Sejak Masha mengetahui nama Doni, sampai saat ini, baru sekarang Masha bisa melihat wajah Doni dengan baik, dan sedekat itu.
Kalau diperhatikan baik-baik, Doni memiliki wajah yang tampan, dengan kulitnya yang kuning langsat, garis wajah yang tegas, dan warna matanya yang coklat terlihat tenang.
Dan yang paling menarik perhatian, Doni memiliki bulu mata yang panjang dan lentik seperti bulu mata perempuan.
Tapi...
"Bagaimana kamu bisa tahu namaku, dan seolah-olah mengenalku dengan baik?" tanya Masha penasaran.
"Hah?" Doni terlihat seperti orang yang sedang kebingungan.
"Aku saja baru empat kali dengan hari ini melihatmu, dan kita belum pernah berkenalan. Lalu, bagaimana kamu bisa bertingkah sok kenal sok dekat denganku?" tanya Masha menjelaskan maksudnya.
"Ooh... Aku sudah sering melihatmu. Hmmm... Aku juga sempat bertanya tentangmu, pada teman-temanku di perumahan," jawab Doni.
"Maksudnya apa? Kamu memata-mataiku?" tanya Masha, memancing Doni.
"Bukan begitu... Maaf. Tapi, apa kalau aku jujur, kamu tidak akan marah atau takut denganku?" Doni balik bertanya.
"Apa? Katakan saja!" ujar Masha datar.
"Hmmm... Terus terang, aku memang tertarik denganmu... Tapi, bukan untuk hal yang aneh-aneh," kata Doni.
"Aku melihatmu dibeberapa pentas seni, dan menurutku, kamu cukup hebat saat bermain gitar. Itu saja," lanjut Doni.
Masha manggut-manggut mengerti.
"Maafkan aku... Salah satu temanku pernah bilang denganku, kalau kamu sempat dipukul ayahmu, karena mengira kamu memakai narkotika dariku," kata Doni pelan.
Mata Masha terbelalak.
"Bagaimana temanmu bisa tahu?" tanya Masha heran.
"Ibunya yang bercerita dengan temanku. Katanya, ibumu yang menceritakannya kepada beberapa ibu-ibu kompleks," jawab Doni.
"Itu sebabnya, aku menawarkan tumpangan padamu waktu itu. Karena, aku berniat untuk bertemu, dan meluruskan masalahnya dengan ayahmu," lanjut Doni.
Masha memikirkan kejadian beberapa minggu yang sudah lewat, kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.
Ibu tiri Masha memang sangat keterlaluan.
"Percuma saja! Meskipun kamu pergi kerumahku... Selama gosip-gosip yang tidak beralasan masih beredar, tidak ada yang bisa kamu atau aku lakukan," kata Masha.
"Malahan bisa saja, kalau kamu bertemu dengan ayahku, hanya akan memperburuk keadaan," lanjut Masha.
"Maafkan aku, kalau terlalu mau tahu... Tapi, hubungan kamu dengan ibumu, apa memang kurang baik?" tanya Doni.
Masha terdiam untuk beberapa saat, sambil menatap Doni lekat-lekat.
"Dia bukan ibuku... Dia hanya ibu sambung, yang tidak pernah menganggapku seperti anggota keluarganya," kata Masha.
Doni terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mengerucutkan bibirnya, seolah-olah ada yang sedang dia pikirkan.
"Pantas saja!" celetuk Doni, setelah sempat terdiam beberapa waktu.
"Ayahmu juga goblok!" ujar Doni.
"Eh! Maaf..." lanjut Doni buru-buru.
"Tidak apa-apa. Memang benar yang kamu katakan. Ayahku tidak memakai akal sehatnya, dan selalu saja dengan mudahnya terpengaruh dengan perkataan ibu sambung dan Kinan," kata Masha.
"Kamu kenal Kinan?" lanjut Masha.
"Iya. Siapa diperumahan yang tidak mengenalnya?!" jawab Doni.
"Apalagi, dia itu seangkatan denganku sekolahnya dulu, tapi sempat tiga kali tidak naik kelas. Makanya, aku sudah lama lulus SMA, dia masih sekolah," lanjut Doni.
"Heh? Benarkah?" tanya Masha heran.
"Iya. Dia semestinya sudah menyelesaikan SMA bersama-sama denganku," jawab Doni.
"Aku mengira dia hanya dua kali ketinggalan kelas," kata Masha.
"Dua kali darimana?! Dia dua kali ketinggalan kelas waktu sekolah dasar, lalu dengar-dengar sekali lagi di sekolah menengah pertama," kata Doni.
Masha tertawa kecil.
"Tahun ini dia juga tidak lulus SMA," ujar Masha.
"Eh! Benarkah?" tanya Doni, lalu ikut tertawa.
"Hmmm... Kasihan anak itu... Sampai tua di sekolahan," celetuk Doni, setelah mereka berhenti tertawa.
Masha menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan.
"Aku tidak bisa lanjut kuliah..." kata Masha pelan.
"Kenapa?" tanya Doni, yang terdengar berhati-hati.
"Ayahku memaksa agar aku kuliah dikota ini, agar tetap tinggal dirumah itu dengan mereka...
Tapi, aku memang mau pergi dari rumah itu selamanya, jadi aku menolak dan tetap mendaftar di universitas dikota lain...
Itu sebabnya aku dipukuli ayahku, dan ijazahku juga ditahannya..." jawab Masha.
Doni menyentuh kepala Masha, dan mengelusnya dengan perlahan-lahan.
"Aku tidak menyangka, ayahmu bisa se-brengsek itu. Mengingat, dia dulu pernah menjadi ketua RW diperumahan," kata Doni.
"Aku sempat mengira kalau dia adalah orang yang bijaksana," lanjut Doni, sambil tetap mengelus kepala Masha.
Rasanya malam sudah semakin larut, dan mereka berdua sudah selesai makan.
Doni membersihkan semua sampah bungkusan makanan, lalu membawanya keluar dari kamar.
Ketika, Doni masih diluar, Masha merasa kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya.
Seolah-olah Masha akan menggigil kedinginan.
Masha lalu berniat untuk mematikan kipas angin, yang masih berputar dengan menempel di langit-langit kamar.
Ketika Masha akan berdiri, kepalanya terasa sangat pusing, dan membuatnya sampai tersandar di dinding.
Pandangannya yang terlihat seperti sedang terombang-ambing, semua yang bisa Masha lihat diruangan itu terasa seolah-olah sedang terbang berputar-putar.
Dan itu hal yang tidak mungkin.
Masha memejamkan matanya, sambil tetap bersandar di dinding, untuk beberapa waktu lamanya, sampai Masha merasa kalau ada yang memegang kedua lengannya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Suara Doni yang bertanya kepadanya, hanya terdengar samar-samar, seolah-olah kemampuan mendengar Masha berkurang.
Dan akhirnya, masha tidak ingat apa-apa lagi.
Entah apa yang terjadi selama beberapa waktu, saat Masha tidak sadarkan diri.
Ketika masha terbangun, di kening Masha ada selembar kain, yang tampaknya dijadikan kompres untuk menurunkan suhu tubuhnya.
Masha melihat kesampingnya, Doni terlihat sedang tertidur dikarpet, dan hanya sekedar meletakkan kepalanya diatas kasur tempat Masha berbaring.
Masha lalu duduk dan memperhatikan Doni.
Doni terlihat tidur meringkuk seolah-olah sedang merasa kedinginan.
Wajar saja.
Karpet itu sangat tipis, pasti dinginnya lantai tembus terasa sampai ke badan Doni.
Masha menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kasar.
Doni merawat Masha, tapi tidak memperhatikan dirinya sendiri.
Entah kenapa, Masha merasa ada sedikit rasa sayang, timbul dihatinya saat melihat Doni seperti itu.
"Doni...!" panggil Masha dengan suara pelan, sambil memegang dan sedikit mengguncang bahu Doni.
Doni membuka matanya sedikit, menyipit dan tampak masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Kamu masih demam?" tanya Doni pelan, sambil mengucek matanya.
"Tidak... Aku sudah merasa lebih baik," jawab Masha.
"Jangan tidur dilantai...! Berbaring saja disampingku," lanjut Masha, dengan rasa tidak percaya kalau dia akan mengatakan hal itu.
Doni terduduk dan masih menyipitkan matanya.
"Aku tidur di sofa diluar saja," kata Doni.
"Tidak perlu. Kamu bisa berbaring dikasur ini bersamaku," kata Masha.
Sofa diluar itu kecil dan berukuran pendek, bukan hanya Doni harus meringkuk, kaki-kakinya pasti akan tergantung keluar dari sofa, dan Masha yakin kalau itu pasti tidak akan terasa nyaman.
"Tidak apa-apa?" tanya Doni.
"Iya. Tidak apa-apa," jawab Masha, lalu bergeser sedikit, agar Doni bisa ikut berbaring dikasur itu.
Doni lalu berbaring dikasur, dengan memunggungi Masha yang juga kembali berbaring, sambil memunggungi Doni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments