Benciku, Air Matanya (Akhir Sebuah Rasa)
Srakk....
Prak...
Sebuah ponsel dibanting pada dinding berwarna putih. Tak hanya ponsel, sebuah laptop ikut menjadi sasaran kemarahan, dengan entengnya dilemparkannya benda itu kelantai hingga menimbulkan suara gaduh dalam ruangan. Untung saja beberapa hari lalu ruangan tersebut dipasangi pengedap suara hingga suara yang berasal dari dalam ruangan tidak terdengar hingga keluar.
Srakk....
Dengan sekali sapuan tangan semua benda yang berada di atas meja jatuh berserakan kelantai. Dokumen-dokumen penting yang sebelumnya tersusun rapi untuk ditanda tangani berserak tak beraturan dan sebagian basah oleh tumpahan kopi. Pecahan dari cangkir berisi kopi panas bertebaran dimana-mana.
Bug!
Sekali lagi, dengan tangan terkepal ia menggebrak mejanya begitu kuat. Urat-urat tangan dan leher pria tinggi itu membentuk, tanda kemarahan yang begitu besar dihatinya.
Beberapa menit lalu seorang yang merupakan pelayan melakukan panggilan luar negeri, menghubungi pria itu guna memberi kabar dan perkembangan seseorang yang sama sekali tidak ingin ia dengar dan ketahui.
Ini bukanlah untuk pertama kalinya si pelayan menghubunginya namun akan selalu berakhir dengan situasi yang sama setiap kali sambungan telepon itu berakhir.
Benda apapun yang ada di dekatnya akan menjadi sasaran kemarahannya setiap kali ia mendengar nama gadis yang baru dua kali ia temui, gadis yang membuat emosinya tak terkontrol selama tujuh tahun ini.
Tok...Tok...Tok....
"Permisi tuan, saya membawa file yang anda minta untuk saya revisi dua hari yang lalu."
Bima yang merupakan sekretaris pria itu masuk kedalam ruangan yang sudah seperti kapal pecah didalamnya. Sekilas ia mengedarkan pandangannya pada lantai yang ia lewati.
Pria yang ia jumpai itu sedang berdiri membelakanginya, menatap keluar melalui dinding kaca pada jalan raya yang begitu ramai dipenuhi kendaraan.
Tidak ada rasa heran atau keinginan untuk bertanya dibenak Bima melihat situasi ruang kerja tuannya itu. Bukan tanpa sebab, setiap kali ia mendapati ruangan itu dengan kondisi yang mengenaskan ia sudah dapat mengerti apa yang menjadi penyebabnya.
Bekerja selama lima tahun, menemani tuannya ke sana-kemari, mengurus keperluannya dan selalu stand by setiap dibutuhkan membuat Bima begitu mengenal dan tahu akan tuannya. Termasuk dengan keadaan di depan matanya saat ini.
"Tuan, ini file yang anda minta kemarin. Semuanya sudah sesuai dengan yang anda inginkan dan pihak klien juga sudah menyetujui semua persyaratan kerjasama pembangunan taman hiburan tersebut. Kalau tidak ada masalah atau hal lain anda sudah dapat menanda tanganinya saat ini."
Bima membuka file yang ia bawa dan meletakkannya di atas meja kerja yang sudah kosong.
"Kau yakin semuanya sudah sesuai dan tidak ada yang terlewatkan?"
"Sudah, tuan. Kalau perlu tuan bisa mengecek kembali isinya."
"Kau tahukan jika aku tidak ingin ada satu kesalahan bahkan satu kesalahan kecil pun tidak dapat aku terima."
"Seperti biasa, tuan dapat percaya pada saya."
Pria itu berbalik, duduk di kursi kerjanya dan merebahkan tubuhnya. Ia menutup matanya beberapa saat, menarik nafas untuk mengatur emosi yang begitu besar.
Ia mengambil bolpoin yang berada disaku jas-nya dan memberi tanda tangan pada file yang dibawa Bima. Tak sedikitpun pandangan pria itu tertuju pada Bima yang sedari tadi berdiri menungguinya. Bahkan setelah tanda tangan selesai ia memutar kursinya kembali membelakangi Bima.
Bima menutup file yang baru ditanda tangani dan mengambilnya kembali.
"Terimakasih, tuan. Kalau begitu saya permisi dan semua jadwal hari ini akan saya handle sendiri."
Tak ada sahutan dari pria yang duduk membelakanginya itu, ia sudah memejamkan kembali matanya.
"Satu jam lagi ponsel baru tuan akan segera tiba."
Bima memungut ponsel pintar yang baru tiga bulan lalu ia beli. Baru tiga bulan lalu Bima membeli ponsel itu namun kini sudah hancur sebagai pelampiasan kemarahan sang pemilik.
"Saya permisi, tuan."
Bima keluar dari ruangan itu dan berhenti di depan pintunya. Ia hanya mengambil SIM card dan memory card sedangkan ponsel itu ia masukkan ke dalam tong sampah.
Setelah membuang ponsel rusak itu Bima menghubungi seseorang.
"Tiga puluh menit lagi, ponsel keluaran terbaru dengan merek terbaik sudah ada di tanganku, perintah Bima pada orang yang ia hubungi."
..........
Kembali ke ruangan seperti kapal pecah.
Pria itu masih memejamkan matanya, ingatannya kembali pada tujuh tahun lalu. Saat dimana hatinya sedih dan terluka karena harus merelakan dan menyaksikan gadis pertama yang ia cintai bersanding dengan pria lain, saat itu juga sebuah masalah terjadi pada keluarganya.
Saat itu dalam perasaan yang hancur ia berusaha menguatkan dirinya menghadiri pernikahan cinta pertamanya. Tanpa ia sadari butiran-butiran air mata membasahi pipinya saat menyaksikan pemandangan di depan matanya dimana sepasang pengantin mengucapkan janji suci pernikahan di altar dan disaksikan banyak pasang mata.
Leo Geraldi Suntama.
Ia mengusap air matanya, mencoba memaksakan senyum di wajah dan berdiri ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Saat ia mencoba kuat dan tegar dengan kenyataan di depan mata dan mulai melangkahkan kakinya, ponselnya bergetar, seseorang menghubunginya.
Mama.
Panggilan yang ia terima berasal dari mamanya, wanita itu sesegukan mengucapkan kalimat-kalimat yang tak dapat dimengerti Leo.
Takut sesuatu terjadi, tanpa berpikir panjang ia berbalik meninggalkan hari bahagia cinta pertamanya dan mengendarai mobilnya dengan laju yang cukup tinggi.
Masih dengan sambungan telepon yang tetap terhubung Leo berkali-kali menenangkan mamanya, memintanya untuk berbicara pelan-pelan.
"Bentar lagi Leo sampai rumah, ma."
Leo memutus sambungan telepon dan menambah kecepatan mobil. Jalanan semakin macet karena sudah waktunya jam pulang kerja.
Ting
Sebuah pesan masuk ke ponsel Leo namun tidak ia sadari karena suara bising klakson para pengendara di tengah kemacetan. Suasana hati sedih dan pikiran yang tertuju pada mamanya membuatnya tidak dapat fokus dengan apa yang ada disekitarnya. Yang dia tahu secepatnya harus tiba di rumah.
..........
"Ma, mama..., ma...?"
"Tuan," seorang pelayan pria yang biasa dipanggil pak Asep menghampiri Leo yang baru turun dari mobil langsung berlari kedalam rumah sambil memanggil-manggil mamanya.
Langkah Leo berhenti di ruang tamu, bukannya mendapati mamanya justru ia menemukan seorang anak perempuan berseragam SMP sedang duduk di sofa dengan kedua tangannya memeluk ransel biru.
Seperti sedang ketakutan, gadis remaja itu mendongak ke arah Leo dan berdiri sambil terus memeluk ranselnya. Ia menunduk dalam diam.
Mata Leo meneliti remaja itu. Dia tidak mengenalnya dan setahunya tidak ada keluarganya yang memiliki putri remaja yang duduk di sekolah menengah pertama.
"Tuan Leo kenapa tidak ke rumah sakit? Bukannya tadi pak Ferdi sudah kirim pesan alamat rumah sakitnya?" tanya pak Asep yang bingung melihat keberadaan anak majikannya itu justru pulang ke rumah.
Leo membuka isi pesan yang dimaksud pak Asep dan tanpa mengatakan apapun ia berlari dan menuju rumah sakit sesuai alamat yang dikirim pak Ferdi, orang kepercayaan papanya sekaligus pengacara keluarga mereka.
Hai semuanya...
Ini novel keduaku.
Masih ingat Leo, si sad boy? (kalau ingat berarti sudah baca novel pertama saya).
Novel ini menceritakan tentang Leo (karakter yang ada di novel pertama saya) dan tentunya dengan cast lainnya juga. Semoga kalian juga suka ya.
Yang belum baca novel pertamaku, yok sembari menunggu judul yang ini up, mampir disana dulu. Terimakasih 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
NandhiniAnak Babeh
hadir setelah bc dr fb
2022-12-20
2
Tegang
2022-08-30
1
Baru satu episode tapi sudah dibuat tegang ya thor😀
2022-08-20
1