Sesampainya dirumah, aku disambut oleh pemandangan rumah yang sudah bersih dan indah. Kentara sekali Nenek sudah ikut campur tangan. Kemudian aku mengajak Hasan masuk. Dia pun mengikutiku dari belakang.
“Assalamu’alaikum…” Kata kami berdua serempak.
Di ruang tamu bergaya Barat yang sepertinya Hasan tidak ketahui, karena dia dengan gamblang melihat-lihat sekitar, bahkan sampai melongok ke atas, kami disambut oleh Nenek yang langsung memasang tampang galak.
“Wa’alaikumsalam. Siapa ini?” Tanyanya dengan pandangan menyelidik. Langsung ke pusat sasaran.
Kemudian tanpa dikomando, tangan Hasan terjulur untuk mengambil tangan Nenek dan menciumnya. Persis seperti orang yang menyatakan cinta.
“Saya Hasan Nek…”
“Dan kenapa kamu kemari?” Tanyanya masih dengan nada yang galak.
“Dia temen Nindy Nek. Dia yang nganterin Nindy pulang. Tadi Mas Okta masih ada kuliah sore soalnya. Kalau Nindy nunggu Mas Okta kemaleman. Nyatanya aja sekarang Mas Okta belum pulang kan…”
“Oohh… Kirain siapa..” Sahut Nenek. “Ya sudah kalau begitu ajak dia kebelakang. Ambilkan dia minum ya Nindy!”
“Iya Nek…”
Lalu kami pun menuju ruang tengah yang bergaya Jawa Klasik. Dengan kursi-kursi duduk dari kayu Jati asli. Hasan terkagum-kagum melihat interior rumahku.
“Maafin soal Nenekku ya. Orangnya emang gitu. Protektif. Tapi kalau tahu aku sama temanku, orangnya jadi lunak lagi kok.”
“Iya… Nggak pa pa lagi.” Dan dia melanjutkan melihat-lihat.
“Disini pasti cita rasanya Jawa banget…” Dia mengapresiasi seakan ruang tengahku ini makanan.
“Iya… Disini kami mengambil konsep Jawa Kuno. Tapi jadinya ya nggak kuno-kuno juga sih. Hanya ingin menyampaikan kesan Jawanya aja…”
“Emm… Bagus. Kalau ruang tamunya tadi konsepnya apa?”
“Konsep Uzbekistan dengan banyak modifikasi. Tak tahulah aku bagaimana Ayah mendekorasinya. Yang penting menurutku aku nyaman ya oke aja…”
“Hemm… Agak aneh. Tapi secara keseluruhan bagus sih. Seperti kita berada di banyak negara lain di bumi ini. Hehehe…”
“Ah kamu. Bisa aja. Ya udah. Ini bukan acara mengomentari rumah orang. Kamu istirahat dulu gih. Aku ambilkan minum.” Kataku seraya menyuruhnya duduk. Dan diapun duduk di sofa yang biasanya aku tempati. Sofa yang berbentuk 5 jari dengan telapak tangannya. Sangat nyaman duduk disitu. Seakan kita tak ingin beranjak…
“Gimana soal barang-barang bawaan kita nanti San?” Aku keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi gelas dan Jus Kiwi. Dan dia yang awalnya memandangi lukisan pointilisku terkaget-kaget saat aku tanya demikian.
“Eh… Apa? Bawaan ya? Emm… Ya tinggal stiker tadi sih yang sulit nyarinya. Tapi kamu juga harus buat rok hula-hula dari tali rafia.”
“Oh… Rok hula-hula. Kayaknya aku udah punya deh.” Kataku sambil meletakkan nampan tadi.
“Dapat dari mana?”
“Sisa Pengukuhan dulu. Masih ada. Tapi mungkin perlu dicuci lagi soalnya masih banyak sisa-sisa lumpurnya.”
“Oh… Iya ya. Kamu masih kelas dua.”
“Kamu udah kelas tiga ya San? Wah… Berarti aku seharusnya panggil kamu Mas donk? Kamu kan seniorku…”
“Hehehe… Ya nggak lah Nin. Biasa aja. Kan kita satu angkatan. Yaitu Paskibra Kabupaten 2011.” Katanya percaya diri.
“Belum. Kita masih Calon…”
“Hahaha… Iya sih.”
Dan kita pun bercanda bersama sampai waktu maghrib tiba.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Terdengar seruan untuk menyegerakan shalat dari masjid yang tak jauh dari rumahku.
“Eh, udah maghrib. Kamu ndang shalat gih.”
“He’em. Kamu juga kan?”
“Aku lagi libur San. Kamu shalat aja sendiri. Mushalanya sebelah dapur.”
“Oh.. Iya deh. Bentar ya. Kamar mandinya sebelah mana?”
“Kamar mandi luar ada di belakangnya dapur. Lurus aja dari sini.” Kataku sambil tersenyum.
“Oh, oke. Bentar ya..”
“Eh iya…” Kataku mengagetkan. Dan Hasan serentak menoleh. Takut aku akan mengucapkan kata-kata yang mungkin akan menyebabkan jantungnya berdetak keras.
“Kalau kamu gerah kamu bisa mandi sekalian.”
Dan wajahnya yang semula tegang menunggu apa yang akan aku sampaikan, kini menjadi sedikit rileks.
“Hehehe… Iya. Tenang aja. Kamu nggak panuan kan?” Katanya kembali dengan candaannya.
“Eh, enak aja. Ya enggak lah San. Ya udah ndang mandi sana…” Kataku sedikit mengusirnya.
“Eh iya…” Kataku yang kembali ingat kalau ada hal yang harus aku sampaikan lagi. Aku mengutuki diriku sendiri saat dia kembali menoleh dengan wajah yang lumayan ketakutan.
“Apa lagi??” Kali ini agak terlihat jengkel.
“Handuknya ada di gapstok sebelah kamar mandi. Yang warna pink…” Aku mengatakannya juga dengan tak kalah takutnya. Takut jika aku harus dipandangnya lagi dengan pandangan yang mampu membuatku gila tersebut. Tapi dia secepat kilat mengubah ekspresi wajahnya menjadi ceria kembali dan aku juga sedikit lebih rileks.
“Pakai handuk kamu? Yang bener aja?” Tanyanya dengan wajah tak percaya.
“Bukan handukku. Itu handuk khusus tamu. Lagian kalo handukku emang kenapa? Aku yakin kamu nggak panuan kok.” Dan aku pun tersenyum. Dibalas senyum dan anggukan kepala oleh dia, lalu dia pun berjalan menuju bordes rumahku yang lain yang aku tunjukkan tadi.
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments