Srakk....
Prak...
Sebuah ponsel dibanting pada dinding berwarna putih. Tak hanya ponsel, sebuah laptop ikut menjadi sasaran kemarahan, dengan entengnya dilemparkannya benda itu kelantai hingga menimbulkan suara gaduh dalam ruangan. Untung saja beberapa hari lalu ruangan tersebut dipasangi pengedap suara hingga suara yang berasal dari dalam ruangan tidak terdengar hingga keluar.
Srakk....
Dengan sekali sapuan tangan semua benda yang berada di atas meja jatuh berserakan kelantai. Dokumen-dokumen penting yang sebelumnya tersusun rapi untuk ditanda tangani berserak tak beraturan dan sebagian basah oleh tumpahan kopi. Pecahan dari cangkir berisi kopi panas bertebaran dimana-mana.
Bug!
Sekali lagi, dengan tangan terkepal ia menggebrak mejanya begitu kuat. Urat-urat tangan dan leher pria tinggi itu membentuk, tanda kemarahan yang begitu besar dihatinya.
Beberapa menit lalu seorang yang merupakan pelayan melakukan panggilan luar negeri, menghubungi pria itu guna memberi kabar dan perkembangan seseorang yang sama sekali tidak ingin ia dengar dan ketahui.
Ini bukanlah untuk pertama kalinya si pelayan menghubunginya namun akan selalu berakhir dengan situasi yang sama setiap kali sambungan telepon itu berakhir.
Benda apapun yang ada di dekatnya akan menjadi sasaran kemarahannya setiap kali ia mendengar nama gadis yang baru dua kali ia temui, gadis yang membuat emosinya tak terkontrol selama tujuh tahun ini.
Tok...Tok...Tok....
"Permisi tuan, saya membawa file yang anda minta untuk saya revisi dua hari yang lalu."
Bima yang merupakan sekretaris pria itu masuk kedalam ruangan yang sudah seperti kapal pecah didalamnya. Sekilas ia mengedarkan pandangannya pada lantai yang ia lewati.
Pria yang ia jumpai itu sedang berdiri membelakanginya, menatap keluar melalui dinding kaca pada jalan raya yang begitu ramai dipenuhi kendaraan.
Tidak ada rasa heran atau keinginan untuk bertanya dibenak Bima melihat situasi ruang kerja tuannya itu. Bukan tanpa sebab, setiap kali ia mendapati ruangan itu dengan kondisi yang mengenaskan ia sudah dapat mengerti apa yang menjadi penyebabnya.
Bekerja selama lima tahun, menemani tuannya ke sana-kemari, mengurus keperluannya dan selalu stand by setiap dibutuhkan membuat Bima begitu mengenal dan tahu akan tuannya. Termasuk dengan keadaan di depan matanya saat ini.
"Tuan, ini file yang anda minta kemarin. Semuanya sudah sesuai dengan yang anda inginkan dan pihak klien juga sudah menyetujui semua persyaratan kerjasama pembangunan taman hiburan tersebut. Kalau tidak ada masalah atau hal lain anda sudah dapat menanda tanganinya saat ini."
Bima membuka file yang ia bawa dan meletakkannya di atas meja kerja yang sudah kosong.
"Kau yakin semuanya sudah sesuai dan tidak ada yang terlewatkan?"
"Sudah, tuan. Kalau perlu tuan bisa mengecek kembali isinya."
"Kau tahukan jika aku tidak ingin ada satu kesalahan bahkan satu kesalahan kecil pun tidak dapat aku terima."
"Seperti biasa, tuan dapat percaya pada saya."
Pria itu berbalik, duduk di kursi kerjanya dan merebahkan tubuhnya. Ia menutup matanya beberapa saat, menarik nafas untuk mengatur emosi yang begitu besar.
Ia mengambil bolpoin yang berada disaku jas-nya dan memberi tanda tangan pada file yang dibawa Bima. Tak sedikitpun pandangan pria itu tertuju pada Bima yang sedari tadi berdiri menungguinya. Bahkan setelah tanda tangan selesai ia memutar kursinya kembali membelakangi Bima.
Bima menutup file yang baru ditanda tangani dan mengambilnya kembali.
"Terimakasih, tuan. Kalau begitu saya permisi dan semua jadwal hari ini akan saya handle sendiri."
Tak ada sahutan dari pria yang duduk membelakanginya itu, ia sudah memejamkan kembali matanya.
"Satu jam lagi ponsel baru tuan akan segera tiba."
Bima memungut ponsel pintar yang baru tiga bulan lalu ia beli. Baru tiga bulan lalu Bima membeli ponsel itu namun kini sudah hancur sebagai pelampiasan kemarahan sang pemilik.
"Saya permisi, tuan."
Bima keluar dari ruangan itu dan berhenti di depan pintunya. Ia hanya mengambil SIM card dan memory card sedangkan ponsel itu ia masukkan ke dalam tong sampah.
Setelah membuang ponsel rusak itu Bima menghubungi seseorang.
"Tiga puluh menit lagi, ponsel keluaran terbaru dengan merek terbaik sudah ada di tanganku, perintah Bima pada orang yang ia hubungi."
..........
Kembali ke ruangan seperti kapal pecah.
Pria itu masih memejamkan matanya, ingatannya kembali pada tujuh tahun lalu. Saat dimana hatinya sedih dan terluka karena harus merelakan dan menyaksikan gadis pertama yang ia cintai bersanding dengan pria lain, saat itu juga sebuah masalah terjadi pada keluarganya.
Saat itu dalam perasaan yang hancur ia berusaha menguatkan dirinya menghadiri pernikahan cinta pertamanya. Tanpa ia sadari butiran-butiran air mata membasahi pipinya saat menyaksikan pemandangan di depan matanya dimana sepasang pengantin mengucapkan janji suci pernikahan di altar dan disaksikan banyak pasang mata.
Leo Geraldi Suntama.
Ia mengusap air matanya, mencoba memaksakan senyum di wajah dan berdiri ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Saat ia mencoba kuat dan tegar dengan kenyataan di depan mata dan mulai melangkahkan kakinya, ponselnya bergetar, seseorang menghubunginya.
Mama.
Panggilan yang ia terima berasal dari mamanya, wanita itu sesegukan mengucapkan kalimat-kalimat yang tak dapat dimengerti Leo.
Takut sesuatu terjadi, tanpa berpikir panjang ia berbalik meninggalkan hari bahagia cinta pertamanya dan mengendarai mobilnya dengan laju yang cukup tinggi.
Masih dengan sambungan telepon yang tetap terhubung Leo berkali-kali menenangkan mamanya, memintanya untuk berbicara pelan-pelan.
"Bentar lagi Leo sampai rumah, ma."
Leo memutus sambungan telepon dan menambah kecepatan mobil. Jalanan semakin macet karena sudah waktunya jam pulang kerja.
Ting
Sebuah pesan masuk ke ponsel Leo namun tidak ia sadari karena suara bising klakson para pengendara di tengah kemacetan. Suasana hati sedih dan pikiran yang tertuju pada mamanya membuatnya tidak dapat fokus dengan apa yang ada disekitarnya. Yang dia tahu secepatnya harus tiba di rumah.
..........
"Ma, mama..., ma...?"
"Tuan," seorang pelayan pria yang biasa dipanggil pak Asep menghampiri Leo yang baru turun dari mobil langsung berlari kedalam rumah sambil memanggil-manggil mamanya.
Langkah Leo berhenti di ruang tamu, bukannya mendapati mamanya justru ia menemukan seorang anak perempuan berseragam SMP sedang duduk di sofa dengan kedua tangannya memeluk ransel biru.
Seperti sedang ketakutan, gadis remaja itu mendongak ke arah Leo dan berdiri sambil terus memeluk ranselnya. Ia menunduk dalam diam.
Mata Leo meneliti remaja itu. Dia tidak mengenalnya dan setahunya tidak ada keluarganya yang memiliki putri remaja yang duduk di sekolah menengah pertama.
"Tuan Leo kenapa tidak ke rumah sakit? Bukannya tadi pak Ferdi sudah kirim pesan alamat rumah sakitnya?" tanya pak Asep yang bingung melihat keberadaan anak majikannya itu justru pulang ke rumah.
Leo membuka isi pesan yang dimaksud pak Asep dan tanpa mengatakan apapun ia berlari dan menuju rumah sakit sesuai alamat yang dikirim pak Ferdi, orang kepercayaan papanya sekaligus pengacara keluarga mereka.
Hai semuanya...
Ini novel keduaku.
Masih ingat Leo, si sad boy? (kalau ingat berarti sudah baca novel pertama saya).
Novel ini menceritakan tentang Leo (karakter yang ada di novel pertama saya) dan tentunya dengan cast lainnya juga. Semoga kalian juga suka ya.
Yang belum baca novel pertamaku, yok sembari menunggu judul yang ini up, mampir disana dulu. Terimakasih 🙏
Antara bingung dan cemas Leo berjalan di lorong rumah sakit menuju sebuah ruangan. Dari kejauhan ia melihat mamanya berdiri di topang seorang pria seusia papanya yang tak lain adalah pak Ferdi. Keduanya berdiri di depan ruang operasi.
Belum ia sampai dan sesaat akan memanggil mamanya, dua pria berpakaian seragam dokter keluar dari ruang operasi yang langsung disambut oleh dua orang yang sedari tadi menunggu dengan perasaan cemas dan khawatir.
Salah satu di antara dokter tersebut mengatakan sesuatu yang tidak dapat di dengar Leo dan tak lama kemudian suara jeritan memenuhi ruang tunggu operasi.
Aaaaa...!!
Mendengar jeritan mamanya ia berlari dengan pikiran kosong. Dokter yang berbicara dengan mamanya berlalu setelah menyampaikan sesuatu.
"Mama," panggil Leo.
Suara jerit dan tangisan membuat Leo menjadi kalut.
"Leo... Kenapa jadi seperti ini, nak." Isakan mama Mila terdengar begitu Pilu ditambah lagi suara itu begitu parau karena sudah terlalu banyak menangis. "Salah mama apa, kenapa jadi seperti ini, ma-mama mimpi kan, nak? Ini nggak benar kan pak Ferdi?"
Mama Mila menatap Leo dan pak Ferdi bergantian sembari menggoyang-goyang tangan mereka.
"Tenang, ma. Ada apa? Kenapa Leo disuruh ke rumah sakit?"
Leo yang belum paham dengan situasi yang ada melihat ke arah pak Ferdi meminta penjelasan.
"Maaf sebelumnya nak Leo, lebih baik nak Leo silahkan masuk dulu ke dalam." Pak Ferdi mengajak Leo, menuntunnya ke dalam kamar operasi dimana sebuah tubuh terbujur kaku di atas meja operasi.
Mama Mila menyelonong terlebih dahulu masuk ke dalam ruang operasi. Hatinya hancur melihat pria yang sudah menemaninya bertahun-tahun tergeletak tak berdaya.
Mama Mila kembali histeris.
"Aaaaa... Salah mama apa, pa? Salah mama apa sampai harus seperti ini?"
Leo menyusul mamanya kedalam diikuti pak Ferdi dibelakangnya.
"Papa?" Suara Leo mengecil seakan tertelan dalam ruangan berbau obat-obatan itu. Tubuhnya ambruk seketika. Dilihat mamanya menguncang-guncang tubuh papanya namun tentu saja tak ada respon karena pria itu sudah meninggal saat operasi baru saja berlangsung lima menit.
"Maaf nak Leo, pak Bayu sudah tidak ada lagi. Nak Leo harus kuat untuk mama nak Leo."
Sekuat tenaga Leo bangkit dengan air mata yang mulai mengalir deras namun sepatah katapun tak keluar dari mulutnya.
Bruk!
Mama Mila terjatuh dan terkulai lemas dilantai hingga beberapa detik kemudian ia pingsan. Perawat yang masih berada dalam ruang operasi langsung membantu mengangkat tubuh mama Mila dan membawanya ke salah satu ruang rawat untuk ditangani.
Hanya air mata yang terus mengucur dari pelupuk Leo. Ia kembali ambruk, melihat mamanya digotong pak Ferdi dan perawat. Pandangannya kembali beralih pada tubuh kaku di depannya. Seakan orang linglung Leo tidak tahu apa yang harus dan pertama ia lakukan. Dua orang perawat sibuk di depannya mempersiapkan kepulangan almarhum papanya.
..........
Lima belas menit kemudian pak Ferdi kembali menemui Leo yang masih duduk dilantai bersandar pada dinding ruang operasi.
"Ayo bangun, nak." Pak Ferdi membantu Leo berdiri dan membawanya keluar menuju ruang tunggu. "Nak Leo duduk dulu disini. Ibu Mila sedang mendapat perawatan."
Bibir Leo bergerak begitu berat saat bertanya pada pak Ferdi. "Ada apa sebenarnya, kenapa papa seperti ini?"
"Hem... Sebenarnya..." Pak Ferdi menarik nafas dan mulai menceritakan apa yang terjadi.
Sebelum kecelakaan terjadi...
Tadi siang setelah jam makan siang pak Bayu mengajak pak Ferdi bertemu. Pak Bayu datang bersama dengan seorang gadis remaja berseragam SMP ke salah satu taman tempat mereka janji bertemu. Tidak banyak yang beliau katakan karena sepertinya sedang terburu-buru oleh sesuatu.
Pak Bayu meminta untuk membawa anak itu pulang ke rumah. Sebelum berpisah beliau juga berpesan agar menjaga gadis remaja itu dan apapun yang terjadi jangan sampai dia meninggalkan rumah.
Pak Ferdi membawa gadis itu ke kediaman keluarga Bayu, awalnya pertemuan gadis itu dan Mila biasa saja namun setelah Mila menanyakan nama ibu gadis itu Mila terkejut dan ada perasaan tak suka.
Bertepatan dengan itu sebuah telepon dari pihak kepolisian memberi tahu jika pak Bayu mengalami kecelakaan tunggal dan dibawa ke rumah sakit.
..........
Pak Ferdi menyudahi ceritanya dan kembali menenangkan hati Leo meski ia tahu tidaklah mudah.
"Jadi karena anak itu?" Ingatan Leo kembali pada anak SMP yang tadi ia lihat dirumahnya. Ia mengerutkan keningnya. "Apa hubungan papa dengan anak itu?"
"Kalau soal itu saya belum tahu tapi saat saya bertanya pak Bayu hanya tersenyum pada saya."
"Apa pak Ferdi sudah mengeceknya?"
"Maaf, nak. Untuk sekarang kita fokus dulu untuk proses pemakaman pak Bayu. Mama nak Leo juga begitu syok dengan kejadian ini."
Setelah semua proses dan prosedur rumah sakit selesai, pak Ferdi membawa pulang Leo dan mila dengan ambulans di depan mereka, membawa mayat pak Bayu ke rumah duka sebelum dikebumikan.
Tiba di rumah duka seorang pelayan dari keluarga Suntama membantu Mila turun dan membawanya kedalam dimana sudah banyak orang yang menanti.
"Nak Leo, sebentar," cegat pak Ferdi sebelum Leo turun mengikuti mamanya. Pak Ferdi menyerahkan sebuah foto pada Leo.
Leo menerimanya dan memandangi foto itu sesaat.
"Saya belum yakin apa hubungan pak Bayu dengan wanita ini tapi saat kecelakaan wanita ini juga berada dalam mobil pak Bayu."
"Bukannya pak Ferdi orang kepercayaan papa, apa papa tidak pernah cerita tentang wanita ini?"
"Maaf nak, Leo. Walaupun orang kepercayaan tapi tidak semua hal perlu diceritakan. Ada beberapa hal yang hanya untuk kita ketahui sendiri."
"Lalu anak kecil ini?"
Leo kembali mengamati wajah wanita dalam foto di tangannya yang mungkin seumuran dengan mamanya. Seorang wanita tersenyum sambil menggendong anak kecil mengenakan bando merah.
"Bukannya papa dan pak Ferdi mempunyai orang-orang hebat dalam menyelidiki orang, saya mau informasi mengenai mereka secepatnya. Bila perlu sebelum papa dimakamkan, setidaknya ada sedikit informasi yang harus saya ketahui, selebihnya bisa pak Ferdi cari lagi setelahnya."
Berpikir sejenak akhirnya pak Ferdi mengiyakan keinginan Leo.
..........
Usai pemakaman tuan Bayu satu persatu orang meninggalkan pemakaman. Hanya tersisa Leo dan pak Ferdi. Mama Mila sudah dibawa pulang oleh pelayan ke rumah.
Dengan nanar Leo menatap tanah merah bertabur bunga diatasnya.
"Apa ada yang harus saya ketahui?" tanya Leo pada pak Ferdi yang berdiri di sampingnya.
"Wanita itu bernama Wulandari. Dari informasi yang di dapat para informan wanita itu dulunya merupakan kekasih tuan Bayu namun hubungan mereka tidak disetujui oleh pak Suntama, kakek nak Leo. Tuan Bayu akhirnya menikah dengan ibu Mila karena perjodohan."
"Lalu anak kecil itu?"
"Syera Hanindy," ucap pak Ferdi menyebut nama anak kecil yang dimaksud. "Usianya sekitar tiga belas tahun. Mungkin seusia dengan anak yang kemarin nak Leo temui di rumah."
"Apa itu anaknya?"
"Untuk hal itu belum dapat dipastikan, hanya saja nama anak kecil di foto itu sama dengan nama gadis remaja yang nak Leo temui di rumah."
"Apa anak itu hasil hubungan gelap papa dengan wanita yang ada di foto itu?"
"Maaf sekali lagi, hal itu belum dapat kami pastikan saat ini."
"Ck, baru saja aku menyaksikan gadis yang aku sayangi menjadi milik pria lain, sekarang aku berdiri di pemakaman papa. Hahaha... Lucunya lagi masih ada banyak kejutan yang harus diterima."
Leo menengadah ke langit, tertawa dengan air mata yang tak terbendung.
"Syera Hanindy."
Leo mengepalkan kedua tangannya menyebut nama gadis yang ada di foto yang ia yakin adalah orang yang sama dengan yang ia temui sebelumnya di rumah.
..........
Dert... Dert... Dert...
"Ada apa?" tanya pak Ferdi pada orang yang menghubunginya.
Dari sambungan telepon ia dapat mendengar suara jeritan dan histeris wanita yang baru saja kehilangan suaminya.
"Kami segera sampai di rumah."
Pak Ferdi memutus sambungan telpon setelah mendengar apa yang disampaikan seorang pelayan keluarga Suntama padanya.
"Sebaiknya kita pulang sekarang. Ibu Mila, mama nak Leo sedang dalam keadaan tidak baik saat ini di rumah."
Aaaaaa....
Suara histeris memenuhi kediaman keluarga Suntama. Semua pelayan mematung, tak seorang pun berani melerai sang nyonya rumah yang sedang membanting barang-barang di kamarnya.
Setibanya tadi ia di rumah, kedua maniknya langsung mendapati seorang gadis remaja duduk di ruang tamu seorang diri. Jika semalam ia memakai seragam sekolah, kini ia sudah menggantinya dengan pakaian salah seorang pelayan muda di rumah itu, meskipun masih tetap kebesaran ditubuhnya.
Leo tiba di rumah bersama pak Ferdi. Bibi Retno yang merupakan pelayan sejak Leo masih dikandungan berlari menghampiri anak majikannya.
"Ibu Mila mengunci pintu kamarnya dan berteriak-teriak sambil membanting barang-barang. Bibi sudah coba ngomong tapi tidak ada hasilnya."
"Bukannya sejak pemakaman mama diam saja, kenapa sekarang seperti ini lagi, bi?"
Bibi Retno mengikuti langkah Leo menuju kamar mama Mila.
"Tadi ibu kembali teriak histeris sejak melihat nak Syera di ruang tamu."
"Bibi bilang siapa? Syera?" Mata Leo melotot dengan kedua tangan lagi-lagi terkepal memperlihatkan buku jari-jarinya. "Kenapa anak itu masih disini?" teriak Leo kuat hingga semua orang di rumah mendengar tak terkecuali Syera yang saat ini ketakutan mendengar teriakan yang begitu kuat untuk pertama kalinya.
"Ma-maaf, tuan. Kami tidak tahu harus berbuat apa dengan anak itu. Pak Ferdi bilang dia akan tinggal disini sementara waktu."
"Arghh.... Ini rumahku dan aku yang berhak atas siapa yang boleh dan tidak boleh tinggal disini."
"Maaf, tuan. Ibu Mila semakin histeris."
Leo berlari dan menggedor-gedor pintu kamar mamanya. Sudah sepuluh menit namun pemilik kamar tak kunjung membuka pintu.
"Ma... Mama... Buka pintunya, ma. Jangan seperti ini, ma. Mama nggak kasihan sama Leo, hanya mama yang Leo punya sekarang."
Tangis Leo pecah diikuti tubuhnya yang ambruk di depan pintu kamar mamanya. Suara histeris dari dalam kamar perlahan berubah menjadi tangisan.
"Ma, buka pintunya. Mama tahu kan kalau belakangan ini hari-harinya Leo berat, ditambah dengan kepergian papa hari Leo semakin berat. Hanya mama yang Leo punya sekarang jadi tolong jangan menyiksa diri mama sendiri."
Mila mengerti dan tahu akan apa yang diucapkan Leo. Ia tahu jika anaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik juga sebelum kejadian yang menimpa papanya.
"Maafin mama, nak. Biarin mama sendiri dulu ya, mama butuh waktu buat nenangin diri mama."
"Tapi mama janji jangan sakiti diri mama bahkan berpikir untuk ninggalin Leo, ya ma?"
Sambil menahan isaknya Mila menganggukkan kepalanya yang tentu saja tidak dapat dilihat Leo.
"Iya, mama janji, nak."
Meski berat dan tidak tega membiarkan mamanya seorang diri di kamar dalam keadaan yang begitu sedih namun Leo terpaksa menuruti keinginan mamanya. Ia paham jika mamanya juga butuh waktu sendiri saat ini.
Leo menyeka air matanya dan menemui pak Ferdi di ruang tamu.
"Biarkan saja mamamu menenangkan dirinya saat ini, semuanya pasti butuh proses. Seiring waktu ibu Mila pasti akan baikan."
Pak Ferdi menepuk-nepuk pundak Leo. Ia paham jika ibu dan anak itu pasti begitu terpukul dengan keadaan yang terjadi.
"Kenapa anak itu dibawa kesini, kenapa dia masih disini, kenapa tidak ada yang menjemputnya atau membawanya keluar dari rumah ini?"
Leo menahan emosinya, ia yakin gadis remaja yang bernama Syera itu ada hubungannya dengan kejadian papanya.
"Sesuai dengan pesan tuan Bayu, nona Syera akan tinggal di disini bersama ibu Mila dan nak Leo. Itu adalah pesan terakhir tuan Bayu pada saya dan saya sudah sampaikan sekarang."
"Kenapa harus, apa dia bagian keluarga ini? Memangnya dia siapa, dia bukan siapa-siapa," geram Leo. "Oh iya, tentu saja dia harus tinggal disini. Anak hasil dari hubungan gelap papa dan mamanya. Hahaha... Hidup ini begitu lucu."
"Bapak harap nak Leo jangan berpikir terlalu jauh. Segala kemungkinan bisa terjadikan?"
"Dan salah satunya dia anak gelap papa dengan mantan kekasihnya dulu. Hahaha...." Leo tertawa namun air matanya mengalir begitu saja. Pak Ferdi yang masih ingin menyampaikan sesuatu menahan diri sampai keadaan Leo sedikit tenang.
Seketika rumah itu begitu hening. Namun hanya untuk sesaat karena pandangan Leo tertuju pada seorang pria yang baru saja masuk dan berjalan kearahnya dan pak Ferdi.
"Ck." Leo berdecak kesal melihat pria itu, memandangnya tak suka, pria yang kehadirannya tak pernah Leo inginkan selama ini."
Plok... Plok... Plok...
Hahaha...
Sambil bertepuk tangan Leo tertawa namun masih dengan air mata yang terus tak dapat ia bendung. Entah ia tertawa atau menangis keduanya beda tipis jika didengar.
"Wow... Perfect!" seru Leo melebarkan kedua tangannya. Ia tersenyum menyambut pria yang membuat suasana hatinya semakin tak karuan.
"Maaf, aku telat, kak. Pesawat yang aku tumpangi delay-nya lama tapi sebelum kesini aku sudah ke makam papa tadi. Mama dimana, mama baik-baik aja kan?"
Pria itu bernama Fandy Putra Suntama, usianya dua tahun dibawah Leo. Fandy adalah anak yang di adopsi Bayu dari sebuah panti asuhan. Setiap melakukan kegiatan sosial di panti asuhan tempat Fandy berada, Bayu merasa tersentuh dan iba melihat Fandy kecil yang begitu ramah. Fandy menarik perhatian Bayu setiap kali mengunjungi panti untuk memberi batuan pada anak-anak di sana.
Fandy kecil akan berlari menyambut Bayu dengan senyum dibibir sambil melebarkan kedua tangannya meminta digendong. Mungkin Fandy merindukan sosok seorang ayah hingga tanpa sadar anak itu seolah menganggap Bayu datang ke panti karena ingin mengunjunginya.
Dengan alasan itu Bayu tanpa izin terlebih dahulu pada istrinya langsung mengadopsi Fandy dan menyematkan nama keluarga besar Suntama padanya.
Mila tidak keberatan dengan keputusan suaminya. Ia memperlakukan Fandy seperti anaknya sendiri. Saat itu Fandy baru berusia lima tahun. Berbeda dengan mamanya, Leo justru menolak keberadaan Fandy. Leo merasa apa yang seharusnya menjadi miliknya harus terbagi dengan Fandy.
"Mama baik-baik aja kan?" tanya Fandy yang memang mengkhawatirkan mamanya.
"Ck, arghhhh...!"
Leo berdecak, menjambak rambutnya begitu kesal.
Dari arah dapur Syera yang sedari tadi mendengar semuanya namun juga tidak mengerti dengan situasi yang terjadi perlahan melangkah membawa sebuah nampan berisi beberapa cangkir teh yang disiapkan bibi Retno.
"Per-misi, maaf, bibi Retno menyuruh saya untuk membawakan teh ini."
Leo berbalik pada suara yang berasal dari belakangnya.
Prang....
Sekali sapuan tangan nampan dan semua isinya berserak dilantai. Tangan Syera yang masih menempel pada ujung nampan harus menahan panasnya siraman teh. Syera terkejut, belum lagi ia harus menahan tangannya yang kepanasan. Ia melangkah mundur berniat ke dapur untuk merendam tangannya ke air dingin namun tangan Leo sudah terlebih dahulu mencekalnya.
"Maaf, akan saya bersihkan nanti." Syera menunduk takut meski ia sendiri tidak tahu takut akan apa. "Hissss... Maaf."
Leo semakin mencengkram kuat pergelangan tangan gadis kecil itu, tangan yang baru saja mendapat tumpahan teh panas yang disebabkan Leo.
Kekuatan tangan Leo berbanding terbalik dengan kekuatan Syera saat menahan sakit. Tangannya semakin memerah bahkan cengkraman Leo menambah rasa perih.
"Lepas! Nggak lihat kalau tangannya sudah memerah?" Fandy memaksa melepas cengkraman Leo dari tangan Syera. "Kalau ada masalah jangan lampiaskan pada orang lain, apalagi sama anak kecil."
Menggunakan sisa kekuatannya Leo mendorong Fandy sedangkan satu tangan lainya kini mencengkram leher baju Syera hingga tubuh gadis kecil itu hampir menempel pada Leo. Dengan sekali dorongan Leo mendorong tubuh kecil Syera hingga terjatuh ke lantai.
Pak Ferdi bergidik ngeri melihat perubahan sikap Leo yang selama ini ia kenal adalah anak yang baik, lembut dan penurut. Ia berdiri ingin membantu Syera namun saat itu juga Fandy sudah terlebih dahulu menghampiri Syera.
"Kamu nggak kenapa-napa, ada yang sakit?" tanya Fandy khawatir.
"Enggak kok, kak. A-aku baik-baik aja," jawab Syera berbohong.
Plok.... Plok... Plok...
Leo kembali bertepuk tangan melihat Fandy membantu Syera berdiri.
"Hahaha... Yang satu anak adopsi berkhayal jadi anak kandung dan yang satu lagi anak hubungan gelap. Wow... Semuanya ngumpul di rumah ini dalam keadaan seperti ini."
"Maksud kak Leo apa?" tanya Fandy penasaran akan ucapan Leo.
"Kenapa, kurang jelas?" Leo berkacak pinggang menatap tajam Fandy. "Adik lo, cocok lo berdua jadi kakak adik," ucap Leo menunjuk Syera. "Sama-sama anak yang nggak jelas asal usulnya."
Fandy mengepalkan tangannya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Leo. Ia tidak suka mendengarnya namun ia berusaha menahan marahnya terlebih pak Ferdi yang berdiri di belakang Leo memberi aba-aba supaya ia tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!