Minggu demi minggu berlalu. Pembelajaran demi pembelajaran terlalui. Mulai dari PBB yang sekarang sudah mulai sama antara CAPASKA-CAPASKA ini, dan dari kekompakan mereka juga. Karena memang rata-rata PBB setiap sekolah berbeda. Ada yang memakai cara Jombang-an, ada yang memakai cara Surabaya-an. Intinya sama saja. Hanya terletak di keindahan yang sering disebut dengan Kreasi.
Dan sekarang cara PBB kami, karena memang sudah dilatih oleh para Angkatan Darat, maka PBB kami kembali ke murni. Tapi untuk Jalan, atau Langkah Tegap, kami menggunakan cara gabungan antara Jombang-an dengan Surabaya-an. Awal langkah kami menggunakan Jombang-an, seperti yang sudah diajarkan oleh bapak-bapak TNI itu, tapi selanjutnya untuk kenyamanan langkah teman-teman menggunakan cara Surabaya-an. Karena memang lebih santai dan lebih menunjukkan “inilah Paskib-nya”… Dan tanpa dikomando pun teman-teman sudah memilih hal yang sama. Sebenarnya itu semua hanya sebutan kami saja sih. Kami mengenalnya dengan teknik kami sendiri atau cara Jombang-an, sedangkan teknik lain yaitu teknik yang sudah sering kami lihat di lomba-lomba atau di televisi, yaitu teknik Surabaya-an. Hanya sebatas penyebutan istilah saja.
Dari mulai materi lapangan dan segala tentang ***** bengeknya itu, kami juga mendapat materi ruangan mulai dari etika, sejarah Paskibra, tentang Buku Biru (sebutan teman-teman sendiri untuk buku yang membeberkan tentang PBB murni, sejarah kenegaraan dan pengetahuan tentang Bendera, yang memang bersampul Biru).
Minggu demi minggu terlalui. Satu sama lain dari kami sudah mulai dekat. Dan memang inilah yang dibutuhkan dalam Paskibra itu sendiri. Kebersamaan, kekeluargaan, yang sanggup membawa suatu organisasi menjadi lebih baik. Kita merasakan bahagia bersama, sedih bersama, panas hujan bersama. Kita juga sudah mulai mengenal silsilah keluarga satu sama lain. Yang adalah sangat penting dalam hal kedekatan kami. Tidak hanya itu, sudah mulai tampak perbedaan sikap dari CAPASKA asal sekolah-sekolah yang terdapat di kota, yang notabene biasanya agak menunjukkan perbedaan ‘level’. Tapi disaat sudah mulai berjalan pembelajaran satu bulan ini, semuanya tampak baik-baik saja. Tak ada yang mempertahankan sifat kebanyakan mereka.
“Huh… Capek!!” Kataku saat duduk disamping Diomira, CAPASKA asal SMAN Ngoro.
“Iya… Cuacanya nggak kayak biasanya. Lebih panas.”
Dan disaat yang sama Diomira berkata begitu, Ridan dan Hasan yang sekarang ajaib sekali menjadi sahabat karib, berjalan ke arahku dan Diomira dengan membawa sebotol minuman isotonik.
“Mau Nin??” Kata Hasan sambil menawarkan minuman itu ke arahku.
“Ya… Gitu. Pinter ya San, yang ditawari Nindy mulu. Padahal aku juga cukup terlihat disini. Aku nggak kecil-kecil amat jadi anak kan??” Sembur Diomira yang tak terima kalau yang ditawari Hasan hanya aku.
“Hehehe…” Hasan hanya terkekeh. “Nanti aja kalau sudah Nindy ya…”
“Maksudnya?? Sisa gitu?? Enak aja… Mending beli sendiri!!”
“Ya udah… Silahkan.” Kata Ridan yang menyahuti juga dengan terkekeh.
“Tapi punya kamu masih utuh kan Dan?? Belum kamu minum??”
“Eh Mira, kalau nggak mau berbagi ya udah. Beli aja sana sendiri.” Kata Ridan judes. Dan Diomira pun senyam senyum sendiri merasa malu.
“Ini Nin…” Kembali Hasan menawariku.
“Udah kok San, aku dah minum tadi. Kamu minum aja sendiri.” Kataku menolaknya secara halus sambil tersenyum. Heran aja kalau dia ternyata bisa baik juga ke aku.
“Aku juga udah kok.” Katanya. Dia sepertinya semakin hari semakin bisa menerima kekalahannya dahulu. Dan tidak mempermasalahkan sedikitpun tentang itu. Sekarang dia hadir dengan persepsi yang dia tanamkan lain kepadaku. Dia baik, semakin memukauku, dan aku semakin mengagumi apa yang membuatku tertarik dulu, mata indahnya.
“Eh iya, ngomong-ngomong, kapan ya kita pembagian pasukan? Jelasnya ada tes dulu kan?” Kata Ridan memecah lamunanku tentang Hasan.
“Emm…. Seharusnya sudah mulai dalam minggu-minggu ini. Soalnya kita juga belum persiapan MORPAS dan Karantina kan..” Sahut Diomira.
Belum selesai kita membicarakan rencana tersebut, sudah terdengar pengambil-alihan pasukan oleh salah satu senior kami, yang waktu itu terdengar dari suaranya yang khas, adalah Bang Great. Yah… Great. Nama yang aneh!
“Untuk CAPASKA 2011, pimpinan saya ambil alih. Siap Grak!”
Dan serentak seluruh CAPASKA ini berlarian ke tengah lapangan PPI itu untuk membentuk barisan yang sudah diatur berdasarkan ketinggian. Setelah kami Dilencang-Kanankan, Bang Defian, Ketua Panitia dari CAPASKA 2011 ini keluar dari ruangan dalam dengan membawa selembar kertas.
Setelah kami mendapat komando untuk Istirahat-Ditempat, Bang Defian berkata.
“Sehubungan dengan jadwal yang sudah disusun oleh Panitia, agenda kita selanjutnya adalah Pemilihan Pasukan. Yang kami harap dapat segera dilaksanakan karena waktu juga semakin mendekati hari-H. Panitia merencanakan pemilihan ini minggu depan. Tapi kami tidak bisa menjelaskan dengan pasti tepatnya hari apa, karena diharapkan kalian dapat selalu siap. Jadi kami hanya berharap kalian dapat mempersiapkan fisik dan mental kalian dalam minggu-minggu ini. Ada yang dipertanyakan?” Tanya Bang Defian ketika mengakhiri penjelasannya.
Setelah tidak ada yang mengajukan pertanyaan atau interupsi, Bang Defian melanjutkan.
“Ya sudah jika tidak ada yang dipertanyakan, akan dilanjutkan oleh Mbak Zilda untuk keperluan hari Minggu besok.”
Dan menit-menit selanjutnya adalah menit-menit yang sangat tidak mengenakkan karena barang-barang yang harus kami bawa hari Minggu besok. Aku sempat mendengar helm kura-kura, rok hula-hula, dan perbekalan makan dengan kata sandi yang harus dipecahkan dulu supaya bisa mengetahui maksudnya. Aku pusing memikirkan ini. Karena aku baru ingat jika aku sendirian dirumah selama 3 hari ini. Karena Mama dan Ayah pergi ke Manado untuk beberapa urusan dengan keluargaku yang disana. Itu berarti aku harus berdua saja dengan Nenek yang pasti akan ada dirumahku saat aku sendirian dirumah. Dan sialnya adalah Nenek itu terlalu protektif ke aku. Jadi pasti tak akan diperbolehkan aku keluar mencari semua perbekalan ini.
“Hari Minggu besok diharapkan datang tepat waktu karena hari itu adalah terakhir kalinya kita latihan PBB bersama. Dan jangan lupa nanti bawa Buku Merah Putih Ruangan. Karena nanti kita akan melanjutkan materi. Baiklah, sampai sini ada yang ditanyakan?” Kata Mbak Zilda setelah memberi intruksi tadi. Dan kembali kami terdiam. Akhirnya salah satu dari kami menjawab jika tidak ada yang dipertanyakan dan setelah itu kami dibariskan kembali dan dipersilahkan pulang.
“Aduh… Mas Okta kemana sih??” Tanyaku pada diri sendiri sambil terus menelfonnya. Sampai tanpa aku sadari Hasan mendekatiku dengan menaiki motornya.
“Kenapa nggak pulang Nin?” Tanyanya sambil mematikan motornya.
“Masku belum jemput nih… Nggak tau kemana aja dia. Ini nggak diangkat telfonnya.” Jawabku gusar.
“Emm…” Gumamnya sambil memarkirkan motornya kembali dan menghampiriku.
“Emangnya kamu punya kakak?” Tanyanya santai disampingku.
“Bukan, ini bukan kakak kandungku kok. Sebenarnya dia pamanku, tapi dia masih muda, jadi aku panggil Mas aja.” Jawabku masih dengan wajah yang tak dapat santai. Sambil terus menelfon Mas Okta, Hasan kembali bertanya.
“Emangnya tadi nggak dibilangin kalau pulangnya mungkin jam segini?”
“Udah tadi. Tapi kayaknya dia ada kuliah sore deh…”
“Wah… Kuliah sore? Berarti pulangnya lumayan malam donk?” Tanyanya.
“Iya… Biasanya dia kalau ada kuliah sore pulangnya sekitar jam delapan malam. Terus muter-muter dulu biasanya.”
“Ha?? Jam delapan malam?? Kamu nggak mungkin mau nunggu disini sampe jam segitu kan??” Tanyanya mulai ikutan gusar.
“Nggak tau juga. Tapi kalau emang nggak ada yang jemput ya terpaksa nunggu Mas Okta aja. Kendaraan umum ke arah Sumobito malem-malem begini nggak bakal ada.”
“Emm…” Jawabnya santai kembali. Aku mulai membatin, kalau dia tak ingin mengantarku pulang, lebih baik nggak usah menanyaiku macam-macam deh. Aku sudah mulai takut disini. Aku harus mencari tumpangan pulang secepat aku bisa. Tapi kalau dia masih disini, bagaimana aku bisa kabur? Dia seakan merantaiku untuk tidak kemana-mana.
“Emangnya Ayah kamu nggak jemput?” Tanyanya masih dengan lagak yang santai.
“Ayah sama Mama lagi di Manado.”
“Oh… Bang Abbas nggak ikut kesini hari ini?” Tanyanya tentang Bang Abbas PASKAB 2010 yang juga menjadi Panitia CAPASKA 2011 ini, yang kebetulan juga kakak kelasku di SMA Negeri 1 Karunia dan rumahnya juga tidak seberapa jauh dari rumahku.
“Enggak. Bang Abbas nggak bisa dateng soalnya di rumahnya ada hajatan sekarang.” Jawabku.
“Ridan??” Oh My God… Dia masih sempat-sempatnya tanya macam-macam. Padahal ini waktunya juga sudah mendekati maghrib. Tapi masih saja aku jawab dengan sabar.
“Ridan udah pulang dari tadi Hasan, dan kalau kamu nggak bawa perubahan dalam usahaku mencari tumpangan gini, lebih baik kamu pulang aja sekarang. Aku mau cari tumpangan siapapun yang kearah Sumobito!” Jawabku judes.
“Nyari tumpangan? Buat apa? Kan udah ada aku. Emang kamu pikir aku disini dari tadi nanyai kamu macam-macam nggak berniat buat bantu kamu juga apa? Ayo keburu malam…” Dan dia pun sudah berdiri dan menuju ke motor balapnya.
Aku berfikir kalau anak ini sudah gila. Terus untuk apa dari tadi nanyai aku macem-macem kalau pada akhirnya dia juga bantu aku? Oh… Malah ini juga sudah malam… Tapi aku masih tidak bergerak di tempatku. Masih dengan pandangan yang menyiratkan jengkel bercampur rasa tak percaya yang memuncak…
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments