Hari Selasa saat pemotongan rambut pun akhirnya tiba. Hasan lagi-lagi bersikeras menjemputku, dengan alasan menebus kesalahannya yang kemarin-kemarin. Aku sebenarnya juga nggak mau, takut merepotkan, tapi setiap kali dia telfon aku dan bilang besok mau jemput, semakin aku jawab tidak, semakin dia bersikeras. Dan akupun tak ada alasan untuk menolak ajakan dia lagi, karena sesungguhnya memang aku gak rugi kalau dia yang jemput.
“Udah siap berangkat?” Katanya di telfon.
“Eee… Iya siap. Tapi, aku belum pulang, aku masih di sekolah.”
“Oke, aku jemput kamu ke sekolah, sambil sekalian kenalan dengan Paskibra Sekolah terbaik se Jawa Timur versi GELEGAR 2011. Haha…” Katanya dengan tertawa lantang.
“Eh, nggak usah. Hari ini bukan latihan wajibnya Paskibku. Lagian juga kamu jemput aku di depan gerbang, nggak mungkin kamu tahu satu persatu anggota Paskibku kan.” Kataku ketakutan.
Padahal sebenarnya hari ini mereka lagi pemilihan pasukan untuk Pengibaran Kecamatan. Mampus kalau satu sekolah tahu aku dijemput dia. Semenjak kejadian mengerikan hampir satu tahun yang lalu, aku yang paling dikenal anti dengan cowok yang gak dikenal. Aku bisa saja dekat dengan beberapa temanku cowok, hanya kalau itu teman baikku dan aku kenal dengan dia. Kalau gak kenal, jangan harap dia bisa berkenalan denganku, aku tertutup mulai detik itu.
Dan agaknya kalau aku dijemput cowok macam Hasan (siapapun walaupun bukan Hasan tapi cowok), semua orang akan berpendapat baru bahwa aku sudah terbuka untuk cowok. Dan aku nggak pengen kenal dengan cowok lagi, tidak untuk kali ini. Aku masih belum siap.
“Nggak pa pa lah. Aku pengen tahu aja. Oke ya, aku jemput kamu, aku udah di Peterongan ini. Bye… Assalamu’alaikum.” Katanya dengan diiringi bunyi “tuutt..” yang panjang.
“Dasar cowok GJ. Ngapain juga dia mau tau temen-temen Paskibku. Nggak penting banget.”
“Nindy…” Suara salah satu temanku memanggil, dan aku menoleh. Ternyata Anggis.
“Iya, ada apa Nggis?” Aku berharap jangan mencegahku pergi sekarang. Bisa gawat kalau Hasan tau aku masih di dalam area sekolah.
“Mau bantu aku milihin pasukan buat pengibaran di Kecamatan? Kita tinggal milihi yang kelas X nih, teman-teman ngandalin PASKABnya buat milihin yang kelas X. Mau ya??” Kata Anggis.
“Ha?? Kenapa harus PASKABnya? Eee.. Ridan sama Desi mana?” Tanyaku.
Bego juga kenapa tadi aku nggak nyuruh mereka nunggu aku berangkat bareng, karena Desi juga nggak bawa motor sama kayak aku, dia jadinya bareng Ridan. Tapi sekarang mereka dimana…
“Mereka udah berangkat duluan, katanya Ridan lagi ada urusan, mangkannya ngajak Desi berangkat duluan. Lha kamu nunggu siapa Nin?” Tanya Anggis curiga.
“Eeee.. Aku… Aku.. Nunggu jemputan, ee.. Barengan sebetulnya. Masku, iya, Masku. Hehe..” Kataku dengan sebisa mungkin menyembunyikan gagapku karena berbohong.
“Oh, nunggu Mas kamu, yaudah masuk dulu, nanti kan dia nelfon kalo udah disini.”
Mati aku. Aku nggak bisa berbohong untuk kedua kalinya. Haduh, yaudah deh, aku nurut aja. Dengan harapan Hasan mau nelfon aku dulu kalo udah di depan.
“Oke. Aku bantu sekarang. Kelas X-nya uda siap?”
“Udah, yuk..”
Dan kurang lebih 15 menit dari aku memilih pasukan bersama beberapa teman-temanku, aku melihat Pak Satpam berjalan ke arahku. Aku diam saja dan tetap melanjutkan melihat PBB Juniorku, namun Pak Satpam jelas sekali sedang melaju ke arahku, dan aku sempat bertanya kenapa beliau kesini, padahal ini masih siang, nggak mungkin sudah disuruh bubar latihannya.
“Mbak Nindy, ada yang jemput..” Katanya sambil menunjuk ke arah gerbang.
“Oh iya Pak, makasih.” Kataku, dan sempat sesaat aku lihat Pak Satpam tersenyum ke arahku. Ada apa ya… Namun aku langsung berbalik ke arah teman-temanku dan berkata.
“Masku udah dateng jemput, aku ke PPI dulu ya..”
“Oke Nin, makasih ya… Selamat berpendek ria. Haha…”
Rupanya teman-temanku sudah tau kalau agenda ke PPI hari ini adalah potong rambut, namun belum sempat teman-temanku berhenti tertawa dan aku sendiri belum sempat balik badan untuk pergi meninggalkan mereka, bagai ada malaikat turun dari langit, mereka ternganga ke arah selasar beton depan kelas-kelas. Bahkan Anggis yang mengambil-alih pasukan ikut terdiam, membiarkan Junior kelas X dalam posisi hormat ditengah siang bolong begini di depan tiang futsal.
Aku pun serentak menoleh mencari tau sumber pengalih perhatian mereka. Dan tepat saat itulah Si Makhluk Super Menjengkelkan Hasan menghentikan motor balapnya dan melepas helmnya. Aku ikut tersentak melihat kelakuan memalukannya itu (menurutku).
Aku terpaku ditempat, tak sanggup berkata-kata ataupun bertindak, membiarkan saja semuanya terdiam, berharap teman-teman tidak tau kalau Si Hasan itu datang menjemputku, aku diam saja, hanya saja posisiku ditengah teman-teman dan Juniorku terlalu kentara. Aku memang berbeda dengan teman-temanku, walaupun aku bersembunyi dibelakang mereka semua, dan walaupun itu hal konyol yang takkan terjadi mengingat aku lebih tinggi dari mereka semua, Hasan akan langsung mengetahuiku. Dan aku mendengar salah seorang temanku berceletuk.
“Siapa dia? Nggak mungkin anak Karunia, terlalu ganteng.”
“Ganteng katamu? Ih.. Muka menjengkelkan gitu...” Kataku dalam hati.
Dan masih saja mereka semua terdiam, seperti di drama-drama romansa yang ogah aku tonton, dengan gerakan slow motion Hasan mendekati kami.
“Salam Merah Putih”!! Katanya dengan suara memukau dan sikap hormat yang tegas.
“Jaya!!” Aku dan teman-temanku menjawab.
Dan seperti penderitaanku di dunia ini masih kurang saja, Hasan berkata.
“Saya Hasan, CAPASKA 2011. Apakah saya boleh meminjam Nindy? Kami harus segera ke PPI, karena akan ada pemotongan rambut komunal. Tentunya kalian sudah tau itu..”
Katanya dengan tersenyum sebagian di bibirnya dan menaikkan alisnya yang lebat dan keren ke arah teman-temanku, dia bahkan tidak memandangku sedetikpun. Dasar sialan.
“Nindy??” Tanya temanku Rina dengan bego.
“Iya, Nindy, teman kalian yang ada di belakang kalian itu, yang sekarang lagi gak merasa bersalah kayaknya membiarkan saya menunggu lama di depan.”
Katanya ganti memandang ke arahku dengan ekspresi puas yang berbeda dengan perkataannya.
Wajahku memerah dan mendongkol ketika teman-temanku memandang ke arahku.
“Katanya Mas Okta yang mau jemput kamu?” Kata Anggis ke arahku. Dia tetap saja membiarkan Juniorku hormat ke tiang futsal.
“Ee.. Ee.. Ii.. Iya tadinya Mas Okta yang mau jemput aku, tapi mungkin dia.. Dia gak bisa.” Kataku berbohong ke teman-temanku.
Untung saja Tyas segera berkata.
“Eee.. Maaf Bang Hasan, tadi kami minta bantuan Nindy milih pasukan buat Pengibaran di Kecamatan, kami kira Mas Okta yang akan jemput. Ternyata kamu. Kalau begitu sekarang dia bisa segera ke PPI.”
Kata Tyas dengan menarikku mendekati Hasan, aku segera menjauhinya seakan dia berpenyakit menular.
“Terima kasih, kami sudah mau telat soalnya. Sampai ketemu ya.” Dan dia bersalaman ala Paskib ke teman-temanku dan kemudian menarik tanganku menjauh. Aku segera melepas tangannya.
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments