Beberapa saat kemudian aku melihat Hasan keluar dari mushalaku dengan tampang yang sudah sedikit rapi. Habis mandi kelihatannya. Dalam hati harus kuakui kalau dia memang ganteng. Wajah padang pasirnya yang seksi dan badannya yang atletis semakin menguatkan pandangan matanya yang bisa membuat cewek manapun terdiam saking terpesonanya.
“Udah selesai shalatnya San?”
“He’em. Udah Nin… Eh… Nggak pa pa kan kalau aku mandi sama shalat disini?” Tanyanya dengan wajah yang lumayan bisa dibilang agak sungkan.
“Nggak pa pa kali. Anggap aja kayak rumah sendiri. Lagian juga kamu udah terlambat nanyain itu, kamu kan udah mandi sama sholat disini. Hehe...”
“Hahaha… Iya juga ya, tapi kan ini rumah orang tua kamu Nin… Bukan rumahku. Eh iya, orang tua kamu nggak pulang apa bentar lagi?” Tanyanya seraya duduk kembali disebelahku.
“Mereka pergi 3 hari. Bisa dibilang aku sendirian juga selama 3 hari ini…”
“Ooohh… Tapi kan ada Nenek kamu itu tadi…”
“Iya, tapi sama aja aku sendirian. Aku nggak kebiasaan curhat ke Nenekku soalnya. Paling tidak untuk beberapa hal yang sekarang aku rasakan. Dan biasanya Mamaku orang yang cocok buat itu.”
“Emm… Suka curhat juga ya!! Tapi iya sih, bener juga kamu, curhat ke orang yang udah tua tuh susah…” Dan dia menyadari jika dia sudah mengatakan hal yang tak begitu sopan tentang Nenekku yang membuat dia menutup mulutnya dan berkata pelan. Kami berdua tertawa tertahan.
“Tapi kamu bisa curhat ke aku kok kalau kamu mau. Sebagai ganti Mama kamu.”
Dan aku menangkap pandangan mata itu. Tapi tidak kejadian saat GELEGAR yang kembali terjadi di dalam otakku. Tapi aku merasakan sensasi hangat yang menjalari tubuhku. Keluar dari hatiku dan menyebar ke seluruh tubuhku. Sekejap saja aku bisa merasakan aku nyaman dengan dia. Tapi aku sadar jika ini tak mungkin. Aku nggak boleh mempunyai ini lagi.
Dan kemudian aku teringat seorang cowok dengan mengendari motor balap melintas di depan mataku dengan membonceng cewek yang sedang melingkarkan tangannya dengan erat ke pinggang cowok tersebut, dan aku kembali teringat kejadian mengerikan itu. Aku menjauhkan pandanganku dari mata Hasan dengan menarik nafas panjang dan berpaling darinya. Dia yang masih memandangiku pun sepertinya mengerti apa arti pandanganku, dan dia pun merasa sedikit penasaran, namun juga merasa bersalah.
“Emm… Mungkin aku harus segera pulang Nin. Udah malem. Makasih atas tumpangan shalatnya ya.” Dan dia pun beranjak dari kursi. Aku selama sepersekian detik tak sanggup akan mengatakan apa. Antara shock atas pandangan tadi dan keinginan untuk mencegahnya pergi.
“Emmm… Nggak mau tinggal dulu untuk makan?” Tanyaku ragu-ragu sambil masih mengontrol pernafasan.
“Ah nggak. Nggak usah. Makasih. Aku makan dirumah aja. Lagian aku juga belum laper. Tapi aku sekarang harus pulang dulu. Udah malem soalnya.” Katanya seraya menyandangkan kembali tasnya dan melihat arlojinya.
“Oh… Ya udah deh.” Kataku pasrah.
“Jangan lupa persiapannya ya. Sama stikernya juga kalau ada. Nanti aku ganti deh uangnya.” Katanya dengan wajah yang kembali santai, hangat, dan tak lupa dengan senyum yang menghiasi sisa wajahnya.
“Ah… Santai aja kalau itu. Aku nyari bentar lagi mungkin.” Kataku juga dengan tersenyum.
“Tapi… Gimana aku bisa beri tau kamu kalau stikernya nggak ada?” Tanyaku.
“Lha, ini aku baru mau minta nomer kamu. Berapa?” Dan dia segera mengeluarkan HP dari sakunya dan siap untuk mengetik nomerku.
Terlalu cepat dia menyatakan ingin dekat denganku. Karena jelas kalau ada HP, paling tidak kami bisa kontekan walaupun hanya sekadar chattingan. Tapi entah juga jika dia hanya pengen menambah jumlah nomer cewek di HP nya. Hatiku sedikit kecut memikirkan ini. Tapi aku diktekan saja nomerku apa adanya. Dan sebagai gantinya dia misscall nomerku untuk memberi tahuku nomernya.
Acara tukeran nomer selesai. Dan dia mulai berjalan keluar meninggalkan ruang keluargaku. Aku memanggil Nenek agar dia bisa berpamitan pulang. Tapi Nenek rupanya entah dimana. Kelamaan kalau aku harus mencarinya ke warung Nasi Pecel kesukaannya disamping rumahku karena Hasan sepertinya sudah pengen cepetan pulang.
“Nenek nggak ada. Nggak tau kemana. Kamu pulang aja deh nggak pa pa. Nanti aku sampein ke Nenek.”
“Oh… Ya udah deh.”
Lalu kami pun berjalan berdua ke halaman depan. Sesaat sebelum dia menaiki motornya, terdengar motor Satria FU berjalan kearah rumahku. Rupanya Mas Okta sudah pulang.
“Gila kamu, kemana aja? Aku ditinggalin sendiri…” Semburku kepada Mas Okta bahkan sebelum dia mematikan motornya dan melepas helmnya. Mas Okta sendiri yang lebih pendek 5 cm dari Hasan turun dari motor dan orang pertama yang dilihatnya adalah Hasan. Dia bahkan tak memerhatikan perkataanku. Kemudian pandangannya beralih kepadaku dengan sedikit tanda tanya.
“Dia Hasan, temenku sesama CAPAS. Kalau nggak ada dia tadi, mungkin aku masih ada di PPI sekarang, jamuran nunggu Mas.” Kataku sebel.
“Oh… Iya maaf Dek… Tadi aku emang ada kuliah sore. Kamu nelfon tadi aku pas diterangin sama dosenku. Jadi nggak tak angkat. Makasih ya Dek udah nganterin Nindy.” Dan Mas Okta menyalami Hasan. Hasan membalas jabatan tangannya dan tersenyum.
“Sama-sama Mas.”
“Jadi ngrepotin nih…” Kata Mas Okta dengan nada bersalah.
“Ah nggak Mas. Nggak pa pa. Aku seneng kok bisa nganter Nindy pulang.” Diucapkan dengan sangat tulus olehnya.
“Ya udah deh, kalau gitu aku hanya bisa bilang makasih. Udah mau pulang ini?”
“Iya Mas. Udah malem.”
“Rumahnya mana?”
“Rumah saya di Prapanca.” Jawabnya sopan dengan mulai memakai helmnya.
“Wah… Itu kan jauh. Di Jombang barat sana. Adek… Kamu kok minta anterin teman kamu yang rumahnya jauh gini sih. Kasihan kan dia nanti pulangnya…” Sembur Mas Okta ke arahku. Aku manyun melihat dia menegurku di depan Hasan seperti ini. Aku kan jadi malu… Ah, Mas Okta nggak tahu istilah Jaga Image ya…
“Soalnya cuma ada dia tadi di PPI. Semuanya udah pulang. Kalau aku nunggu Mas juga nggak mungkin. Masa mau sampai jam segini disana? Mau jadi apa aku?” Kataku tak mau kalah.
“Nggak pa pa kok Mas. Lagian jalannya juga masih ramai sekarang. Pasti masih aman.”
“Oh… Ya udah deh. Udah sholat? Makan?”
“Udah tadi Mas. Udah mandi sama sholat.” Aku menjawabnya dahulu.
“Tapi dia tak ajak disini dulu untuk makan nggak mau.” Aku mengadukannya.
“Iya, maaf Mas, Nindy, aku makan dirumah aja. Nggak enak ngrepotin.”
“Nggak pa pa lagi.” Kata Mas Okta.
“Ndak Mas. Makasih. Kapan-kapan aja.”
“Oh… Ya udah deh kalau gitu. Kapan-kapan kesini lagi ya. Makasih lagi atas tumpangannya buat Nindy.” Kata Mas Okta.
“Iya Mas, sama-sama. Kalau gitu aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.” Dia pun naik ke atas motornya dan menyalakan mesinnya.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam.” Jawabku dan Mas Okta serempak seraya melihatnya pergi.
Sejenak Mas Okta melihatku dengan tatapan penuh pengertian, kemudian berjalan pulang kerumah Nenek yang terletak disebelah rumahku. Aku hanya melongo melihat ekspresinya. Tak mengerti jalan pikiran orang satu ini.
Bersambung
**************
Selamat membaca ☺
Semoga suka...
Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉
Like, komen, dan vote ya...
Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments