Dan sepertinya Hasan mengerti fikiranku. Dia dapat membacanya…
“Aku hanya memastikan kalau tidak ada lagi bantuan yang sekiranya dapat kamu gunakan. Ayo… Kamu nggak mau maghrib kita masih di tengah jalan kan??” Dan dia pun menyalakan motornya. Tidak memberikan sedikitpun kesempatan untuk aku mengajukan sanggahan atas tindakannya tersebut. Maka aku pun segera naik di tempat duduk dibelakangnya.
Ketika di jalan, aku tak henti-hentinya berfikir jika aku bisa berboncengan dengan orang yang sudah memborgol pandanganku ketika aku mengikuti GELEGAR dulu. Dan orang yang sempat aku benci setengah mati karena berniat mengalahkan sekolahku secara pribadi saat GELEGAR dulu, yang sampai sekarang aku masih tak tahu dia berniat mengalahkan lewat segi apa, tapi dari pertemuan singkatku dengan dia saat GELEGAR itu yang juga membuat aku mulai berfikiran terus tentang dia.
Tiga minggu penuh aku terus bermimpi tentang dia. Entah itu seperti aku terbawa kembali ke GELEGAR, aku hanya berdua dengan dia, ataupun aku hanya berpandangan dengan dia. Dan saat itu adalah saat yang paling tidak menyenangkan dalam hidupku, karena mimpiku harus terkontaminasi oleh seseorang yang sama sekali tidak aku kenal. Baru sekitar satu bulan sebelum CAPASKA ini berlangsung aku bisa sedikit terbebas dari mimpi menyesakkan itu. Tapi aku kembali harus bergaul dengan dia seperti ini. Dan sampai sekarangpun----
“Nindy… Nin… Nindy… NINDY!!!”
“Eh… Iya, apa San?” Tanyaku tergopoh-gopoh kembali dari dunia lamunanku.
“Dari Bundaran Sumobito itu terus kemana nanti?” Tanyanya. Padahal Bundaran Sumobito masih jauh…
“Oh… Masih jauh San dari Bundaran itu. Nanti masih ke utara, terus ke timur…”
“Oh, yaudah deh. Nanti tunjukkan sambil jalan aja…” Dan dia menambah kecepatan motornya. Aku sempat tersentak ke belakang, tapi dia seakan mengerti dengan kondisiku.
“Nggak takut dibonceng kenceng kan?”
“Emmm… Aku harus memastikan dulu orang yang bonceng kenceng itu benar-benar menguasai medannya dan berlisensi apa nggak.”
“Hahaha… Mengerti medan dan berlisensi itu nggak cukup, Nindy. Yang terpenting adalah dia dapat mengendalikan motor itu dengan baik. Kamu nggak perlu takut, karena aku juga Joki. Jadi tenang aja ya, nggak bakal jatuh kok. Udah ahli. Hehehe...” Kekehnya.
Dan aku shock mendengar penuturannya itu. Seakan jantungku berhenti berdetak. Joki??
“Joki?” Tanyaku kepadanya.
“Iya… Tapi nggak usah diperpanjang lah hal itu. Mungkin kamu juga gak bakal ngerti.” Dan dia memotong pembicaraan ini.
“Kenapa aku harus berurusan lagi dengan orang semacam ini??” Gumamku dengan wajah kecut. Dan dia mendengarnya.
“Apa??”
“Oh… Nggak. Nggak pa pa.” Aku mangkir.
Dan dia pun melanjutkan mengemudi dengan kecepatan yang teratur. Membuat aku lama kelamaan bisa percaya jika dia tak mungkin membuatku jatuh. Bukan karena trauma pernah jatuh. Tapi karena aku memang ingin meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan dunia motor. Yah… Belum saatnya menceritakan hal ini. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri lagi.
Saat berada di lampu merah Kecamatan Peterongan, kira-kira masih 10 kilometer dari rumahku, Hasan kembali berkata kepadaku.
“Udah tahu apa aja yang harus dibawa hari Minggu??”
“Belum San. Tadi suara anak-anak yang protes kenceng banget, aku gak bisa denger jelas. Aku juga lagi bingung nyari tumpangan pulang tadi. Nanti rencana sih mau tanya Ridan atau Desi kali aja tadi denger apa aja yang dibawa. Emang apa aja yang harus dibawa?”
“Kalau untuk cewek bawa helm kura-kura warna putih. Lebih sulit yang cowok, harus pake dicat item juga. Pasti panas ini nanti. Terus ceweknya bawa rok hula-hula, yang cowok bawa sarung. Sama jangan lupa di bagian depan helmnya itu nanti ditempelin stiker Merah Putih. Aku nggak tahu beli dimana stiker itu. Kalaupun pesan juga uda telat. Ini dipake lusa juga.”
“Hah? Stiker Merah Putih? Semacam stiker bendera gitu?”
“Ya iya pastinya. Bendera kita kan Merah Putih. Ah Nindy… Kamu kan anak Paskib. CAPASKA lagi. Masa nggak tahu bendera kita warna apa. Nge-blank ya? Nggak usah sungkan sama aku. Biasa aja…” Dia pun menoleh kearahku. Tapi aku hanya menatapnya tajam. Kemudian dia melanjutkan pandangan kedepan dan berkata.
“Aku nggak tahu harus beli dimana ini.”
“Emang kamu pikir aku juga tahu apa… Tapi… Oh, mungkin ada disekitar rumahku. Soalnya tetanggaku jualan stiker-stiker gitu. Tapi sih setahuku nggak jualan stiker bendera. Aduh… Gimana ya ini? Ada nggak ya??”
“Hah… Nggak tahu deh. Pusing..” Katanya.
Dan lampu merah pun memberhentikan kami tepat dibeberapa gerombolan anak-anak SMK yang agak brutal. Yang kelihatannya habis dari jalan-jalan seharian sepulang sekolah. Tampang mereka berandal. Ada beberapa cewek juga disana. Tapi aku nggak sebegitu faham. Karena mereka ramai dengan sendirinya disampingku. Maka aku pun tak menghiraukan mereka. Aku trauma dengan seseorang yang punya prinsip hidup “Warr Werr Worr… Yang penting happy!!” Dan prinsip itu yang digunakan beberapa anak-anak nakal ini kelihatannya.
“Aku coba carikan aja nanti ya!” Aku kembali fokus ke Hasan. Ke tugas-tugas CAPASKA ku.
“Apa? Aku nggak dengar…” Kata Hasan. Maka aku pun semakin mendekat. Tubuhku menempel ke tas punggungnya. Untung ada ini. Kalau tidak…
“Aku coba carikan dulu stikernya tadi, Hasan.” Kataku disebelah telinganya.
“Kamu mau nyarikan juga buatku Nin?”
“Iya… Nanti aku carikan juga. Tapi nggak terpatok ukurannya berapa kan?” Tanyaku gusar karena memang kebiasaan dari tugas-tugas Paskibra adalah mengedepankan kekompakan. Dan tak ketinggalan seperti ukuran yang harus sama pada tugas apapun yang dibawa.
“Kata Mbak Zilda tadi sih ukurannya 3x3 cm.”
“Aduh… Pakai ukuran lagi… Mana ada stiker sekecil itu di toko. Ya udah deh nanti aku cari dulu.” Jawabku tak janji. Karena mencari seperti itu juga susah…
“Iya. Btw, awas nyerempet ya itunya.”
“Apa?” Aku takut dan mulai melihat sekitar.
“Kita dekat lho. Awas nyerempet itu ‘adek’nya. Nanti nyalahin aku lagi…” Katanya sambil menahan tawa.
“Adek???” Fikiranku lambat untuk tahu apa yang dia maksud. Setelah beberapa saat aku memikirkannya, aku melihat ke bawah kearah ‘sesuatu di dadaku’ yang kini menempel ditasnya, aku pun tahu, dan ku keplak kepalanya tanpa ampun. Untung aja dia pakai helm. Kalau tidak, mungkin sudah habis dia. Dan kita pun tertawa bersama.
Saat berbincang dan bercanda seperti tadi, diluar sepengetahuan kami bahwa ada sepasang mata mengawasi perbincangan kami yang sepertinya begitu dekat dan asyik, karena kami memang berbicara dalam jarak yang cukup dekat. Dihalangi oleh bunyi motor ataupun mobil disekitar kami yang sama-sama menunggu kapan lampu merah ini menjadi hijau kembali. Dan mata itu tetap mengawasi. Semakin menyeluruh pandangannya, berawal dari wajahku, yang sepertinya dia mengenaliku, kemudian turun ke bawahan ke PDL-nya Hasan, yang memang saat itu dia menunggu lampu merah dengan bersandar pada kaki kirinya, yang kebetulan juga dia menggunakan PDL yang kami peroleh dari Kabupaten. Tertulis vertikal di tengah PDL berwarna merah dan putih itu tulisan “CAPASKA 2011”. Sang pemilik mata itu mengangguk-angguk, kemudian meneruskan pandangan ke arah tulisan motor Hasan. CBR 150 CC. Mata itu menyipit dan berubah merah bengis. Dan sebelum dia sempat melihat lebih jauh lagi, lampu lalu lintas yang menghalangi kami pun berganti warna menjadi hijau, kemudian aku dan Hasan melanjutkan perjalanan kembali.
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments