Saat itu kami mengikuti lomba PBB Dasar, Kreasi dan Formasi Paskibra SMA-SMK se-derajat tingkat Jawa Timur yang diselenggarakan oleh SMAN 2 Jombang, GELEGAR (Gerak Langkah Kreativitas Generasi Paskibra), yang bertempat di GOR (Gedung Olah Raga) Jombang. Dan apa hubunganku dengan dia???
Dia adalah Danton (Komandan Pleton) dari pasukan Paskibra SMAnya, SMAN 1 Prapanca Jombang. Dan SMA tersebut adalah rival Battle PBB Kreasi kami.
Dari awal kami menginjakkan kaki di halaman depan GOR Jombang, pundak kami terasa kaku oleh beban tanggung jawab yang kami emban. Semua orang menasehati kami bahwa menang adalah bukan segalanya. Tapi tunjukkanlah penampilan yang terbaik. Dan kami tidak hanya punya pemikiran sampai disitu. Kami harus menang untuk membuktikan kepada semua orang yang ikut maupun tidak ikut berkecimpung dalam dunia Paskibra kami bahwa kami mampu membawa nama Paskibra SMAN 1 Karunia (PRASAKA JAYA) menjadi yang terdepan.
Dan kami pun melenggang maju dengan hati yang dipaksa mantap. Melewati meja absensi, pemeriksaan tas, dan stempel anggota badan. Kemudian kami menaiki tangga tribun peserta dengan hati dag dig dug tak karuan. Sesampainya diatas, kami juga sudah melihat banyak peserta lain dari SMA-SMA baik dari dalam kota ataupun luar kota. Aku tercenung melihat mereka begitu optimis dalam menghadapi apa yang ada di depan mereka saat ini. Sangat berbeda jauh dari diriku sekarang. Menanggung beban nama baik banyak orang. Dan saat ini aku semakin pucat melihat wajah-wajah mereka, benar-benar aku tak layak diperhatikan jika mereka memperhatikanku sekarang, karena aku sendiri tak dapat tidur semalaman.
Kami menempati tribun kami dengan sangat tidak percaya diri, sedikit salah tingkah, walaupun kenyataannya tak ada yang memperhatikan siswa-siswi anggota Paskibra sekolah pinggiran seperti kami. Aku memilih duduk 2 tingkat dari bawah, melepas tas, duduk tenang, membaca sholawat dan terus mengingat apa saja aba-aba yang harus aku berikan saat kami berlaga nanti. Karena aku adalah Danton-nya, maka aku adalah sentral dari semuanya. Sukses atau tidaknya, sedikit lebih banyak tergantung dari aku. Aku sempat pusing mendadak memikirkan hal ini.
Beberapa menit kemudian, kawanan rival kami, Paskibra SMAN 1 Prapanca datang. Mereka melangkah mantap seperti pasukan Rasulullah berangkat perang. Mereka menempati bagian tribun sebelah kanan kami, karena mereka memang mendapat urutan tampil nomer 4 dari 32 peserta SMA se-Jatim.
“Yang mau ke kamar mandi mendingan sekarang aja. Sebelum nanti Upacara Pembukaan!” Seru Mas Fariz Pelatih Paskibra kami sekarang.
Dan mendadak bagai tersengat listrik di bagian perut bawahku, aku pun merasakan sensasi itu. Begitu menyesakkan.
“Eee… Rin, ikut aku ke kamar mandi yuk! Aku kebelet pipis nih…” Ajakku pada temanku Rina.
“Iya deh Nin, aku juga kebelet pipis!” Kata Rina. Dan kami pun izin ke Maz Fariz untuk turun ke kamar mandi.
Tapi agaknya jalanan tribun tidak bisa diajak kompromi. Banyak peserta yang masih sliwar-sliwer tak karuan. Ada yang baru datang, ada yang entah kemana, ada juga yang sejalan dengan kami, ke kamar mandi. Di tangga utama apalagi… Hanya satu per satu anak tangga kami bisa turun dengan jarak waktu yang cukup lama. Padahal rasa kebelet kami seakan sudah sampai ke ubun-ubun. Satu pelajaran penting kalau kalian suka nervous jadi orang, jangan pernah melupakan rasa pengen pipis, karena kalau kalian sudah ingat panggilan alam itu muncul, rasa itu bisa mencekikmu sampai ke ubun-ubun.
Dan di tangga utama inilah, awal dari semua hal terjadi. Aku turun, dan dia naik. Entah karena sebab apa dia memandang nomer dadaku seperti itu, yang memang waktu itu aku tempatkan di dada sebelah kiri. Dan pandangan itu serentak ke atas ke arah mataku. Lama. Dan memang diuntungkan oleh kepadatan orang-orang yang lewat disekitar kami. Pandangan itu hangat, indah, menyentuh, dan yang paling membuatku tak tahan adalah seperti mengulitiku. Padahal hanya sebatas lewat mata. Tapi seakan sedikit celah hatiku terbuka karena melihat makhluk semenarik dia. Dia mempunyai postur yang lumayan. Dengan tinggi sekitar 175 cm atau lebih, badan ideal, kulit sewarna madu yang seksi, dan mata indahnya, mendukung penampilan dia yang juga seorang Danton. Tapi aku tak sempat melihat dia nomer urut berapa, karena dia kelihatannya sengaja membalik nomer dadanya tersebut. Semoga saja bukan nomer 4, do’aku dalam hati. Kalau misal dia nomer 4, maka dia adalah rivalku.
Pandangan itu kuakhiri duluan karena jarak kami juga sudah lumayan jauh. Terasa aneh kalau kami terus saling pandang. Dan bagai tersengat listrik lagi di daerah perut bawahku, sensasi itu kembali ada. Akupun mencekeramnya dan sambil menggandeng tangan Rina, dia pun ku ajak berlari ke kamar mandi.
“Gimana, puas mbak???” Canda Anggis, salah satu temanku.
“Huh… Berjubel banget di tangga. Kayak antri BLT!” Sahutku. Dan akupun kembali duduk di tempat dudukku tadi. Terasa lega karena sensasi menyesakkan itu sudah hilang. Ganti sekarang kembali berkosentrasi ke aba-aba dan terus membaca shalawat.
Tapi tak lama kemudian kudengar suara-suara yang seakan dekat banget di telingaku. Ku biarkan saja karena memang kami dengan sekolah-sekolah lain hanya dipisahkan oleh tali rafia. Aku toleh ke arah teman-temanku. Mereka semua diam. Hanya OT (Official Team) kami yang berbincang dengan Mas Fariz. Dan itupun dengan sangat perlahan, bahkan aku tak mendengarnya. Lalu siapa yang ngomong seenak udelnya sendiri ini?
Lamat-lamat kudengarkan pembicaraan mereka.
“Gimana perkembangan paskib sekolah kamu Do?” Kata salah satu suara yang lumayan enak didengar.
“Biasa-biasa aja San. Gak ada perkembangan yang berarti. Kalau kamu sendiri gimana?” Sahut satunya.
“Emm… Sama sih sebenarnya. Cuma kami berusaha agar apapun yang ada di depan kami dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Termasuk event GELEGAR ini. Soalnya kapan lagi kami bisa unjuk gigi seperti ini. Tapi…”
“Tapi apa???”
“Rival kami nggak sepadan. Gimanapun kami berusaha buat bisa mengungguli mereka, tetap aja kami pesimis. Kayaknya mereka mendobrak kali ini.” Kata suara yang lebih enak didengar tersebut.
“Emang siapa rival kalian??” Tanya salah satunya.
“Tuh…” Si suara lumayan menunjuk. Tapi aku tak berani menoleh ke arah yang ditunjuk oleh dia. Karena dengan aku menoleh, maka akan terbongkar kedokku sebagai penguping. Maka akupun tetap mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan.
“Hahahaha….. Mereka??? Beneran San??? Kok aku nggak tahu ya kalau mereka lawanmu? Berarti kamu nomer urut 4??”
“Iya… Nih!!” Dan si suara lumayan tersebut seakan menunjukkan sesuatu ke satunya. Entah apa yang ditunjukkannya tersebut karena aku juga nggak mungkin menoleh ke arah mereka hanya untuk pengen tahu apa yang ditunjukkannya.
Tapi… Aku jadi berfikir, berarti si suara merdu tersebut adalah salah satu dari anggota Paskibra SMAN 1 Prapanca yang sekarang berada di sebelah kananku. Tapi yang satu ini melesat sendiri seakan tak perlu berdo’a di tempat duduknya sendiri, malah harus berkunjung ke tribun peserta dari SMA PGRI 2 Jombang yang berada di sebelah kiriku. Terus kuperhatikan saja apa perbincangan mereka.
“ Hahaha… Yang sabar aja ya… !!!” Komentar satunya.
“Yahh… Kamu jangan gitu dong Do. Kami kan udah berusaha keras banget buat nunjukin yang terbaik. Kami gak mau dong kalau keringat kami diinjak-injak sama mereka. Aku sendiri sih nggak peduli mereka siapa, punya reputasi apa, punya prestasi apa, atau bentuk formasi pasukan yang gimana. Mereka tetap rival kami. Dan kami harus lebih baik dari mereka.” Sembur si suara merdu dengan semangat yang berapi-api.
“Hahaha… Oke Hasan… Aku ngerti gimana semangat kamu bawa nama SMA kamu dan Paskibra Sekolah kamu. Tapi liat mereka juga San. Mereka itu kuda hitam. Kapanpun mereka bisa mendobrak kalau mereka mau.” Kata yang satunya dengan suara polos dan tidak dibuat-buat.
Aku jadi berfikir lagi, apakah yang dimaksud si suara merdu itu adalah SMA ku. Karena tadi dia menunjuk sesuatu yang sekiranya adalah tempat SMA ku, dibuktikan dengan dia mendapat nomer urut 4. Berarti memang yang dimaksud kuda hitam oleh yang satunya adalah SMA ku. Tapi… Ah… Itu nggak mungkin. SMA ku nggak mungkin sampai dipertaruhkan menjadi kuda hitam seperti itu. Biasanya malah tak pernah terfikirkan oleh kalangan SMA-SMA kota.
“Udah lah San… Dijalani aja dulu. Soal menang nggak menang itu urusan belakangan. Yang penting kita bisa tunjukkan yang terbaik yang udah kita siapkan selama ini.” Kata yang satunya.
“Tapi aku nggak puas kalau nggak bisa kalahkan mereka. Paling nggak suporterku bisa berteriak mengejek lah. Kan jarang-jarang kita bisa buat malu SMA Karunia! Hahaha…”
Dan darahku berdesir mendengar nama itu. Tuh kan… Aku serentak tegak dan menoleh ke arah mereka. Ternyata mereka memang duduk tidak jauh dariku. Hanya berjarak 1 tingkat dan sedikit lebih ke kiriku. Kuperhatikan si suara lumayan yang ngomong terakhir tersebut. Dan dia pun juga memandang ke arahku. Dan ternyata dia adalah si mata indah. Seseorang yang aku temui di tangga tadi. Aku tak menyangka jika kami akhirnya bertemu lagi. Dan yang paling membuatku tak percaya adalah bahwa dia sedari tadi membicarakan aku dan kawan-kawanku. Dan berniat untuk membuat kami malu. Ku telusuri ke bawah ke arah nomer dada dia yang terpancang di sebelah kanan. Tercetak dalam kertas karton berwarna biru dan melingkar itu nomer 4. Aku sekejap menganga dan tak sanggup lagi berkata-kata. Ternyata dia…..
Aku kembali duduk dan mukaku merah seperti penggorengan panas.
“Ya Allah… Kenapa ini harus terjadi???”
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments