Sudah berjalan 20 menit pembelajaran membosankan ini. Dan sudah tak terhitung berapa kalinya aku menguap. Trigonometri. Salah satu bab Matematika yang sulit sekali untuk ku kuasai. Atau entah karena otakku yang bebal. Tinggal 2 lembar lagi dasar materi ini berakhir. Aku lirik masih pukul 20.00. Masih kurang 1 jam dari waktu maksimalku untuk tidur. Berarti masih lama juga aku harus keluar dari kamar guru gadungan ini. Karena sebelum semua pelajaran dipelajari, dia tak akan membiarkan aku pergi.
Dan tiba-tiba saja HP-ku kembali berdering. Terlihat tulisan ‘Hasan-Memanggil’ dilayarnya. Aku kaget. Ada apa lagi dia nelfon aku. Apa nggak cukup semua omong kosongnya tadi? Aku biarkan saja sampai panggilannya habis. Baru aku bisa bernafas lega. Tapi tak lama kemudian terlihat tulisan itu lagi. Aku jadi nggak nyaman dengan getaran dari HP-ku yang seakan terus memaksaku untuk menerima telfon dia.
Mas Okta menangkap ekspresiku dan sumber pengalih perhatian itu. Lalu mengambil HP-ku dan membaca yang tertera di layarnya.
“Angkat aja!” Katanya memberi tahu dan menyerahkan HP-ku ke arahku.
“Nggak ah. Males. Aku nggak mau dibohongin lagi.”
“Kok negative thinking gitu sih? Siapa tahu ada yang penting…”
“Nggak. Dia selalu nggak penting. Udahlah Mas, mending kita pelajarin ini aja…”
Mas Okta tersenyum.
“Sejak kapan kamu jadi suka Trigonometri? Bukannya dari tadi kamu cuma nguap aja?”
“Kamu perhatiin aku ya???”
“Ya jelas lah. Kan aku guru kamu sekarang. Guru yang baik adalah yang selalu memperhatikan muridnya dan selalu mengontrol dia bisa apa nggak.”
“Aku nggak merasa punya guru kayak kamu.” Kataku judes.
“Ya udahlah. Angkat sana! Kasihan tuh, nelfon terus. Pasti ada yang penting.”
Aku melirik kembali layar HP-ku. Dan memang dia masih nggak jera pengen ngomong sama aku.
“Hah… Mas aja deh yang ngangkat telfonnya. Males aku, tau nggak…”
“Lha kenapa kok aku yang ngangkat. Nanti malah aku ikut-ikut lagi. Nggak ah… Kamu aja. Ayo buruan!!”
Dan terpaksa aku menuruti apa kata Mas Okta. Dengan siap-siap kata semburan yang tepat untuk membuat dia jera dengan omong kosongnya, aku memencet tombol hijau dan segera ku Load Speaker.
“Hallo... Assalamu’alaikum.” Kataku dengan nada judes.
“Wa’.. Wa’alaikumussalam… Nin… Nindy…” Terdengar suara yang sama namun dengan nada yang berbeda dengan si SRB tadi.
Suara ini seperti yang pernah aku dengar dari The Real Hasan. Artinya Hasan yang pertama kali aku kenal. Suaranya dalam, menentramkan, dan berwibawa. Tapi tak menghapus kesan tegasnya. Namun kali ini suara itu agak berbeda. Seperti kuatir, takut, dan sekaligus gentar…
“Apa?” Kataku semakin judes.
Mas Okta di depanku memelototiku. Mengharap agar aku tidak judes begitu. Tapi aku nggak mau si Hasan ini kembali tertawa gara-gara berhasil membohongiku. Aku benci tawa kemenangannya itu…
“Eemmm… Kamu pasti marah ya?? Maaf banget Nin… Tadi itu…” Kata Hasan kembali terputus.
“Apa? Kamu mau ngaku kalau tadi itu sebenarnya kamu? Nggak lucu tau nggak.” Kataku tetap kaku. Nggak mau kalah.
“Aku dah tau kalau kamu bakalan marah gini…” Katanya penuh penyesalan.
“Terus kenapa kamu masih ngerjain aku? Please deh San, kamu bikin aku jengkel…”
“Iya-iya… Aku minta maaf banget….”
Aku menyeringai. Ternyata bener kan tadi itu dia? Itu makna pandangan yang aku lontarkan ke Mas Okta. Prediksiku nggak pernah meleset.
“Jadi tadi beneran kamu?? Gila ya…” Kataku tak habis fikir.
“Ini dia yang mau aku jelasin ke kamu. Aku udah bilang ke SRB kalau kamu bakalan marah gini. Tapi dia nggak percaya. Katanya kamu nggak beneran marahnya. Tapi aku nggak bisa nggak cek. Maafin temanku ya…”
“What?” Tanyaku tak faham dengan beberapa kata-katanya.
“Aku mau minta maaf ke kamu atas nama aku dan temanku tadi yang ngerjain kamu. Aku bener-bener minta maaf banget Nin… Dia nggak bermaksud gitu kok sebenarnya..”
“Minta maaf? Kamu? Temen kamu?” Kataku masih bingung.
“Ya, temenku yang tadi. Si SRB. Dia emang jail. Jadi aku atas nama dia bener-bener minta maaf____”
“Bentar. Bentar. Bentar. Apa kamu bilang? Yang ngerjain aku tadi temen kamu? Aku nggak salah denger?”
“Nggak Dek… Aku juga denger tadi dia ngomong gitu…” Kata Mas Okta.
Dan langsung saja Hasan menyahuti.
“Sama siapa kamu____” Tapi kata-katanya tenggelam oleh sanggahanku.
“Enggak. Nggak mungkin dia benar-benar orang. Eh…. Maksudku dia beneran ada. Dia kamu kan San??? Yang tadi itu kamu kan? Nggak usah bohong deh…”
“Nindy, biarin aku jelasin ke kamu dulu perkaranya seperti apa. Dia itu SRB, temenku__”
“Aku tetap nggak percaya kalau tadi itu bukan kamu San…”
“Maksudnya kamu berfikiran kalau tadi itu aku?”
“Ya. Kenapa? Suara kalian mirip tau nggak. Dan aku masih bisa menggunakan telingaku dengan baik untuk bisa membedakan suara kalian.”
“Tapi tadi itu beneran bukan aku, Nindy. Tadi itu SRB. Temenku. Suara kami emang sama. Tapi kami beneran beda.” Katanya meyakinkan di setiap kalimatnya. Dan setelah lama tak ada jawaban dariku, dia melanjutkan.
“Aku dah tau kalau kamu bakalan nggak percaya. Tapi aku harap kamu percaya lah Nin. Kamu maafin juga. Aku usahakan agar dia nggak sembarangan pegang HP-ku lagi.”
Aku masih nggak bisa nerima semua kenyataan ini. Bagaimana mungkin feelingku salah. Jelas-jelas suara mereka sama. Tapi…. Oh, memang suara bisa berubah. Dan mungkin emang nggak satu orang aja yang punya suara seperti Hasan. Walaupun dengan pembawaan yang beda.
“Oke lah. Terserah kamu mau bilang dia beneran ada atau nggak. Tapi… Yang aku pengen tanyakan ke kamu. Kenapa dia begitu tau detail dari hubungan kita. Maksudku… Eee… Kedekatan kita. Kamu cerita ke dia semuanya??”
“Iya. Apa salahnya? Tak ada alasan untuk aku nggak menceritakan orang seperti kamu kan.” Katanya enteng. Tulus. Aku menelan ludah demi mendengar kata-katanya itu. Terucap oleh Hasan. Orang yang pernah membuat tidurku nggak nyenyak selama 3 minggu.
“Tapi nggak harus ke cowok gitu kan?”
“Apa salahnya?”
“Kamu tau gimana perasaanku? Kamu sama aja kayak membuka bajuku di depan umum!!”
“Ha????” Kata-kata yang sama terlontar dari mulut Hasan dan Mas Okta.
Mungkin aku sudah mengalami masa dimana hatiku sudah nggak kuat lagi untuk tidak memberitahukan hal yang sebenarnya. Dia kaget dengan kata-kataku.
“Maaf mungkin kata-kataku terlalu vulgar. Tapi itulah perasaanku sekarang. Aku malu, tau. Dan itu gara-gara si SRB. Bicara ngalor-ngidul tentang aku. Dia benar-benar kayak mengenal aku. Padahal aku nggak pernah sekali pun mengenal dia. Aku heran, apa saja yang udah kamu bicarakan tentang aku di depan dia??”
“Eemmm… Bukan apa-apa kok. Tentunya ya hal baik lah Nin… Maksudku, kamu memang baik menurutku. Jadi apa yang aku bicarakan ke dia juga tentunya fakta kan? Dan apakah dia berbicara yang salah tentang kamu?”
Aku menimbang-nimbang sejenak.
“Ya enggak memang. Tapi…. Oh, entahlah. Aku nggak suka cara dia berbicara seperti itu.”
“Mangkannya aku minta maaf. Mungkin kamu emang belum mengenal dia. Dia sebenarnya asik kok. Cuma terkadang nggak tau sikon. Tapi diluar itu, dia benar-benar teman yang baik. Mungkin itulah kesan pertama kamu tentang dia. Tapi yakinlah, nggak selamanya kesan pertama itu bertahan seperti itu. Kamu pasti akan tau dia seperti apa.”
“Rasa-rasanya aku nggak mau dia nelfon aku lagi seperti itu. Ide bohongin aku dengan ngaku kamu itu nggak lucu. Apalagi dengan suaranya yang mirip banget sama kamu kayak gitu. Aku hampir percaya kalau itu kamu.” Kataku nggak mau kalah.
“Ya maaf lah… Aku jamin dia nggak akan seperti itu lagi.” Katanya meyakinkan.
“Oke. Aku minta maaf juga. Mungkin aku terlalu emosian. Tapi, aku kaget aja. Ada orang yang aku kira kamu, tapi ternyata bukan. Tapi dia mempunyai informasi sama seperti kamu. Hah… Entahlah. Bingung.”
“Nggak pa pa. Nggak usah bingung. Toh sekarang kamu juga udah tau dia sebenarnya siapa.”
“Belum bener-bener tau sebenarnya.”
“Yah…. Kapan-kapan kalau ada waktu___”
“Nggak. Makasih. Aku harus siap-siap mental kalau ketemu dia. Mungkin aku harus kasih pelajaran ke dia karena udah bohongin aku.” Kataku dengan tertawa yang dibuat-buat.
“Yah… Terserah kalau itu mau kamu. Nggak pa pa. Aku hanya sampaikan itu tadi aja. Nggak marah kan??”
“Emmm… Nggak kok. Tapi aku masih belum jelas.”
“Belum jelas yang bagian mana??” Katanya jengah.
“Kamu begitu dekat dengan dia kah? Sampai hal terkecil antara kita diketahui sama dia? Aku nggak yakin kalau kamu ternyata punya sifat curhat yang... Yah… bisa dibilang stadium 4. Kamu cerita sampai hal terkecil ke dia kalau tadi kamu janji makan kalau udah nyampe rumah? Sampai hal terkecil seperti itu? Heeii… Kalian cowok!!!” Kataku dengan kata-kata tak percaya disetiap kalimatnya.
“Gini… Itu juga yang mau aku jelasin ke kamu tadi. Tentunya anak pintar kayak kamu pasti bertanya-tanya donk ya. Yah… Kronologisnya seperti ini. Dia tadi udah ada dirumahku waktu aku pulang. Ya biasa, main lah dia ke rumah. Terus habis aku ganti baju, di masuk ke kamarku, sedangkan aku keluar buat makan. Dia tanya kenapa aku pulangnya agak maleman. Ya aku jelasin kalau aku habis nganter kamu. Terus aku makan. Dia tanya juga, kenapa aku masih makan dirumah, emangnya dirumah kamu nggak diajak makan? Ya aku jawab aja kalau udah kemaleman. Jadi aku makan dirumah. Aku juga bilang ke dia kalau aku janji ke kamu bakal makan kalau udah nyampe rumah. Mangkannya dia bisa ngomong seperti tadi. Jelas??”
Aku hanya mangap aja mendengar penuturannya.
“Sebagian. Tapi kenapa dia tadi nelfonnya pake HP kamu? Emangnya dia nggak punya HP?”
“Kan dia emang mau bohongin kamu dengan ngaku aku. Ya pastinya dia harus pake HP-ku kan? Lagian tadi juga waktu ganti baju, HP-ku tak taruh di kamar. Waktu aku keluar buat makan, aku lupa nggak bawa. Pas deh!”
Hemm.. Aku menghembuskan nafas putus asa dan terpojokkan.
“Emmm…. Oke. Dia emang jail.”
“Ya… Bukan jail sih sebenarnya. Cuma dia udah biasa aja dirumahku. Dia emang teman terbaikku. Udah bisa dibilang kayak saudara kembar gitu lah. Kemana-mana hampir selalu bersama____”
“Oh iya….!!!” Kataku mengagetkan seperti ada petir mendadak menyambar kepalaku.
“Apa??” Kata Hasan khawatir. Seakan mendadak mendengar bahwa besok kiamat. Aku bisa membayangkan wajahnya yang ketakutan itu.
“Apa dia anak Paskib juga??” Kataku lambat-lambat.
“Bukan. Dia bukan anak Paskib. Tapi dia dari dulu selalu suka Paskib. Dia tau kamu juga waktu GELEGAR kemarin. Mangkannya dia tau banyak tentang kamu. Termasuk kamu jadi CAPAS sekarang juga dia masih sering tanya tentang kamu.” Katanya dengan nada tenang kembali.
“Tanya tentang aku? Buat apa??” Kataku heran.
“Entahlah… Dia senang aja liat kamu. Kata dia, kamu menarik.”
Ha??? Aku nggak bisa percaya ini. Bagaimana mungkin?? Aku kenal dia aja, kagak. Bagaimana dia bisa menganggap aku begitu menarik bagi dia? Bukankah dia hanya tau aku satu kali? Waktu GELEGAR kemarin kata Hasan.
Dan setahuku juga aku nggak pernah liat Hasan bersama orang lain yang sekiranya sesuai dengan kriteria si SRB ini. Oh… Aku nggak habis pikir. Kenapa jadi aneh gini sih... Aku tertarik pada Hasan. Aku suka dia. Tapi kenapa yang suka aku malah temennya??
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments