Setelah mencoba mencari stiker Merah-Putih itu, dan ternyata ada, aku menghembuskan nafas lega dan segera mengambil sekotak kue coklat untuk dibawa serta belajar dirumah Nenek. Aku memasuki kamar Mas Okta tanpa mengetuk pintu dulu, karena mengetuk pintu bagiku juga tak ada gunanya untuk Mas Okta, toh juga dia tidak mungkin tidak menerimaku. Dia sendiri menginginkan ada teman sebenarnya.
“Mas…” Kataku seraya memasuki kamarnya dengan menenteng tas dan membawa kotak kue coklat tersebut.
Dia hanya menoleh kepadaku. Tetap asyik berkutat pada laptopnya.
“Jangan makan kue coklat dikamarku. Nanti banyak semutnya…” Katanya judes seperti biasa.
“Berarti kalau kue kacang boleh?” Kataku menggodanya.
“Tetep aja nggak boleh. Tetap mengandung semut kue-kue itu. Kamu nggak ikut bersihin kamarku gitu kok mau seenaknya makan dikamarku.” Katanya.
“Oh… Berarti butuhin pembantu buat bersihin kamar ya? Kasihan mbak Nina…”
“Dan apa maksud kamu mengatakan Mbak Nina?” Katanya. Dia sudah berbalik menghadapku yang sekarang sudah petangkringan diatas tempat tidurnya.
“Ya iya kan… Nanti kalau kalian udah nikah, pasti Mbak Nina kamu suruh bersihin kamar kamu yang berantakan ini. Aduh, kasihan… Cantik-cantik disuruh bersihin kamarnya pemalas kayak kamu.” Lalu aku pun melempar jaket yang tadi dia pakai saat kuliah. Jaket itu mengenai tengkuknya dan jatuh tak berdaya di kakinya. Tetap tidak dihiraukannya. Yang sekarang kembali berkutat dengan laptopnya.
Sudah kebal yang namanya Mas Okta kalau berhadapan dengan sikapku. Karena Mas Okta sangat sabar kepadaku, aku juga semakin suka menggoda dia. Tapi seberapa parahnya aku menggoda dan mengganggunya, dia tetap saja sabar. Atau mungkin karena dia sangat sayang kepadaku. Karena dia pernah bercerita jika ingin mempunyai adik cewek. Dan itu ada pada sosokku. Walaupun aku bukan adik kandungnya, (karena Nenek sudah terlalu tua untuk bisa melahirkan seorang anak lagi) maka Mas Okta pun menganggapku seperti adik kandungnya sendiri, walaupun kenyataannya aku adalah anak kakaknya. Dan kakaknya itu adalah Mamaku.
Dia adalah seorang yang paling dekat kedua setelah Mamaku. Semenjak aku SMA ini, Mama lebih sering ikut membantu bisnis Ayah. Dan semakin sering pula aku ditinggal. Maka temanku satu-satunya dirumah adalah Mas Okta. Karena Nenek juga sama sekali tidak enak untuk dijadikan sebagai teman ngobrol ataupun curhat yang asyik. Kalau aku sudah merasa perlu mendapat pencerahan batin, atau penjernihan otak jika sudah tak kuat menanggung masalah sampai berfikiran mau bunuh diri, baru mungkin aku berfikiran akan curhat ke Nenek. Dan aku yakin, Nenek akan mengeluarkan jurus mautnya. Menyebutkan satu per satu hadist yang berkaitan dengan itu. Dan pencerahannya itu membuat siapa saja bosan minta ampun. Untunglah, aku tak pernah mau berfikiran untuk menceritakan apapun kepada Nenek.
Walaupun saat seseorang yang juga aku sayang meninggalkanku tempo hari. Teman setiaku adalah Mas Okta. Dan terkadang Mama. Tapi kasih sayang mereka semua bisa membawa pengaruh positif ke aku. Ditambah dengan sumbangan semangat yang aku dapatkan dari teman-teman sekolahku ataupun dalam kegiatanku ikut Paskibra. Semua itu... Aku berdosa jika tidak bisa tersenyum kembali dihadapan mereka semua.
Aku kembali lagi ke dunia ini. Mencoba untuk menggoda Mas Okta lagi. Karena aku yakin dia tidak sedang belajar. Dia akan mendapat teror terus jika belajar jam segini. Dengan berondongan pertanyaan dan curhatanku sepanjang hari, dia yakin lebih baik belajar pagi saat aku sedang sekolah.
“Aaahh… Aku bilang Mbak Nina deh kalau nanti Mas mau jadiin dia pembantu.”
“Coba aja kalau berani.” Katanya menantang. Masih tetap berkutat pada laptopnya.
“Yakin? Oke. Aku punya nomernya Mbak Nina kok. Aku kemarin ngambil dari HP kamu Mas.” Dan aku mengeluarkan HPku dari kantong.
Dia berbalik memandangku.
“Kamu nyuri ya?” Katanya seraya beranjak dari tampat duduknya dan menghampiriku.
“Nggak kok Mas. Hanya mengambil tanpa izin. Hehehe…”
“Jangan dichat Nin, beneran!” Katanya serius mengingatkan.
“Asalkan kamu ngajarin aku PR ini.” Dan aku mengeluarkan buku Matematika dari tasku.
“Kamu nggak sedang sibuk kan?” Tanyaku lagi.
“Nggak kok.” Katanya dengan duduk disampingku dan mulai memakan kue yang tadi aku bawa.
Kemudian terdengar bunyi HPku berdering. Tertulis di layar HandPhone tersebut tulisan “Hasan-memanggil”. Aku terlonjak. Mas Okta menangkap ekspresiku dan tersenyum.
“Angkat aja!” Katanya sok bijaksana. Aku sebal melihat ekspresinya itu, tapi aku pun mengangkatnya juga.
“Hallo... Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam. Nindy?” Terdengar suara gagah itu dari seberang. Ternyata walaupun dipisahkan oleh HP, suara dia tetaplah mempesona. Aku menyadari jika dia memang layak untuk menjadi Best Danton tingkat Jawa Timur.
“Iya, ada apa San?” Kataku gugup.
“Nggak ada apa-apa. Aku hanya ngabarin kamu aja. Aku udah nyampe rumah. Udah selesai makan juga. Aku baik-baik aja kok…” Katanya ke-PD-an. Emangnya aku tanya dia gimana?? Buat sebel nih orang.
“Eh, PD banget kamu. Emangnya aku tanya kabar kamu gimana? Terserah kamu udah nyampe atau nggak, kamu pulang apa nggak, aku nggak peduli.” Kataku judes.
“Hehehe… Sewot banget sih neng. Santai aja kali. Toh kamu juga pasti khawatir kalau misalnya aku nggak pulang-pulang.” Katanya masih dengan ke-PD-an.
“Yee… Siapa juga. Kamu bukan siapa-siapaku kok. Ngapain aku harus khawatir ke kamu.” Kataku mulai naik darah.
“Eh, jangan salah. Gini-gini aku ngangenin lho…”
“Yeee…” Kataku sambil nyengir. Buang-buang waktu aja harus denger kata-kata PD-nya dia.
“Eh iya, gimana soal stikernya tadi?” Katanya mengganti topik.
“Udah dapet kok. Tapi jangan kaget ya, ongkosnya naik 100%, itu belum termasuk uang transport dan PPN. Totalnya ya sekitar 100.000 lah 1 stiker.”
“What??” Katanya keras sekali mengagetkanku.
“Eh monyet, kalau mau jadi Best Danton lagi nggak usah ditelingaku kali ya. Bisa budeg aku!!” Kataku seraya menjauhkan HP-ku dari telinga. “Kenapa? Nggak terima? Kamu sendiri yang bilang lho ya kalau stiker itu sulit nyarinya.” Kataku tetap tak mau kalah.
“Tapi ya nggak segitunya kali Nin.. Kamu korup kok banyak banget. Bilang-bilang lagi.”
“Ya harus gitu. Kenapa? Iri? Beli aja sendiri kalau nggak mau beli punyaku.”
“Ih, dasar kamu ya!! Tadi katanya kamu mau sekalian beliin aku. Kalau sekarang harus bayar 100 kali lipatnya gitu ya mending nggak. Lagian…” Katanya terputus.
“Apa?”
“Aku cuma bohongin kamu aja. Sebenarnya disini tuh banyak stiker gituan. Emang kamu pikir disini ndeso banget gitu ta, sampai yang namanya stiker gituan nggak ada? Cuma aku males aja buat nyarinya. Jadi aku nitip kamu. Untung kan kalau sekalian dibeliin…!”
Kepalaku memanas demi mendengar kata-katanya tersebut. Dasar orang arab gadungan nih ya… Nyebelin banget.
Mas Okta yang mengetahui jika ekspresiku semakin tidak mengenakkan, dia pun hanya membelai sedikit punggungku. Tak membawa perubahan apapun kepadaku.
Mungkin Mas Okta sudah paham percakapan kekanak-kanakan ini tidaklah penting baginya. Batin dia ‘Pada ngomong apa aja sih nih bocah..’ Dia hanya sambil santai membolak-balik halaman bukuku sambil memakan kue coklatku. Tak menggubrisku.
“Eh… Denger ya. Terserah kamu. Nggak ngefek kamu mau beli stikerku atau nggak. Aku nggak peduli. Yang jelas nggak ada kata gratis untuk kamu kalau tau kamu ternyata gini. Dasar pembohong. Tak tau diuntung.” Makiku.
“Bentar bentar… Apa kamu bilang? Aku mau membelinya? Aku nggak pernah tau kamu jadi penjual stiker dadakan tuh. Perasaan tadi kamu bilang mau beliin aku. Karena mau bantu aku. Jadi sekarang gini ya… Kamu berubah. Kamu yang bohong. Kita akhiri saja hubungan kita ini.” Katanya lagi-lagi ke-PD-an.
“Eeehhh…. Stop stop STOP!! Kamu bicara apaan sih? Sejak kapan aku pernah jadian sama kamu? Ha??” Mataku sudah membelalak pengen keluar dengan semua rasa sebel di dalam dada ini.
“Sejak tadi. Wahh… Nggak ngakui kamu ya!! Jahat.” Katanya tajam.
“Astaghfirullahaladzim. Ini salah orang ya? Ini beneran Hasan kan?” Kataku mulai khawatir.
“Hasan? Hasan siapa?” Katanya dengan suara berubah 180 derajat.
Lah, jadi ini siapa????
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments