“Siapa sih Dek? Kalau cuma ngganggu ngapain diladeni? Matiin aja…” Kata Mas Okta yang sedari tadi memperhatikan percakapanku.
“Ini nomernya Hasan Mas…”
“Ehmm… Oke deh Nin… Aku nggak bisa telfon lama-lama ya. Ini nomernya si Hasan pulsanya mau habis. Nanti aku disuruh beliin lagi. Pesennya Hasan cuma nanti hari Minggu, stikernya suruh bawa.”
“Emmm… Bentar-bentar. Katanya tadi dia udah dapat? Kamu gimana sih kalau ngomong. Yang bener donk!”
“Enggak. Aku cuma becanda aja kok tadi. Eh, udah dulu ya. Daa… Assalamu’alaikum.” Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telfonnya. Jadi aku menjawab salam tersebut tidak ke siapa-siapa, sambil menatap hampa ke arah Mas Okta yang sama-sama bertampang begonya sepertiku. Aku tak mengerti dengan semua ini.
“Hasan? Temen kamu yang tadi kan?” Tanya Mas Okta sambil tiduran dan makan kue coklat.
“Se-- Seharusnya gitu.”
“Kok seharusnya?”
“Habisnya nih tadi ngakunya bukan Hasan, Mas. Tapi suaranya mirip dia. Benci deh…” Kataku cemberut.
“Emmm…” Kata Mas Okta tanpa ekpresi. Entah dia mau ngomong ataukah hanya menikmati keenakan kue coklatnya saja. Aku nggak tahu. Kupandang saja dia. Dan dia melanjutkan.
“Biasanya suara orang di HP jadi berubah lho Dek… Siapa tahu emang bukan dia beneran.”
Ahh… Mas Okta memperburuk keadaan. Tak tahu kah dia kalau aku itu pengen yang barusan telfon aku beneran si Hasan? Tapi bagaimana aku tahu juga, aku tak tahu. Dan begitu juga dengan Mas Okta.
Tapi setidaknya dia bisa bilang untuk menentramkan hatiku jika orang misterius yang barusan nelfon aku adalah beneran Hasan. Hanya saja dia bohong. Sayangnya, Mas Okta tidak berkata seperti itu. Aku semakin cemberut saja. Dan Mas Okta menangkap ekspresiku.
“Udahlah, nggak usah dipermasalahin. Gitu aja kok…” Katanya seraya bangun dan berdiri di lantai. Selanjutnya membersihkan bajunya dari rontokan kue-kue coklat yang sudah dimakannya.
“Jadi belajar nggak?? Bab apa sih?”
“Trigonometri.” Kataku putus asa. “Tapi aku tetep nggak enak kalau dia bukan Hasan Mas.” Kataku masih membicarakan hal tadi. Kusadari sekarang betapa aku sangat keras kepala. Mas Okta menarik nafas panjang.
“Nggak enaknya kenapa? Urusan dia kan, dia bohongin kamu apa nggak. Kamu nggak ikut nanggung dosa kok…” Katanya sambil cekikikan.
“Bukan masalah dosa Mas. Tapi… Oh… Apa maksud dia coba?? Kenapa dia memberikan HP-nya ke SRB atau siapa tadi yang nelfon aku. Kenapa nggak dia aja sendiri yang ngomong?” Kataku berapi-api.
“Mungkin si Hasan lagi sibuk. Atau lagi ke kemar mandi. Dan dia ngasih HP-nya ke si SRB. Dan si SRB itu jail. Jadi dia nelfon kamu dan ngaku si Hasan.” Pertimbangan yang bagus. Tapi…
“Tapi, tadi si SRB itu bilang katanya Hasan kalau aku suruh bawa aja stikernya hari Minggu besok.” Kataku seraya mengingat-ingat apa saja yang tadi sudah dikatakan oleh SRB.
“Berarti dia udah ngerti tentang Hasan yang nitip stiker ke aku kan? Dan… Dan dia juga ngerti kalau aku Danton, Mas. Ngerti kalau aku rivalnya Hasan pas Gelegar kemarin. Nggak lucu kan semua ini? Siapa si SRB itu? Apa dia juga anak Paskib?” Tanyaku penuh selidik.
“Emmm… Ya tentunya aku juga nggak tahu Dek. Tapi kalau dari cerita kamu yang gitu sih, bisa aja si SRB ini deket sama si Hasan. Jadi Hasan cerita banyak ke dia. Tentang dia punya temen kamu, tentang stiker itu, ataukah tentang saat GELEGAR, jadi dia tahu semuanya. Termasuk dia juga mau bohongin kamu kan tadi?”
Aku mencerna setiap kata-kata Mas Okta. Tapi tetap saja semua ini tidak bisa aku terima. Entah kenapa ini sangat mengganggu pikiranku sekarang.
“Nggak harus jadi seorang Paskibra untuk mengerti bagaimana kehidupan, kebiasaan, dan etika mereka. Banyak temen kamu yang bukan anggota Paskibra kamu, tapi karena kalian deket, dia juga bisa aja dianggap jadi anak Paskib kan? Bahkan mengerti etika kalian. Kedekatan semacam itu, nggak terpungkiri bisa terjadi Dek.” Katanya masuk akal.
Mas Okta memang mengerti beberapa teman-temanku yang biasanya main ke rumah yang secara resmi bukan anggota Paskibra, tapi karena circle pertemanannya juga sama-sama kami, mereka mengerti seluk beluk tentang Paskibra juga.
“Iya, Mas. Aku ngerti.” Tapi dalam hati, aku tak benar-benar mengerti.
“Ya udah. Ayo kita belajar.” Katanya mengingatkan.
“Belum. Aku belum sepenuhnya mengerti. Oke, lupakan si SRB bukan anak Paskib. Terus, dia siapanya si Hasan kalau gitu?? Kedekatan mereka lucu kan?”
“Ya mana aku tahu lah. Kenal Hasan aja baru tadi. Ya mungkin semacam sepupu… Atau teman…” Katanya sambil tak acuh.
“Lancang banget si Hasan itu.” Kataku mengancam.
“Hemm... Mungkin nggak sepenuhnya bermaksud lancang. Tapi… Ya, dia hanya bangga punya teman kayak kamu. Jadi dia cerita...”
“Tapi nggak harus beritahu detail dia belum makan tadi disini kan? Dan nggak harus beritahu kalau dia udah makan karena tadi dia janji ke aku bakal makan kalau udah dirumah. Hal semacam itu bagi cowok bukan hal penting kan Mas? Walaupun dia dekatnya seperti saudara sendiri. Coba pikirkan. Iya kan??” Kataku tetap keras kepala.
“Emmm… Iya juga sih!!” Mas Okta mulai kelihatan ikut bingung. Atau pura-pura aja bingung?
“Nah… Jadi siapa dia? Si SRB itu….”
Mas Okta menggigit bibir. Ikut berfikir.
“Yang pastinya aku nggak tahu Dek. Dan nggak mau tahu.” Katanya kembali menghadap bukuku. Tak acuh. Mengisyaratkan agar aku melupakan saja semua ini.
“Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan mengurusi ini semua terlalu jauh. Anggap aja kamu banyak penggemarnya.” Katanya enteng sambil menyeringai.
“Dan… Satu pesenku. Jangan mengambil untung dari apapun yang dipercayakan kepada kita. Itu nggak baik. Apalagi harus sampai 100%. Belum PPN dan entah apa lagi tadi. Oh My God… Kamu belajar ke siapa ilmu perekonomian seperti itu Dek? Aku nggak akan percaya jika Mama sama Ayah kamu yang ngajarinya. Dan kalau itu temen-temen kamu yang ngajari, bilang ke mereka, nanti kalau mereka sudah punya usaha sendiri, usaha itu nggak bakal bertahan lama.”
Aku hanya menguap mendengar ceramah Mas Okta yang membosankan ini. Mentang-mentang dia kuliah jurusan Ekonomi Syariah. Entah apa maksudnya tadi, aku juga tak paham.
“Emang kamu pikir aku seperti itu apa? Hahaha… Aku hanya becanda Mas. Nggak mungkin lah aku mengambil untung sampai 100%. Hahaha.. Lucu.” Kataku tertawa sambil memegang perut.
“Ternyata kamu juga bisa dibohongi oleh hal yang mudah. Hahaha…” Kataku masih mengejek.
“Emmmm… Jadi bohong!! Oke. Apakah kamu masih bertanya-tanya kenapa SRB membohongi kamu dan kamu tidak terima diperlakukan seperti itu Dek??”
Aku hanya tersenyum kecut.
“Tapi dia yang bohong duluan!!” Kataku membela.
“Dan kamu ikut bohongi dia juga??”
“Habisnya aku sebel…”
“Hah… Oke. Oke. Aku bisa mengerti itu sifat kamu. Tapi entahlah si SRB.”
“Oh… Please. Hentikan berkata SRB seperti dia benar-benar ada. Dia itu Hasan Mas… Aku masih nggak percaya kalau dia bukan Hasan. Mas mungkin nggak tahu, Hasan itu aneh jadi orang. Jadi pasti akan sangat mudah bagi dia untuk berbohong.”
“Emmm… Whatever what you say. Kalau kamu nggak mau belajar nih pelajaran ya udah. Aku tak tidur aja.” Lalu dia pun menguap dan berbaring memunggungiku. Penutupan masalah yang sangat tidak mengenakkan. Tapi Mas Okta tak gampang untuk dibelokkan. Maka akupun menyerah saja.
“Oke. Oke. Kita belajar ini.” Kataku dengan cemberut dan dia dengan senyum kemenangannya kembali bangun dan mulai berceramah panjang lebar tentang Trigonometri dan seabrek ***** bengeknya itu. Aku sekali lagi menguap.
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments