Gubrak
"Apa kau sedang mengajakku bercanda, ha? Apa kau sedang mempermainkan aku?" geram Leo.
Begitu kesalnya hingga Leo menggebrak meja saat membahas kerja sama dengan perusahaan Y. Bima harus menahan dan menerima kemarahan tuannya meski ia sendiri tahu jika tuannya tidak berniat melampiaskan semua padanya. Apa mau dikata, hanya ada Bima disisi Leo selama beberapa tahun belakangan ini.
"Maaf tuan tapi itu adalah permintaan dan tepatnya lagi sebagai syarat jika ingin melakukan kerja sama dengan perusahaan Y."
"Apa kau tidak bisa cari cara lain?"
"Sekali lagi maaf, tuan. Saya sudah memikirkannya dan mencoba cara lain tapi pemilik perusaan tersebut maunya seperti itu."
"Berengsek!" umpat Leo melempar dokumen kerjasama ditangannya. Ia memijat keningnya merasa sedikit pusing.
"Bagaimana menurut tuan? Kerjasama ini sangat menguntungkan bagi kita terlebih untuk pengembangan kantor cabang yang berada di kota B. Perusahaan Y sangat berpengaruh di kota itu dan ada banyak perusahaan lain yang juga sedang mengantri ingin menjalin kerjasama dengan mereka."
Leo semakin bertambah kesal mendengar penjelasan Bima. Dengan kasar ia menduduki kursinya dan mencoba memikirkan sesuatu. Ia juga tahu jika kesempatan tidak selalu datang dua kali dan seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan saat ini.
"Keluarlah."
"Baik, tuan. Kalau begitu saya permisi dulu."
Hahaha...
Tawa Leo pecah memenuhi ruangannya. Ia mengingat kembali syarat yang perusahaan Y ajukan untuk menjalin kerjasama. Leo tak habis pikir jika pria yang menjadi adik angkatnya selama ini memiliki pengaruh besar terhadap perusahaan.
Perusahaan Y sudah dua kali menjalin kerjasama dengan Suntama grup dan ini untuk ketiga kalinya. Dua kali menjalin kerjasama dibawah pimpinan pak Ferdi yang tentunya ditangani oleh Fandy selalu berakhir baik dan sukses.
Kali ini perusaan Y merasa kecewa mengetahui jika bukan Fandy yang akan menangani kerjasama. Pemilik perusaan Y dengan tegas mengatakan akan menyetujui kerja sama apabila Fandy ikut serta.
Leo bangkit dari kursinya, ia berjalan keruangan setiap karyawan dan memonitor cara kerja mereka, membuat setiap karyawan merasa canggung dan wanti-wanti mengingat pimpinan mereka saat bisa saja menurunkan posisi mereka bahkan tak segan-segan untuk memecat kapan saja.
Langkahnya tiba di ruangan terakhir. Ruangan yang diisi sekitar sepuluh karyawan.
"Selamat siang, pak." Seisi ruangan berdiri saat salah satu dari mereka melihat kedatangan pemilik perusahaan dan menyapanya.
"Lanjutkan saja pekerjaan kalian."
"Baik, pak."
Semuanya kembali ke posisi mereka semula. Sambil melakukan tugasnya masing-masing beberapa dari karyawan sesekali mencuri untuk melirik kemana bos perusahaan berjalan.
Dengan memasukkan kedua tangan dalam saku celana, Leo berdiri dihadapan meja Fandy. Cukup lama ia memandangi adik angkatnya itu sedang sibuk dengan ratusan lembar brosur produk kecantikan perusahaan.
Sama seperti Leo yang hanya diam berdiri di depannya, Fandy pun melakukan hal yang sama, tetap bekerja seperti biasanya tanpa menghiraukan keberadaan Leo.
Mungkin lelah berdiri atau memang sengaja Leo bersandar pada meja membelakangi Fandy.
"Apa kau sudah selesai?" suara Leo begitu datar.
"Mungkin akan lebih cepat selesai jika pak Leo tidak berada disini," jawab Fandy tanpa melihat Leo.
"Pak?"
Leo mengernyitkan dahinya karena kata pak yang digunakan Fandy. Selama ini Fandy selalu memanggilnya dengan sebutan kakak namun untuk pertamakali sebutan pak yang dipakai fandy.
"Cepatlah sedikit," paksa Leo.
"Maaf pak tapi kerjaan saya masih banyak. Kalau pak Leo perlu sesuatu katakan saja langsung disini."
"Apa kau sedang menguji kesabaranku, ha?" sinis Leo. "Sudahlah. Lupakan saja, bicara denganmu tidak ada gunanya."
Leo keluar meninggalkan ruangan tersebut dengan kesal. Semua pandangan karyawan di ruangan itu tertuju pada Fandy yang begitu berani pada Leo sebagai pemimpin tertinggi sekaligus pemilik perusahaan.
"Nggak takut dipecat, pak?" tanya salah seorang karyawan pada Fandy.
Fandy berjalan membawa brosur yang ia lipat dan meletakkannya pada tumpukan brosur lain yang berada dalam sebuah kotak besar. Sambil tersenyum Fandy menghampiri karyawan yang tadi bertanya padanya.
"Bukannya bapak sudah pernah melihat seorang wakil direktur utama diturunkan menjadi seorang sales?" tanya Fandy balik pada pria paruh baya itu.
"Sudah, pak. Itu anda sendiri," jawabnya tersenyum menunduk.
"Jadi apa lagi yang harus ditakutkan?"
Plok... Plok... Plok...
Pak Anwar sebagai pemimpin tim sekaligus karyawan tertua diantara mereka di ruangan itu bertepuk tangan kagum akan keberanian yang dimiliki Fandy.
"Aku suka gayamu anak muda!" seru pak Anwar yang kemudian mengacungkan kedua jempolnya.
Semua karyawan tertawa dan kembali pada kegiatan masing-masing.
Apa yang dikatakan Fandy memang benar. Semenjak posisinya sebagai wakil direktur utama diturunkan tidak ada lagi hal yang ia takutkan kecuali satu hal. Fandy tidak ingin mempermasalahkan hal itu selama ia tidak kehilangan gadis yang begitu ia sayangi. Selama gadis itu berada disisinya maka itu sudah cukup baginya.
..........
"Apa rasanya seenak itu?"
"Enak, kak. Apalagi ini gratis."
Fandy memicingkan sebelah matanya menyaksikan acara mukbang secara langsung di depan matanya. Entah lagi lapar atau memang doyan, Syera sudah menghabiskan empat potongan besar martabak cokelat ceres dan kini ia sedang memegang potongan kelima.
Di perjalanan saat pulang kerja tadi Fandy membeli martabak kesukaan Syera dari seorang penjual martabak di pinggir jalan. Ia tahu jika Syera lebih menyukai makanan yang dijual di pinggir jalan ataupun kaki lima. Selain karena kata Syera rasanya lebih enak dari tempat mewah, harganyapun lebih terjangkau.
"Sudah cukup," ucap Fandy mengingatkan. "Ambil ini," menyodorkan segelas air putih pada Syera.
"Makasih, kak." Syera berucap dengan keadaan mulut penuh dengan martabak.
"Jangan lupa sikat gigimu sebelum tidur," mengingatkan Syera.
Syera hanya mengangguk mengunyah sisa martabak di mulutnya.
Selagi mulut Syera berperang dengan martabak maka Fandy memandangi seisi apartemennya. Selama ini dia hanya tinggal sendiri dan melakukan kegiatan rumah seorang diri. Terkadang rasa lelah setelah bekerja membuatnya tak sempat membersihkan apartemen setiap harinya.
Meski diadopsi keluarga kaya dan diberikan fasilitas bagus, tidak membuat Fandy menjadi orang yang lupa diri ataupun manja. Justru ia semakin mandiri dan tidak pernah mempekerjakan seorang asisten rumah tangga semenjak tinggal sendiri.
"Membersihkan apartemen ini dan bekerja di restoran seharian pasti melelahkan, iyakan?" memasukkan sisa martabak ke dalam kulkas.
"Nggak kok, kak. Lagian aku juga sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Aku sering bantu bibi Retno, apalagi kalau bibi lagi sakit."
"Baguslah. Anggap saja sekarang kamu lagi latihan menjadi seorang istri."
"Hahaha... Apa ada yang mau menikah denganku, aku rasa tidak." Syera menggelengkan kepalanya. Sesaat ia termenung memikirkan sesuatu.
"Mikirin apa?" mengacak rambut Syera dan seperti biasa akan merapikannya kembali.
"Hem... Bukan apa-apa kak," menghela nafas. "Lagi berkhayal aja seandainya ada pangeran yang bawa Syera ke dunia dan kehidupan yang baru."
"Apa belakangan ini kamu lagi baca novel romansa seorang CEO yang jatuh cinta dengan gadis miskin? Atau novel fantasi yang bercerita tentang time travel? Hahaha..."
Fandy tertawa meninggalkan Syera dimeja makan sedangkan dia masuk ke ke dalam kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya yang letih seharian.
Cerita yang hanya ada dalam novel fiksi. Mana mungkin ada dalam dunia nyata. Kalaupun ada tentunya tidak akan terjadi padaku.
..........
Hampir saja Syera terjatuh di koridor apartemen karena berlari sedikit cepat. Ia begitu terburu-buru hendak ke supermarket yang ada di seberang jalan apartemen untuk membeli pembalut. Entah karena lelah atau stress hari ini untuk kedua kalinya dalam satu bulan Syera mengalami lagi yang namanya menstruasi.
"Ck. Apa aku melihat bayangannya lagi?" berdecak kesal samar Leo melihat penampakan Syera keluar dari lift disebelah lift yang Leo gunakan menuju lantai atas.
Tiba di depan pintu apartemennya Leo melangkah ke depan pintu apartemen di sebelah miliknya.
Langsung saja telunjuknya menekan bel dan tak lama kemudian pintu terbuka.
"Aku hanya ingin melihat bagaimana isi apartemenmu."
Tanpa permisi Leo masuk dan mengamati segala sudut ruangan dan berakhir duduk di atas sofa.
Di supermarket Bima yang sedang membeli beberapa botol minuman kaleng untuk ia bawa ke apartemen Leo, melihat keberadaan Syera saat mengambil satu botol minuman pereda nyeri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Isabela Devi
Thor ga usah pertemukan syera dan Leo dan semoga si Bima ga ngadu ke Leo bahwa dia ketemu syera
2024-05-13
1
Seru, tapi sayang digantung sama authornya😁
2022-08-20
1
Siapa Aku
rasain kamu Leo, pusing kan tuh pala sekarang😂😂
2022-08-20
1