kata ayah Masha tegas, dan berlalu pergi dari hadapan Masha, yang hanya bisa terdiam melihatnya.

Masha masuk kedalam kamarnya.

Selama ini...

Selama ini Masha tidak pernah menangis lagi.

Tapi, semua ini sudah sangat keterlaluan.

Sakit hati Masha tidak tertahankan lagi, dengan air matanya yang juga tidak bisa dibendungnya lagi.

Masha menutup pintu kamar, dan menguncinya dari dalam.

Tangisan Masha pecah saat itu juga.

Dengan menutup wajahnya dengan bantal, Masha berteriak histeris.

Untuk apa sebenarnya Masha dilahirkan ke dunia ini?

Masha mulai menyalahkan Tuhan-nya, yang dia anggap tidak adil, saat memberikan dia kehidupan.

Rasa sakit di sekujur tubuhnya, tidak dirasakan lagi oleh Masha.

Sakit hati dan kekecewaannya jauh lebih menyakitkan, dibandingkan dengan kulitnya yang lebam dan berdarah.

Masha tidak berhenti menangis sampai diluar jendela terlihat sudah gelap, tanpa ada sisa sedikit pun cahaya matahari yang tertinggal disana.

Percuma...

Meski Masha menangis sampai mati pun akan tetap percuma.

Selama Masha masih tinggal didalam rumah itu, Masha tetap akan mendapatkan perlakuan tidak adil dari ayahnya itu, dan bisa-bisa Masha hanya akan mati konyol.

Masha membulatkan tekad.

Dengan mengisi tas ransel sekolahnya dengan beberapa helai pakaian, yang bisa muat di dalam situ, Masha berniat melarikan diri dari rumah itu.

Masha mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih layak, lengkap dengan rambutnya yang digulung kedalam topi, dan sendal gunung.

Perlahan-lahan, Masha membuka jendela kamarnya, dan merangkak keluar dari jendela itu ke halaman samping rumah.

Dengan memakai tas ranselnya, Masha berjalan pelan sampai benar-benar keluar dari pekarangan rumah ayahnya itu.

Kelihatannya, tidak ada yang tahu kalau Masha sudah pergi dari rumah.

Dijalanan kompleks yang juga sepi, membuat Masha bisa berjalan menjauh dari daerah itu tanpa ketahuan.

Masha mempercepat langkah kakinya, agar bisa cepat-cepat menghilang dari perumahan itu.

Ketika masha sudah dijalan raya, Masha masih terus berjalan cepat, sambil menundukkan kepalanya, hingga sebuah sepeda motor, menghentikan langkahnya, dan membuat jantung Masha berdebar-debar karena ketakutan.

Apa mungkin ini ayahnya yang menyusul Masha?

Tapi, pengemudi sepeda motor itu terlalu tenang, kalau itu memang ayah Masha.

Masha mengangkat kepalanya perlahan-lahan, dan melihat siapa orang yang menghadangnya itu.

Doni.

Lagi-lagi pemuda itu yang muncul tiba-tiba didekat Masha.

"Aaah...! Ternyata, memang benar kamu!" kata Doni.

Masha melewati Doni tanpa berkata apa-apa, dan berjalan menjauh dari situ.

Doni seolah-olah tidak mau menyerah begitu saja, dan kembali menghadang langkah Masha.

"Kamu mau kemana dengan penampilan seperti itu?" tanya Doni.

"Kenapa dengan tanganmu?" tanya Doni lagi sebelum Masha berjalan lagi, dan menjauh dari pemuda itu.

"Masha! Apa ada yang menyakitimu?" seru Doni, lalu memegang pundak Masha.

Masha tidak mau menjawab pertanyaan Doni, dan hanya menggerakkan bahunya agar Doni melepaskan pegangannya.

Tapi, Doni menahan tas ransel yang dipakai Masha, hingga membuat Masha tidak bisa lagi berjalan menjauh.

"Aku tidak akan menyakitimu... Aku janji..." kata Doni pelan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!