Kemampuan Nanda

"Mas, serius? Nanti kalau Nyonya marah, bagaimana?" Pak Imam menjadi takut sendiri, ketika mendengar bahwa Arlan akan lancong ke rumah Manda sepulang sekolah. Padahal, dia memiliki instruksi yang jelas dari majikannya, bahwa anaknya harus langsung dibawa pulang ketika sekolah usai.

"Nanti, bilang saja saya yang bandel," jawab Arlan dengan entengnya.

"Sa-saya antar, ya, Mas?" Pak Imam masih tidak mau melepas anak majikannya begitu saja.

"Yah... Kalau pakai diantar, kesannya nggak kayak kabur, dong? tolak Arlan.

Pak Imam menggaruk kepalanya dengan gusar. Wajahnya benar-benar pucat dan terkesan panik sendiri. Padahal, Arlan bukannya anak kecil yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri.

"Pak," Manda tiba-tiba menengahi. "Kalau masalah keselamatan, saya bisa jamin seratus persen," ujarnya. Pak Imam menatap Manda dalam-dalam. "Bapak juga punya 'pegangan' ternyata."

"Maaf? Apa--"

"Nggak usah basa-basi, Pak," Manda langsung memotong sanggahan Pak Imam. "Sekali ini saja, kasih Arlan kelonggaran, ya? Kalau ada yang membahayakan Arlan seperti tempo hari, saya akan melindungi Arlan."

"Dia yang nolong saya waktu kecelakaan sama Pak Tomas," tambah Arlan sembari menunjuk Manda. "Saya janji akan pulang sebelum Mama pulang."

"Saya janji akan pastikan Arlan balik ke rumah dengan selamat," tambah Manda.

"Sudah, ya, Pak!" Arlan menepuk lengan Pak Imam dan berlalu tanpa mendengar jawaban dari Pak Imam. Manda segera mengikuti Arlan.

Mereka naik angkot yang biasa Manda tumpangi ketika pulang sekolah. Arlan tidak keberatan di saat dia harus berdesak-desakan di dalam angkot, karena itu sama saja dengan duduk lebih dekat dengan Manda. Arlan sengaja menaruh tangannya di belakang Manda, seolah dia mengatakan pada orang-orang bahwa Manda adalah miliknya. Bertindak seperti itu saja, sudah membuat jantungnya berdegup sangat kencang.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumah Manda. Begitu tiba, Arlan kaget bukan main. Ternyata, arah rumah mereka berlawanan dari sekolah. "Manda, lo ada di tempat kejadian waktu gue kecelakaan, kan? Waktu itu, lo bilang nggak sengaja lewat. Terus, kemarin waktu berangkat sekolah sama-sama, lo nyamperin gue ke rumah. Tapi, ternyata rumah lo sedekat ini sama sekolah dan arahnya berlawanan sama rumah gue. Kena--" Arlan terhenti. Dia tenggelam dalam bola mata Manda yang hitam kelam. Detik itu juga, dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya pada Manda.

"Cuma kebetulan lewat," Manda menjawab dengan enteng. Dia tidak tahu bahwa laki-laki di hadapannya rela mati untuknya saat ini. Manda berjalan mendahului Arlan, masuk ke dalam rumah. Ketika sadar Arlan masih melamun di tempatnya, dia langsung memanggil Arlan untuk mengikutinya.

Rumah Manda tidak seperti rumor yang Arlan dengar selama ini. Rumah itu tampak biasa saja dari luar. Manda memiliki taman bunga mawar di halaman depannya. Ada empat bangku kecil di dekat kolam ikan berbentuk oval. Pasti tempat itu dijadikan tempat berbincang anggota keluarga sambil menikmati hamparan bunga mawar yang tengah mekar.

Rumah itu berlantai dua dengan cat putih bersih yang sepertinya baru diperbaharui. Bau cat masih bisa tercium samar dari tempat Arlan berdiri. Pintu depannya kecil, namun muat untuk dua orang berpapasan. Warnanya pun tidak mencolok, lebih menekankan warna cokelat kayu dari bahan pintu itu sendiri.

'Mananya yang rumah hantu?' batin Arlan.

"Silakan masuk," Manda mempersilakan saat berhasil membuka pintu.

Ketika Arlan menginjakkan kaki di dalam rumah Manda, hawa sejuk langsung menyelimuti. Aroma mawar menguar di setiap helaan nafas. Bukan karena AC, namun ruang tamunya benar-benar sejuk. Ada enam pohon bonsai berukuran kecil tertata rapi di dekat televisi. Meja ruang tamu tidak terlalu besar dan di tengah-tengah meja berdiri vas bunga putih dengan dua tangkai bunga mawar kuning.

"Rumah lo bagus banget," puji Arlan kagum.

Manda menoleh sekilas. "Bukan bagus, tapi nyaman," Manda mengoreksi.

Arlan mengangguk setuju. Seperti rumah ini, Arlan juga menemukan kenyamanan saat bersama Manda.

"Gue ambil minum dulu. Lo duduk aja. Sebentar lagi juga Nanda pulang sekolah," Manda pamit untuk pergi ke dapur.

Arlan duduk di sofa kulit dekat jendela ruang tamu. Dia mencari posisi nyaman sebisa mungkin. Arlan merasa agak berdebar karena ini pertama kalinya dia bertamu ke rumah perempuan sendirian. Untung saja rasa canggung itu tidak berlangsung lama, karena Manda kembali dari dapur lebih cepat dari perkiraan.

"Maaf, cuma ada ini," Manda menyuguhkan segelas sirup stroberi dengan es batu di dalamnya.

"Makasih," Arlan langsung menerima dan meneguk minumannya beberapa kali.

Manda mengikuti gerakan Arlan, ikut minum beberapa teguk. "Lan, ingat, ya! Kalau nggak perlu banget, jangan pegang tangannya Nanda," Manda kembali memperingati.

"Iya, iya," jawab Arlan.

"Ngomong-ngomong, lo nggak bisa lama-lama di sini," ujar Manda.

Alis Arlan terangkat. "Gue nggak bakal macam-macam, Man. Gue masih punya sopan santun."

Manda menggeleng pelan. "Bukan itu masalahnya."

"Lalu apa?"

"Jin yang nempel sama lo ketinggalan di luar. Dia nyariin lo daritadi."

Arlan reflek mendongak melewati jendela ruang tamu. Sedetik kemudian, barulah dia sadar kalau itu perbuatan percuma. "Kenapa bisa ketinggalan di luar?"

"Sama seperti rumah lo, rumah ini juga punya pelindung. Jin atau setan sebagian besar nggak bisa masuk," jelas Manda.

"Lo bisa buat pelindung?"

Manda menggeleng lagi. "Ibu gue yang bisa. Keluarga ibu gue secara turun-temurun punya kemampuan khusus gitu."

"Jadi nurun ke lo dan Nanda?"

"Nanda lebih hebat lagi," puji Manda. "Intuisinya bagus, kekuatannya besar, dia bahkan bisa lihat masa lalu orang lain."

"Wow!"

"Untungnya Nanda bukan anak bandel. Jadi, dia nggak menyalahgunakan kemampuannya."

Arlan mendengus, mengingat bagaimana Nanda menghampiri dia sampai ke rumah. "Dia sister complex," tambah Arlan.

"Hahaha! Konyol! Dia itu sukanya berantem kalau sama gue." Manda menyeruput lagi minumannya. Ketika Manda meletakkan gelasnya kembali ke atas meja, suara gerbang yang bergeser terdengar dari arah depan rumah, disusul dengan deru motor. "Nanda datang."

"Dia pakai kendaraan sendiri?" tanya Arlan. Arlan merasa sedikit kecewa karena Manda masih naik angkot, sementara saudaranya memiliki kendaraan sendiri.

"Iya. Supaya lebih cepat sampai ke sekolahnya. Sekolah Nanda jauh dari sini."

Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Mereka diam, sampai Nanda masuk ke ruang tamu. "Yang di luar itu, jin punyanya dia, ya?" tanyanya tanpa berbasa-basi untuk menyapa Arlan dulu. "Hihihi, kasihan."

"Nan, buruan ganti baju, gih!" perintah Manda. "Kalau kelamaan, jin itu bakal balik ke majikannya. Nanti Arlan ketahuan pergi tanpa izin."

Nanda menjawab hanya dengan dengusan kesal. Jelas sekali terlihat bahwa dia tidak mengharapkan kehadiran Arlan di ruang tamu rumahnya. "Oh, ya!" Nanda berbalik sebelum menghilang di balik tirai ruang tamu yang mengarah ke ruang tengah. "Gue pakai kendaraan supaya bisa cepat datengin Manda kalau dia dalam masalah. Manda juga punya kendaraan sendiri, tapi dia nggak mau pakai," ujarnya. "Lo jangan terlalu kesal sama gue dengan alasan yang nggak penting begitu."

"Hah?" Arlan cengak mendengar perkataan Nanda. Manda hanya celingukan, tidak mengerti.

Sepuluh menit kemudian, Nanda bergabung kembali di ruang tamu. Dia menghempaskan diri di sofa dan memandang Arlan lekat-lekat. "Jadi, Manda memutuskan untuk bantu lo?" tanya Arlan.

"Gue nggak bisa biarin dia begitu saja, sementara gue tahu kalau dia bakalan mati," jawab Manda.

"Hhh... Kalau itu keputusan lo," Nanda menyerah. "Mau lihat sampai mana?"

"Apa nggak bisa yang lain dulu? Jangan langsung ke tahap itu," sahut Manda cepat.

"Itu cara yang paling mudah, Man."

"Tapi keselamatan lo nggak terjamin," Manda tetap menolak.

"Tunggu, tunggu! Apa maksudnya, ya?" Arlan menyela. Dia merasa tidak mengerti arah pembicaraan kedua saudara ini. "Cara apa yang lo maksud, Nan?"

"Lihat masa lalu."

"Nggak boleh!" seru Manda. "Pokoknya itu cara terakhir!" Manda terdengar ngotot, sampai- sampai membuat Arlan tidak berani membantah.

"Memangnya cara apa yang lo mau?" Nanda meletakkan kedua tangannya di punggung sofa.

"Nanda," suara Manda terdengar lirih. "Kita bisa diskusi dulu tentang apa yang terjadi. Kemungkinan-kemungkinan yang lo bilang kemarin juga masuk akal. Siapa tahu, hanya dengan itu, kita bisa tahu apa masalah Arlan."

"Kita langsung ke intinya saja," Nanda ganti memandang Arlan. "Dari cerita yang Manda beritahu, lo sering mimpi buruk. Lalu, ada teror makhluk yang mau menerobos masuk ke rumah lo. Lo mau tahu pendapat gue mengenai yang mana duluan?"

"Mimpi buruk," jawab Arlan.

Nanda mengangguk mengerti. "Memang benar, wanita di mimpi lo itu, sedang mencari lo selama ini. Dia memang mau lo mati di tangannya."

"Kenapa?"

Nanda mengangkat bahunya. "Gue juga nggak tahu kenapa dia sampai dendam begitu," jawab Nanda. "Pastinya, dia mendapatkan suatu hal yang buruk, sampai ingin membunuh. Apa lo pernah salah sama seseorang, sampai buat dia dendam sama lo?"

Arlan menggeleng. Dia sangat yakin, bahwa dirinya hidup dengan baik selama ini. Dia bahkan tidak bermain perempuan, untuk menghindari hal-hal yang bisa mencoreng nama baik orangtuanya. Bagaimanapun, orangtuanya adalah orang penting dan dirinya sering disorot. Orangtuanya tidak menuntut kemampuan akademis yang luar biasa, jadi setidaknya Arlan tidak mau membuat masalah di luar sana.

"Mungkin bukan dia," Manda menengahi. "Kalau keluarga?"

Nanda mengangguk. "Bisa jadi."

Arlan tidak berani berkomentar. Dia teringat tentang kakeknya yang sering menerima tamu di malam hari, entah untuk apa. Lalu, orangtuanya yang berkuasa tidak mungkin luput dari satu atau dua kesalahan, disengaja ataupun tidak.

"Apa lo tahu sesuatu?" tanya Nanda.

Arlan menggeleng lemah. "Gue nggak terlalu dekat kalau urusan pribadi sama orangtua gue. Mereka lebih sibuk kerja ketimbang sama gue. Kakek gue juga nggak suka ngobrolin masalah pribadi."

"Kita kaitkan saja dengan obrolan lo sama oom, tante, dan sepupu lo," kata Nanda. "Dari sana saja, gue bisa menyimpulkan kalau keluarga lo ada masalah sama seseorang. Sampai orang itu mau menghabisi lo yang nggak tahu masalah." Nanda menoleh pada Manda. "Untuk alasan itu, dia sendiri yang harus cari tahu. Atau kita bisa--"

"Nggak! Melihat masa lalu, adalah pilihan terakhir!" tolak Manda.

"Begitu katanya," Nanda menghela nafas. "Lo harus cari tahu sendiri, kenapa lo pantas mati."

Arlan tidak menjawab, namun tekadnya sudah bulat untuk mencari tahu, siapa sebenarnya wanita di mimpinya itu. "Lalu, tentang makhluk yang mau masuk ke rumah gue?"

"Waktu gue lihat kemarin, memang ada perlindungan di rumah lo. Itu dibuat dari tumbal manusia. Tempo hari, gue nggak ngerasa hal itu, mungkin karena gue nggak berniat apapun saat masuk. Tapi, makhluk itu berbeda. Dia berniat mengambil sesuatu yang hanya ada di rumah itu. Mungkin, orangtua lo punya pusaka?"

Arlan mengingat kembali saat dia masuk ke kamar orangtuanya. Tidak ada banyak barang di sana. "Gue nggak tahu," jawab Arlan pasrah.

"Makhluk itu sudah dua kali mencoba masuk ke rumah lo. Pagi hari dan menjelang malam. Artinya, hanya di waktu itu saja dia mempunyai banyak kekuatan. Jika tidak begitu, dia pasti mencoba menerobos berkali-kali tanpa kenal waktu."

"Gue merasa, kabut itu sama seperti yang gue lihat di kakeknya Arlan," Manda menambahkan.

Nanda mengusap-usap dagunya. "Apa mungkin, itu kakek lo?"

"Kenapa kakek gue nyoba nerobos rumah sendiri, padahal bisa masuk kapanpun?" Arlan tidak mengerti.

Nanda tidak langsung menjawab. Dia memandang Arlan lekat-lekat. Arlan menoleh pada Manda yang juga tidak membuka mulutnya. "Lo punya sesuatu. Ilmu kebal."

***

Terpopuler

Comments

wulanzahira

wulanzahira

lha q kira nanda udah mati 🤣🤣🤣

2023-03-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!