TUMBAL
Arlan menatap ke luar jendela kelasnya, di tengah jam pelajaran matematika yang menurutnya mulai membosankan. Dia merasa jenuh, karena sejak tadi dia tidak bisa mengerti dengan apa yang guru matematikanya katakan.
Matanya tertuju pada empat orang anak laki-laki yang sedang duduk santai di pinggir lapangan basket. Mereka tampak asyik bercengkrama satu sama lain, sambil sesekali tertawa lepas. Sayup-sayup, Arlan dapat mendengar isi percakapan mereka.
Pandangan Arlan beralih ke arah jam dinding yang tergantung di atas papan tulis dan diapit foto presiden serta wakilnya. Sudah lewat sepuluh menit dari jam istirahat, namun belum ada tanda-tanda bahwa sang guru akan mengakhiri penjelasannya.
Arlan mengintip ke bangku belakang dari balik bahunya, melihat seorang laki-laki seusianya yang bersembunyi di balik buku yang sengaja dibiarkan terbuka di depan wajahnya. Sudah pasti, anak itu tidak mendengarkan penjelasan. Dia tidur.
"Baik. Sampai di sini dulu penjelasan dari saya. Mohon maaf karena saya menyita lebih waktu istirahat kalian!"
Kalimat itu bagaikan angin segar untuk Arlan. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta untuk diberikan makan. Begitu salam hormat telah diberikan, semua anak bergerak brutal dari kursi mereka. Beberapa bahkan berlari kencang ke arah kantin sekolah.
Arlan berjalan menghampiri sahabatnya yang masih bergelut di alam mimpi. Dengkurnya bahkan bisa Arlan dengar dari jarak dua meter.
"Dim!" Arlan melayangkan buku catatan yang dia bawa ke kepala Dimas. "Woi! Bangun lo!"
"Nnngg!" Dimas mengerang dengan mata terpejam. Dia mengerjap beberapa kali, sebelum benar-benar sadar, apa yang terjadi. "Kenapa, Lan?"
"Ke kantin, nggak?" tawar Arlan.
Dimas menoleh ke kanan dan kirinya. Hampir semua bangku telah kosong, ditinggal penghuninya. "Udah jam?"
"Telat banget lo!" Arlan berjalan duluan, sementara Dimas buru-buru mengikutinya. "Jangan deket-deket gue! Muka lo masih muka bantal! Malu gue jalan sama lo!" Arlan mendorong Dimas menjauh, ketika Dimas tiba di sebelahnya.
"Sialan lo! Kayak lo cakep aja!" Dimas malah menjadi-jadi dan bergelayut di punggung Arlan seperti monyet.
"Woi, lepas, Nyet!" Arlan berusaha melepas tangan Dimas yang melingkar di lehernya.
Ketika pegangan Dimas terlepas, Arlan terhuyung beberapa langkah ke samping. Tanpa sengaja, Arlan menabrak seseorang dengan keras. Tanpa menoleh pun, Arlan tahu orang yang dia tabrak terpental dan jatuh.
"Maaf!" Arlan reflek menghampiri perempuan yang jatuh terduduk di jalan setapak. Wangi bunga lavender langsung tercium begitu Arlan berlutut di depan perempuan itu. Arlan sempat kagum dengan rambutnya yang hitam berkilau sepanjang pinggang.
Perempuan itu mengecek telapak tangan kirinya yang terasa sakit, sebelum mendongak melihat Arlan di depannya.
"Wah, tangan lo luka," Arlan berkomentar. Namun, ketika dia membalas pandangan perempuan itu, Arlan malah disuguhkan wajah ketakutan. Perempuan itu sampai pucat dan bibirnya bergetar ketika mereka bertemu pandang. "A-ada apa?" tanya Arlan hati-hati. Arlan merasa, jika dia mengeluarkan suara mendadak sedikit saja, perempuan itu akan melompat dan lari terbirit-birit.
"Ng-nggak! Nggak apa-apa," perempuan itu menjawab dengan panik. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya yang pucat. "G-gue permisi!" tambahnya, kemudian bergegas berdiri sendiri.
Arlan buru-buru mengikuti perempuan itu berdiri. Tapi, belum saja Arlan berdiri dengan benar, perempuan itu sudah mengambil langkah seribu. Arlan terbengong-bengong dibuatnya.
"Gila, tuh, cewek!" Dimas muncul di sebelah Arlan.
"Kenapa dia kabur?" tanya Arlan, tidak mengerti.
"Lo jelek, sih!" Dimas menjawab asal. "Lanjut kantin, Bro!" ajak Dimas.
Arlan mengikuti langkah Dimas menuju arah yang berlawanan dengan arah perempuan tadi berlari. Tetapi, untuk beberapa detik, Arlan mengagumi sosok perempuan itu dari belakang.
Kelebatan rambutnya yang hitam kelam dan halus diterpa angin, terus melayang-layang di pelupuk mata Arlan. Wajahnya yang polos tidak bisa hilang dari pikiran Arlan. Dalam hati dia bertanya, bagaimana bisa dia melewatkan perempuan itu selama ini?
"Lan! Woi!" Dimas mengguncang bahu Arlan. "Lo melamun? Dari tadi kenapa diam aja?"
"Oh? Ya? Kenapa?" Arlan kembali ke dunia nyata.
"Ditanyain, lo mau pesan apa? Jam istirahat nggak banyak, Bro!" kata Dimas.
"Satu soto ayam dan satu es jeruk," kata Arlan pada perempuan paruh baya yang menunggu di samping meja mereka.
"Lo mikirin apa, sih?" tanya Dimas setelah penjaga kantin berlalu. "Tumben banget sampai bengong begitu."
"Cewek tadi," jawab Arlan tanpa basa-basi.
"Hah? Manda maksud lo?" Dimas memastikan.
Arlan mengangguk.
"Waduh, waduh! Lo kesambet, ya, waktu tabrakan sama dia?"
Arlan memberenggut. "Nggak usah berlebihan!" kata Arlan. "Gue cuma kagum aja sama sosoknya. Hmmm, dia punya kharisma."
Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, "ck ck ck... Ada banyak cewek cantik di sekolah kita, dan lo naksirnya malah sama Manda? Nggak sehat lo!"
"Emang kenapa, sih? Kayak lo kenal aja sama cewek itu," sindir Arlan. Sebenarnya dia sendiri tahu kalau dia pastinya banyak ketinggalan berita. Arlan tidak suka menguping tentang gosip-gosip yang beredar di sekitarnya. Dia selalu menutup telinga jika ada yang mulai membicarakan sesuatu.
"Semua orang kenal dia," sanggah Dimas.
"Serius? Kenapa gue nggak pernah lihat dia selama enam bulan sekolah di sini kalau dia memang seterkenal itu?"
Dimas menghela nafas. "Mending lo nggak usah berurusan sama dia, deh! Gue akui kalau Manda itu cantik. Tapi, dia itu aneh. Katanya, sih, dia bisa lihat yang nggak kasat mata. Apa, ya, istilah kerennya? Indigo?"
"Apa salahnya?" tanya Arlan.
"Ya... Coba aja lo lagi makan sama dia, terus dia tiba-tiba nyeletuk 'ada hantu lagi berak di bakso lo'."
"Kalau itu, lo-nya aja yang jorok!" Arlan meninju lengan Dimas, kesal sendiri dengan temannya yang tidak bisa diajak bicara serius.
"Gue kenal beberapa cewek kalau lo mau pacaran atau sekedar dekat. Tapi, please, jangan Manda! Gue nggak mau lo terjerumus ke dalam ilmu hitam!"
"Dia pakai ilmu hitam?" tanya Arlan dengan suara rendah. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Arlan dapat merasakan sendiri, bahwa aura yang Manda tebarkan sangat segar. Bagaimana bisa orang 'sesejuk' Manda, memakai ilmu hitam?
"Katanya, dia pernah buat beberapa orang celaka," Dimas memelankan suaranya, seolah ini adalah hal rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.
"Celaka bagaimana?" Arlan tetap tidak percaya.
"Waktu orientasi siswa baru enam bulan lalu, Manda dekat dengan beberapa anak cewek lainnya. Cecilia, Anggi, sama Winda."
"Bukannya mereka anak-anak yang absen karena sakit, ya?"
"Lo nggak tahu ceritanya?" Dimas bertanya, tidak yakin. "Ini berita buat sekolah kita heboh! Seriusan, lo nggak tahu?"
Arlan menggeleng. Dia teringat dengan hari-hari awal masa orientasi siswa enam bulan yang lalu. Kakeknya sakit keras hingga hari ini, dan dia lumayan sibuk mengurus Beliau, mengingat orangtuanya sibuk bekerja. Memang ada perawat yang bergantian menjaga kakeknya di rumah, namun Arlan tidak sampai hati jika lepas tangan begitu saja.
"Gue ceritain sambil makan," Dimas menyambut pesanannya yang datang terlebih dahulu. Asap putih tipis mengepul dari mangkuk bergambar ayam jago, menebarkan aroma gurih yang tidak bisa ditolak. "Nyam!" Dimas memasukkan sesendok penuh soto ayam ke mulutnya.
"Dim! Buruan ceritanya!" pinta Arlan tidak sabar.
"Makan dulu, Lan!" protes Dimas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Niswah
aku mampiiir. ky nya seru
2023-05-31
1
izin mampir Thor🙏
2023-03-18
1
Valeris
penasaran
2023-03-12
0